Code of Conduct Pelayan Injil GSJA New Zealand

Dalam rapat Asia Pacific Assemblies of God Fellowship (APAGF) Oktober 2010, Rev. Ken Harrison Ketua Umum GSJA New Zealand dan juga sekaligus Ketua APAGF membagi pengalaman GSJA New Zealand (yang kemudian diadopsi oleh GSJA Australia) dalam menghadapi perkembangan ‘kemerdekaan’ dan ‘kebebasan’ hamba-hamba Tuhan GSJA di negaranya yang kerap kali menimbulkan persoalan dalam organisasi maupun dengan pemerintah. Ia menceritakan tentang bagaimana rumitnya menyelesaikan persoalan ketidak disiplinan dan persoalan yang ditimbulkan baik di tingkat gereja lokal maupun di tingkat organisasi akibat ‘kebebasan’ yang dimiliki setiap hamba Tuhan GSJA di sana. Kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan akibat adanya perilaku yang kurang mencerminkan derajat kependetaan di kalangan GSJA di negeri mereka, sementara Constitution & Bylaw (Tata Gereja dan Peraturan Pelaksanaan) New Zealand tidak cukup menjaganya. Sehingga sulit sekali untuk menerapkan disiplin terhadap apa yang terjadi di sana. Tata Gereja dan Peraturan Pelaksanaan mereka tidak cukup ‘jitu’ untuk menerapkan disiplin terhadap ‘kenakalan’ hamba-hamba Tuhan yang melihat kemungkinan celah-celah yang dapat dipakai untuk tidak didisiplin.

Akhirnya mereka memutuskan untuk menambahkan ke dalam Tata Gereja dan Peraturan Pelaksanaan yang mereka miliki, yang disebut Code of Conduct atau dapat diterjemahkan “Aturan Perilaku”. Gabungan dari Constitution and Bylaw inilah yang kemudian dipakai kini untuk menetapkan parameter perilaku kependetaan di GSJA New Zealand.В  Code of Conduct juga membantu organisasi untuk melihat kejelasan perlunya pendisiplinan bagi para hamba Tuhan yang menurut mereka ‘cross border’/melewati batas. Mereka telah menerapkannya sejak tahun 2003.

Code of Conduct tersebut disahkan melalui kongres mereka dan diberlakukan serta-merta. Dan sejak saat itu semua Pelayan Injil GSJA New Zealand menjaga kehidupan dan derajat pelayanan mereka lebih baik. Ia memberikan gambaran sebagai berikut:

  • Dalam salah satu survey tentang pelayanan di sebuah organisasi gereja, didapati bahwa jika sebuah organisasi gereja memulai dengan 100 orang yang menjadi hamba Tuhan, maka setelah 3 tahun, jumlah pendeta yang melayani berkurang menjadi 72 orang. 5 Tahun kemudian jumlahnya menjadi 60 orang. 7 tahun kemudian jumlahnya menjadi 50 orang. Dan 12 tahun kemudian, jumlahnya tinggal 8 orang saja.
  • Sebagian besar diakibatkan perilaku yang salah yang membuat orang jatuh, meninggalkan pelayanan, diberhentikan atau mengakhiri pelayanan
  • Di New Zealand, sejak tahun 1996 sampai tahun 2003, dari jumlah 112 pendeta (penuh) yang mereka miliki, berkurang menjadi 70 orang, karena alasan-alasan di atas. Hal ini menimbulkan kekuatiran bahwa para pendeta tidak mengerti batas-batas yang patut dan tidak patut dalam berperilaku yang membawa konsekuensi berhenti atau diberhentikan.
  • Sejak Code of Conduct dijalankan, maka dari jumlah 223 pendeta yang ada, hanya 2 yang kemudian terkena disiplin

Ketika kami menanyakan kesulitan apa yang dihadapinya untuk menerapkan Code of Conduct dalam setting di mana gereja-gereja bersifat lebih independen di banding Indonesia, ia menyebutkan tentang “kebiasaan dan keinginan orang untuk tidak mau dibatasi” adalah serangan terbesar. Sejumlah pendeta yang biasanya tidak mau berada di bawah aturan, tidak mau dikekang atas nama kemerdekaan gereja lokal atau independensi mencoba menghalangi disepakatinya Code of Conduct. Tetapi setelah penjelasan tentang pentingnya Code of Conduct dalam hidup pelayanan, akhirnya Code of Conduct tersebut diterima.

Code of Conduct adalah standar-standar tanggung jawab dan perilaku etis yang diharapkan dari seorang yang memegang kependetaan dalam pelayanan di GSJA New Zealand. Code of Conduct ini menetapkan kewajiban bagi seorang Pelayan Injil GSJA untuk sadar dan mengetahui adanya aturan-aturan ini. “Failure to comply with the provisions of the Code may be grounds for disciplinary action.”

