Teologi & Sains

by Budi Setiawan

INTRODUKSI

Sejarah yang kompleks yang menyertai hubungan antara ilmu pengetahuan dan teologi telah berusia 400-500 tahun. Pada abad pertengahan bagian akhir, teologi pernah disebut sebagai  “The Queen of the Sciences” karena hampir semua institusi perguruan tinggi yang dibangun, dimulai dan berpusat kepada teologi itulah pelajaran yang diharapkan akan dipelajari oleh anak-anak muda. Tetapi keadaan berubah ketika Enlightenment/Pencerahan melanda Eropah terutama Jerman.  Sejak hari itu, hubungan yang ada antara teologi dan ilmu pengetahuan menjadi  hubungan kritis antara ‘reason’ dan ‘revelation’.

Ada perbedaan mendasar antara sains dan agama, menurut rabbi Jonathan Sacks ketika mengomentari ucapan Steven Hawking baru baru ini.

“There is a difference between science and religion. Science is about explanation. Religion is about interpretation.”

TEOLOGI SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN

Apakah teologi adalah benar dapat disebut ilmu pengetahuan? Teologi sering digolongkan sebagai ilmu sosial, tetapi tentu saja di kalangan Seminari, teologi memiliki tempat tersendiri yang lumayan bergengi di banding dengan ilmu-ilmu lain. Definisi teologi menurus Augustine dari Hippo adalah bahwa teologi sebagai “reasoning or discussion concerning the Deity”. Richard Hooker mendefinisikan teologi sebagai “the science of things divine. Para teolog menggunakan analisa dan argumentasi (baik secara filosofis, ethnografis, historis, spiritual dan lain-lainnya) untuk memahami, menjelaskan, menguji, mengkritik, dan mempertahankan atau menyebarluaskan  berbagai topik agama.

Randal Rauser dalam tulisannya berjudul “is Theology a science, non Sense or something in between?” mengatakan bahwa keraguan orang pada theology sebagai sains adalah dikarenakan theology tidak memiliki metodologi yang dapat disetarakan dengan ‘a test tube science’. Padahal sosiologi, psikologi dan ekonomi memiliki ciri yang sama dengan teologi, atau literatur dan sejarah. Jadi seharusnya orang tidak canggung untuk meletakkan teologi sebagai sains.

“However, there is some consensus. Most Christians ascribe a primary place to the place of the Bible as a normative revelation. But theologians also draw upon reason, experience, tradition, and current understandings prevelant in other fields of knowledge discourse including science and history. Systematic theology in particular is of its nature an integrative discipline which as such draws on all these sources.”

Ini adalah bentuk saintifik teologi di tangan seorang teolog. Bahwa nalar menjadi mdia dimana teologi diolah dan dikenakan unsur-unsur yang membantunya menjadi benar-benar bernilai keilmuan.

Apakah sains memiliki jejak-jejak konstruksi sosialnya? Tentu saja, menurut Elizabeth Newman, baik teologi majupun sains sama-sama terkonstruksi secara sosial melalui ‘interest’ atau kepentingannya. Tak ada pengetahuan yang bebas dari kepentingan saat ia terbentuk. Untuk mengatakan bahwa sains benar-benar secara total terlepas dari kepentingan adalah keliru.

Namun demikian, Austin Cline mengatakan bahwa karena teologi biasanya berakar pada sebuah tradisi yang membuat pemahaman atau tafsir terhadap pengalaman keagamaan dan tafsir itu telah menciptakan keterbatasan-keterbatasan tertentu sehingga tidak dapat toleran terhadap tradisi lain, maka sulit sekali meletakkan teologi pada tataran universal. Cline paling tidak ada 3 sumber utama yang melandasi sistem teologi Barat:

“The three most important sources from which Western theological systems derive their premises are divine revelation, natural reason, and community traditions. Thus much of what occurs in theology involves the logical, historical, and even mystical exegesis of a body of authoritative traditions and texts that are generally accepted as authoritative on the basis of faith.”

Thomas Torrance, teolog Protestan di University of Edinburgh, menuliskan tentang teologi ilmiah yang didasarkan pada pewahyuan Allah dengan mempraktekkan metode unik yang berbeda dari ilmu sains eksakta.

Sedangkan Wolfhart Pannenberg, profesor Teologi Sistematika di University of Munich, berpendapat bahwa teologi adalah sains tentang Allah, dan menggunakan metodologi yang sama dengan ilmu eksakta, sekalipn terdapat perbedaan-perbedaan.  Dalam pandangan teologi Pannenber, Allah adalah  ‘the all-determining reality’, yang menjadi obyek dari teologi. Teologi berbeda dari sains dalam hal derajat ‘incompleteness’ dan dalam penekanannya tentang masa depan.

Bagaimana dengan Sains?

“What does that really mean? Science refers to a system of acquiring knowledge. This system uses observation and experimentation to describe and explain natural phenomena. The term science also refers to the organized body of knowledge people have gained using that system. Less formally, the word science often describes any systematic field of study or the knowledge gained from it.”

