M A A F

Maaf
By: Henoch Wirawan
Belum terlalu lama kita melewati hari Lebaran. Ribuan kata maaf yang diucapkan kepada sesama. Saat-saat itu juga adalah saatnya untuk sedikit bersantai dari kesibukan sehari-hari. Ada yang mudik ke kampung halaman. Ada yang bermacet-macet ria untuk pergi ke tempat wisata favorit. Ada juga yang seperti saya yang sibuk keliling Mall demi Mall dari hari Senin sampai hari Sabtu. Sampai akhirnya timbangan saya yang berkata “Maaf, jangan naik berdua. Harap naik sendiri-sendiri“, karena bobot tubuh yang meningkat tinggi. Tidak heran dinamakan Lebaran, sebab bentuk tubuh sebagian besar orang akan menjadi semakin lebar… tapi masih mending sih ketimbang dinamakan buncitan. 😀
Kata maaf biasanya akan membawa dampak memberikan kesejukan dalam hubungan antar manusia walaupun ada beberapa kesempatan kata maaf justru menyakitkan hati. Contoh, ketika seorang kasir berkata: “Maaf pak, kartu kredit anda ditolak (decline)” atau saat dokter berkata: “Maaf, kami angkat tangan. Penyakit bapak tidak bisa disembuhkan lagi“. Tapi yang lebih sakit bila yang berkata maaf adalah benda mati yang dijalankan oleh suatu sistem, seperti mesin ATM: “Maaf, saldo anda tidak mencukupi” atau  telpon: “Maaf, harap selesaikan pembayaran anda
Ada juga benda mati yang meminta maaf bukan secara sistem sebab ada orang yang menjalankannya seperti televisi. Kalau kita berlangganan televisi kabel, kadang-kadang kita menerima permintaan maaf ini: “Maaf, siaran terganggu karena adanya gangguan signal atau pergerakan matahari, dsb“. Dulu di jaman televisi swasta belum ada, TVRI adalah televisi yang sangat sopan dan sering meminta maaf: “Maaf, kerusakan bukan pada televisi anda“. Tapi sekarang televisi menjadi kurang begitu sopan. Sekalipun sudah menyiarkan berita palsu, seperti menyiarkan hasil survey Gallup palsu hasil editan orang yang kurang teliti, TV Oon seakan pantang meminta maaf.
Kata maaf ini gampang diucapkan tapi kadang-kadang juga pantang diucapkan karena gengsi atau malu, karena keras kepala atau karena kita kurang sensitif dengan keadaan. Tapi kadang-kadang bisa juga kata maaf mengalir begitu saja karena sudah terbiasa berbuat salah. Kadang-kadang bahkan walau sudah terlalu sering meminta maaf, pihak yang dimintakan maafnya bisa merasa ragu, apakah permohonan maaf ini tulus atau hanya sekedar lewat di bibir saja. Mari kita bahas satu persatu.
A. Karena Gengsi atau Malu.
Kadang-kadang seorang ayah suka merasa gengsi untuk meminta maaf kepada anaknya. Tapi saya selalu berusaha untuk meminta maaf kepada anak ketika saya salah (semoga tidak pernah ada yang terlewat ya, anak-anak). Atau orang yang merasa lebih tinggi malu untuk meminta maaf kepada orang yang dianggapnya lebih rendah derajatnya. Contoh, ketika seorang pimpinan perusahaan yang belum bisa membayar gaji para karyawannya selama 6 bulan, seharusnya meminta maaf kepada mereka. Tapi sepertinya permintaan maaf itu belum pernah dilakukan, sementara di lain kesempatan dia berkoar-koar akan meningkatkan upah buruh menjadi 5 juta rupiah sebulan. 🙂
Sebelumnya saya mohon maaf jika saya mengambil contoh dengan kejadian di Pilpres kita. Lebih ksatria dan hebat jika seorang yang gagal meminta maaf kepada para pendukungnya atau pihak yang kepadanya dia bertanggung jawab. Contoh bagus adalah ketika Prof Mahfud M.D. ketika gagal mendongkrak kemenangan garuda merah, dia meminta maaf secara terbuka bahwa dia telah gagal dan mengembalikan mandatnya segera setelah KPU memutuskan bahwa pemenang Pilpres 2014 adalah tim nomor 2.
Tapi sikap ksatria ini tidaklah menular kepada anggota timses lainnya. Mereka dengan berapi-api malu untuk mengakui kegagalannya dan melaporkan kepada atasannya bahwa telah terjadi kecurangan yang TCM eh TSM (Terstruktur, Sistematis dan Masif) oleh pihak tim nomor 2, oleh KPU, oleh Bawaslu, oleh DKPP. Akibatnya sang atasan juga malu untuk mengakui kekalahannya dan secara mengejutkan menarik diri dari proses pemilu dengan tidak mengakui hasil pemilu ini. Tapi lucunya sekalipun sudah menarik diri, beliau tetap maju ke tingkat Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memohon supaya dimenangkan di proses pemilu yang sudah dia walk out itu.
Padahal jelas lebih ksatria apabila dia meminta maaf kepada para pendukungnya yang telah memilih pasangan nomor 1 seperti ini: “Maaf para pendukungku, kami gagal memenangkan pertarungan karena lawan lebih hebat, lawan lebih kuat, lawan lebih tangguh. Kita sudah mencoba segala upaya tapi kita gagal. Mari kita coba lagi 5 tahun mendatang” Alih-alih dia mengatakan:”Kita disakiti. kita dicurangi. Telah terjadi kecurangan yang TSM oleh tim nomor 2, KPU, Bawaslu. Kita harus berjuang terus. Rapatkan barisan. Kita maju ke MK. Kalau kalah juga di MK mari kita susun kekuatan. Jangan menyerah karena kita dizholimi. Ini pemilu yang gagal. Ini negara yang otoriter, fasis dan komunis. Pilpres ini lebih parah dari Pemiu di Korea Utara
Ketika tiba saat  hari raya Idul Fitri, saatnya semua saling bersilaturahmi, memang sebaiknya kedua pihak saling bermaaf-maafan. Tapi jelas lebih normal kalau tim nomor 1 yang memulai duluan. Sebab sangat tidak lucu bagi yang menang untuk mendatangi pihak yang kalah dan bilang begini: “Maaf ya bro, ane udah ngalahin ente“. Tapi ternyata tidak ada wujud konkrit dari silaturahmi yang disebut-sebut itu. Rupanya tim 1 terlalu malu untuk meminta maaf, terlebih lagi karena sudah ada obor yang disulut, sudah ada beratus-ratus atau beribu-ribu kampanye hitam yang dilayangkan ke pihak tim nomor 2, sudah berjuta-juta kebencian yang dilayangkan, berpuluh-puluh kepalsuan yang diedarkan seperti surat panggilan kejaksaan palsu, surat permohonan penangguhan perkara palsu, transkrip pembicaraan palsu, rekaman palsu, surat edaran gubernur palsu dan lain sebagainya.