Isinya adalah tentang Apa maksud:

  • KEJUJURAN,
  • KEPEDULIAN,
  • SEIMBANG DALAM SIKAP,
  • KOLEGIALITAS,
  • TRANSPARANSI, dan
  • KETAATAN MENGIKUTI ATURAN dalam kependetaan GSJA New Zealand.

Isinya lumayan detail, lebih detail dari Peraturan Pelaksanaan GSJA Indonesia yang mengatur perilaku kependetaan. Saya bertanya kepada perwakilan GSJA Australia, Rev. Kevin Hovay apakah Australia memiliki Code of Conduct, ia menjawab, “ya, kami punya!”. Mereka mengadopsi apa yang dilakukan oleh New Zealand.

Pembicaraan kami melebar dengan keterangan mengenai beberapa pendeta yang memiliki gereja besar seperti Singapura dan Amerika, dan beberapa negara Asia, yang berada dalam investigasi kepolisian negara atau negara bagian, dan kejaksaan tinggi negara karena kecurigaan pemerintah atas penggunaan uang gereja yang tidak patut. Sampai saat berita ini kami turunkan, gembala senior City Harvest Singapura bersama sejumlah pemimpin gereja mereka sedang dalam investigasi kepolisian negara karena adanya dugaan yang terkait dengan masalah keuangan dalam gereja. Ini menjadi pembicaraan di kalangan hamba Tuhan dan orang Kristen di Singapura.

Di negara-negara yang nilai demokrasinya terjaga baik, hak publik untuk mengetahui yang sebenarnya sangat dijaga oleh Pemerintah. Pemerintah tidak turut campur dengan ajaran dan pelaksanaan keyakinan sepanjang tidak menimbulkan gangguan bagi publik. Tetapi menyangkut pertanggung jawaban, pemerintah tidak segan-segan masuk dan melakukan pemeriksaan. Jadi, begitu pemerintah mencurigai pembelian-pembelian gedung tertentu yang dipakai untuk kebaktian dengan menggunakan uang yang cukup besar, maka pemerintah mewajibkan pemeriksaan. Hal itu untuk menghindari penyalah gunaan dan pengalihan keuangan gereja kepada badan-badan lain secara tidak sah, atau untuk menemukan apakah pajak dijalankan semestinya. Bahkan keuangan yang disebut sebagai ‘charity’ atau sumbangan sosial kemanusiaan, diteliti oleh pemerintah karena menjadi bagian dari hak publik untuk mengetahui apakah dilakukan sebagaimana mestinya.

Marilynn P. Fleckenstein dan John Bowes dalam tulisan mereka berjudul “When Trust is Betrayed: Religious Institution and White Collar Crime” memberikan berbagai contoh bagaiman ‘white collar crime’ dapat saja terjadi. White Collar Crime (menurut definisi penemu istilah tersebut, Prof. Edwin Hardin Sutherland) adalah istilah yang menunjuk kepada jenis kejahatan yang biasanya dilakukan oleh petinggi, karena melihat ‘loophole’ pada aturan, dan sulit dijerat, dan yakin bakal lolos dari sanksi.

Sedangkan Blue Collar Crime adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada kejahatan yang nyata-nyata kelihatan misalnay zinah, mencuri, memukul, merampok, dsb. Mulai dari penggunaan keuangan yang salah, aset, dsb. Ada suatu hubungan kepercayaan antara sebuah organisasi dengan donor yang harus percaya bahwa nilai-nilai (organisasi gereja) adalah suci dan bahwa dana-dana sumbangan digunakan untuk tujuan yang telah dinyatakan. Sayangnya ketika kepercayaan itu dilanggar, beberapa orang mulai mempertanyakan kepercayaan mereka kepada Allah yang dilayani oleh organisasi gereja tersebut.

Fleckenstein mengatakan bahwa “white collar crime” dalam gereja, kelihatannya ‘victimless’ tetapi dalam kenyataannya para donor yang kehilangan iman dan kepercayaan pada kemampuan organisasi menangani keuangan adalah korban sesungguhnya, ditambah dengan korban lainnya yaitu organisasi itu sendiri.

Betapa pentingnya seorang hamba Tuhan seperti kita untuk menjaga perilaku yang tetap meninggikan derajat kependetaan kita dalam segala hal. Kami sedang mencoba menerjemahkan dan mempelajarinya apakah Tata Gereja dan Peraturan Pelaksanaan kita memang sudah cukup untuk menjadi panduan bagaimana berperilaku sebagai seorang hamba Tuhan dalam organisasi kita, gereja kita, masyarakat dan negara.

Artikel oleh: November 4, 2010  Tags:   Kategori : Berita Organisasi, Berita Terkini  Sebarkan 

8 Komentar

  1. BPD GSJA Banten - November 4, 2010

    Memang Kode Etik sangat penting para Pelayan Injil agar ‘hidup’ dan ‘melayani’ dapat menjadi berkat
    bagi jemaat dan masyarakat. Di GSJA Daerah telah ada Kode Etik pelayan Injil yang telah telah dibukukan dan disahkan dalam RaKerDa GSJA Daerah Banten tahun 2009 lalu.
    Sangat bermanfaat.Bagus jika ini dibuat untuk skala nasional GSJA di Indonesia.
    tetapi harus memperhatikan keseimbangan ‘hak dan kewajiban’ pelayuan Injil juga.Terima kasih.Tuhan memberkati

  2. Lucas - November 4, 2010

    Artikel ini sangat bermanfaat, mengingatkan dan menantang kita sebagai hamba-hamba Tuhan untuk berani hidup dalam kedisiplinan, integritas dan meningkatkan derajat kita sebagai hamba-hamba Tuhan. Kiranya Tuhan memberi kita kasih karunia sehingga GSJA di Indonesia akan membuat perbedaan yang besar melalui perilaku kita sebagai hamba-hamba Tuhan.

  3. samuel H - November 4, 2010

    Setuju bangeeeeeettt…. agar kita para hamba Tuhan tidak mudah jatuh.

  4. Morasi Tumanggor - November 5, 2010

    Terima kasih saya juga sangat di berkati dan setuju sekali GSJA Indonesia
    memberlakukannya agar seluruh pelayan injil dapat tertib berperilaku.Harapan saya BPP
    memasukkannya nanti dalam forum terbuka pada saat Kongres 2011 dan memasukkannya sebagai tambahan dalam AD/ART GSSJA. JBU

  5. Daud I. Ufi - November 6, 2010

    Sebenarnya Kode Etik Pelayan Injil sudah sangat Jelas di Alkitab & setiap hari kita khotbahkan kpd Jemaat jd, tinggal bagaimana kita Pelayan Injil jg mentaati FA yang ada.

  6. Ferry Tabaleku - November 6, 2010

    Terima kasih kepada Tuhan dan kepada BPP, sebab hal inilah merupakan kebutuhan dasar bagi
    pelayan Injil GSJA di Indonesia, dan sekaligus sabagai alat untuk memproteksi kita sebagai pribadi yang lemah dan terbatas. Harapan dan doa kiranya hal ini secara khusus dibahas dalam kongres ini. Karena perubahan jaman begitu cepat maka kita perlu secepat mungkin untuk mengantisipasinya. Tuhan memberkati kita agar tetap setia dalam pelayanan yang dpercayakan kepada kita baik kecil atau pun besar, biarlah nama Tuhan di agungkan.

  7. Udin Timothy Sinaga - December 2, 2010

    Saya berpendapat boleh saja kita adopsi Code of Conduct seperti yang diterapkan New Zealand di kalangan GSJA Indonesia, tetapi kita juga harus pikirkan sisi negatifnya. Jangan kita hanya melihat sisi positifnya. Kita sudah banyak pengalaman, jika para PI ini terlalu kita kekang dengan banyak aturan dan peraturan, mereka bisa lari ke organisasi lain. Di organisasi lain banyak kemudahan-kemudahan yang tidak terlalu mengekang para pelayan Injil. Yang kita khawatirkan Pelayan Injil kita bisa disedot semua dan lari kesana, kita juga yang kehilangan. Di New Zealand dan Australia dan negara lain mungkin mereka bisa di kekang dengan berbagai aturan karena kontribusi organisasi sangat banyak ke gereja lokal. Sedangkan kita di Indonesia harus berjuang sendiri-sendiri mencari dukungan dari berbagai sumber. Ini perlu kita pikirkan bersama, bila penting wacana ini coba dibicarakan dalam Kongres mendatang biar tun t…a….s…t….a…s.

  8. Hendra Mulyana - December 6, 2010

    Saya rasa Code of Conduct mirip dengan Kode Etik seperti yang diterapkan di kalangan profesi (IDI bagi para dokter, PWI bagi para wartawan/jurnalis dll.); jadi jika mereka yang bukan rohaniawan saja menganggap keanggotaan dalam suatu wadah merupakan suatu kehormatan meskipun ada kode etiknya, tentu para hamba Tuhan yang baik akan melihat Code of Conduct sebagai hal yang jauh lebih besar nilai positifnya, apalagi jika itu ditetapkan melalui Kongres.

    Saya juga mengusulkan agar GSJA membuat TG/PP (dan kalau juga nanti dibuat Kode Etik) dapat diakses oleh semua anggota GSJA seperti Assemblies of God USA & Australia membuatnya dapat didownload di internet. Hal ini saya rasa perlu, karena ketidak tahuan jemaat memberi banyak peluang kepada Gembala Sidang yang nakal dalam membodohi jemaatnya.

    Majulah GSJA!

Tulis Komentar Anda