Mungkin juga karena mereka menganut falsafah pelaut makassar yang berkata begini: “Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang”

 

Peribahasa ini diambil dari kehidupan nelayan. Maksud sebenarnya adalah “Lebih memilih tenggelam di lautan daripada harus kembali lagi ke pantai tanpa hasil”. Aplikasinya ya jadi malu untuk meminta maaf dan sudah kadung basah lebih baik nyebur sekalian deh.
B. Karena Keras Kepala
Orang yang keras kepala biasanya adalah orang yang sudah tahu kalau dia salah, tapi tidak pernah mau untuk mengakuinya. Beda tipis dengan orang yang gengsi besar, tapi ini lebih didasarkan oleh sikapnya yang kelewat tegas dan mau sok berwibawa. Biasanya suka bicara begini: “Iya gue tau kalo gue salah terus elo mau apa? Emang gue sukanya begini kok. Masbuloh?? (masalah buat eloh??)“. Atau malah bicara begini: “Enak aja, elo tuh yang salah tauk… Gue gak pernah salah. Gue ini jagoannya, bintang lapangannya. Elo aja yang pada bego gak bisa main yang bener. Curang elo semuanya. Pokoknya gue yang bener
Di jalan raya berlaku aturan tak tertulis ini ketika terjadi persinggungan atau serempetan ringan. Siapa yang lebih galak itu yang benar dan menang. Siapa yang meminta maaf itu adalah pihak yang salah dan kalah. Jadi orang-orang yang keras kepala ini membawa hukum rimba di jalan raya ini ke ranah politik dengan menjadi pihak yang lebih galak mengambil sikap dengan menyalahkan pihak lainnya.
Sikap keras kepala ini menular kepada pendukung dan penyembahnya. Ada pengacara yang berteriak-teriak akan mengadakan kerusuhan jika gugatan mereka ditolak MK. Lalu juga ada seorang ibu yang berpidato kalau sesembahannya adalah ‘titisan Allah’ (yang belakangan tanpa meminta maaf dia meralat kalau itu bukan titisan tapi titipan – btw nitipnya lewat JNE apa Tiki yah, trus yang reguler apa ONS??). Lalu ada pemuja lainnya yang berteriak-teriak kepada bawahannya untuk ‘mendesak Tuhan untuk berpihak kepada junjungannya’. Mungkin Tuhan di Surga sedang garuk-garuk kepala sambil tanya malaikatnya: “Sejak kapan Aku nitis ke dia?”, dan “eh tuh diganti titipan lagi sekarang… emangnya dia bayi yah dititip ke orang tua??” Lalu sekali lagi Tuhan akan bertanya kepada malaikatNya: “Eh kat, siapa sih itu si brewok yang mau ngedesak-desak aku supaya memihak jagoannya? Perasaan Aku tidak kenal tuh orang deh??” (ampuni saya ya Tuhan, ini cuma gambaran doang 🙂 )
C. Kurang Sensitif dengan keadaan.
Biasanya hal ini dialami oleh para pria kepada para pasangannya (istrinya). Sebagai mahluk yang kurang begitu sensitif (yang konon disebut datang dari planet Mars), pria seringkali sukar untuk memahami perasaan wanita (yang konon disebut datang dari planet Venus). Kadang terlalu banyak bahasa isyarat yang belum dipelajari atau dimengerti oleh sang suami ketika istrinya mengirimkan isyarat-isyarat tersebut sehingga terjadilah ketegangan. Ketika terjadi hal tersebut kadang suami tidak merasa bersalah karena tidak tahu masalah apa yang sedang terjadi. Ada baiknya ketika istri sudah mulai uring-uringan suami berpikir ulang (mudah-mudahan sang suami masih bisa mengingat satu persatu isyarat yang sudah diluncurkan istrinya), tapi lebih baik lagi kalau istri langsung bicara to the point. Semoga saya tidak seperti itu terhadap istri tercinta. Kalau ada hal yang salah, please forgive me my love.
D. Maaf yang terlalu gampang mengalir
Biasanya ini terjadi pada anak-anak, tapi kadang-kadang jujur, saya juga bisa begitu sih. Seringkali melakukan kesalahan yang berulang-ulang dan untuk mempercepat proses pertengkaran atau amarah orang tua cepat berlalu, dengan gampangnya bilang iya deh sorry. Tapi herannya masih dilakukan lagi kesalahan yang sama hari berikutnya.
Ini juga terjadi sehari-hari di jalan, ketika jalan rusak dan sedang diperbaiki atau dibangun fasilitas tertentu seperti galian kabel, bangun underpass atau flyover, kita sering menerima permintaan maaf seperti ini: “Maaf perjalanan anda terganggu oleh pekerjaan jalan ini“. Tapi herannya mengapa pekerjaan itu tidak selesai-selesai dan juga mengapa terus diulang-ulang tindakan merusak jalan untuk memasang pipa PAM lah, kabel telepon lah, kabel fibre optik lah, dan entah apa lagi. Sangat diperlukan pengaturan benda-benda apa saja yang mau dimasukan ke bawah galian itu dan dikerjakan sekaligus jadi tidak perlu bongkar pasang terus.
Di lain pihak, kalau permintaan maaf itu terlalu sering terjadi, terlebih lagi kalau itu tentang masalah kelemahan kita seperti mudah lupa atau suka terlambat. Kadang karena terlalu sering melakukan hal-hal tersebut, bisa saja orang yang kepadanya kita meminta maaf menjadi curiga, ini maaf beneran atau cuma lips service nih? Tapi seriously, when it happens to me, I always say my sorry from the deepest part of my heart, my love 🙂
Tambahan:
Untuk point A dan B saya mau mengambil analogi sepakbola lagi. Karena sebagai penggemar Brazil maka tim Brazil yang saya akan contohkan. Sangat tidak elok kalaulah pelatih Brazil membakar amarah masyarakat Brazil untuk menyerang Jerman, karena telah mempermalukan mereka sambil bilang: “Kita telah disakiti. Kita telah dipermalukan. Jerman memang TERLALU!!!! Mereka curang dengan mengambil kesempatan dalam kesempitan saat pemain utama kita Neymar cedera dan Silva tidak boleh main. Kita dipermainkan oleh mereka. Masa kita dikalahkan sampai 1-7? Mari kita banding ke FIFA minta pertandingan ulang. Kalau tidak dikabulkan, mari kita semua serang Jerman. Mereka kalah banyak penduduknya. Penduduk kita jumlahnya hampir dua kali lipat penduduk Jerman. Ayo kita serang, kita bikin kerusuhan!!!!
Itu semua tidak terjadi. Big Phil melakukan hal yang berbeda. Pelatih Brazil Luiz Felipe Scolari meminta maaf kepada warga negara Brazil, setelah timnya dihancurkan der Panzer di Piala Dunia. “Kami meminta maaf,” kata Scolari, setelah Brazil takluk 1-7 pada pertandingan semifinal di Belo Horizonte. “Kepada rakyat (Brazil), mohon maafkan kami untuk kesalahan negatif ini.”  (sumber: http://bola.antaranews.com/berita/443171/scolari-minta-maaf-setelah-brazil-dihancurkan-jerman)
Di akhir catatan ini, kembalil saya memohon maaf kepada para pembaca. Maaf kalau saya sudah membuat anda bosan, apalagi ada curcol, tapi sungguh saya tidak merasa tersakiti kok. Saya hanya bingung kepada orang-orang yang melupakan arti sesungguhnya dari kata maaf dan enggan untuk meminta maaf. Sekian dan terima kasih.

 

Artikel oleh: August 13, 2014   Kategori : A cup of coffee, Umum  Sebarkan 

Tulis Komentar Anda