TANTANGAN ILMU PENGETAHUAN KEPADA TEOLOGI

Paling tidak, menurut Kennet Cauthen, ada 4 tantangan utama dari imu pengetahuan kepada teologi ortodoks yang telah mempengaruhi  perubahan pemikiran Kristiani.

  1. Ilmu pengetahuan telah berhasil mempertanyakan kembali klaim-klaim kebenaran yang didasarkan pada pewahyuan supernatural dan tradisi.
  2. Ilmu pengetahuan tidak menganggap kosmologi Alkitabiah itu bernilai. Penemuan-penemuan Copernicus dan Darwin telah menggungcang iman orang-orang percaya sampai hari ini.
  3. Ilmu pengetahuan membuktikan tentang adanya hukum yang mengikat dalam dunia ini sehingga tentang mujizat dan hal-hal supernatural dipertanyakan kembali
  4. Ilmu pengetahuan membuktikan bahwa alam ini memiliki sistem kausal yang cukup pada dirinya sendiri sehingga tidak diperlukan adanya Pencipta atau adanya tujuan ilahi dari dunia semesta.

Bahkan Steven Hawking – fisikawan antariksa Inggris (68 tahun) menyatakan secara terbuka baru-baru ini (2 September 2010) bahwa Allah tidak menciptakan semesta ini karena hukum gravitasi sudah cukup menjelaskan bagaimana semesta ini jadi. Hukum gravitasi dapat membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada.

Steven Hawking yang sangat terkenal dengan teori ‘Big Bang’ berkata bahwa suatu ‘Big Bang’ tidak terelakkan, mau tidak mau harus diterima. Big Bang, menurutnya, dapat menjelaskan terjadinya segala sesuatu dari ketiadaan tanpa harus melibatkan Allah yang personal.

“Because there is a law such as gravity, the universe can and will create itself from nothing. Spontaneous creation is the reason there is something rather than nothing, why the universe exists, why we exist. It is not necessary to invoke God to light the blue touch paper and set the universe going.”

Teori Big Bang dilandasi pada pengamatan adanya jarak yang mengembang antar galaksi yang menjadi petunjuk bahwa pada suatu hari kita di masa yang akan datang kita hanya mampu melihat dengan teleskop yang ada, galaksi ita sendiri karena semua jarak dari ribuan galaksi yang ada makin menjauh. Itu hanya bisa diinterpretasikan bahwa pada suatu waktu di masa lalu dari sebuah titik yang adalah ‘nothing’ telah terjadi ledakan dahsyat yang menciptakan partikel hebat pembentuk benda-benda semesta padat dan membuat jarak antar galaksi menjauh dari satu sama lain. Jelasnya, teori Steven Hawking amat berbeda dari penjelasan Alkitab tentang bagaimana semesta dan bumi ini jadi.

Sementara kepastian tentang adanya intelegensi tertinggi yang menyebabkan alam semesta berjalan sebagaimana mestinya dikemukakan oleh Albert Einstein yang berkata, “God does not play dice” yang dimaksudkan bahwa semesta ini tidak jadi karena kebetulan.  Einstein memang tidak percaya kepada adanya Allah yang berkepribadian seperti Allah yang diperkenalkan dalam Alkitab, tetapi ia tidak menyangkal bahwa segala sesuatu memiliki permulaan. Ia seorang Yahudi, membaca Perjanjian lama dan kitab Talmud, tetapi ia adalah seorang yang sangat mengagumi Yesus. Dalam wawancara di Saturday Evening Post, tahun 1929, berikut petikannya:

“To what extent are you influenced by Christianity?”

“As a child I received instruction both in the Bible and in the Talmud. I am a Jew, but I am enthralled by the luminous figure of the Nazarene.”

“Have you read Emil Ludwig’s book on Jesus?”

“Emil Ludwig’s Jesus is shallow. Jesus is too colossal for the pen of phrasemongers, however artful. No man can dispose of Christianity with a bon mot!”

“You accept the historical existence of Jesus?”

“Unquestionably! No one can read the Gospels without feeling the actual presence of Jesus. His personality pulsates in every word. No myth is filled with such life.”

Bagaimana sebenarnya permulaan pergesekan antara Ilmu Pengetahuan dan Agama? Arena apa yang menjadikan pergesekan itu kelihatan ‘permanen’ dalam sejarah manusia? Jawabannya adalah: Sekularisme.

SEKULARISME

Ketika Renaisans, yang berarti kelahiran kembali, muncul di Italia Utara (akhir abad 13 – tahun 1600) suatu periode perubahan budaya yang hebat dan pencapaian di Eropah menandai transisi transisi dari Eropah Abad Pertengahan menuju Eropah Abad Modern Awal. Renaisans ditandai dengan ‘pemberontakan’ terhadap kekuasaan Paus dengan menguatnya kekuatan politik masa itu, maka dimulailah masyarakat sekularis yang memisahkan antara negara dan agama, orang makin kurang tertarik dengan agama, makin menyukai pahala yang langsung daripada pahala masa yang akan datang yang dijanjikan agama, wordview Kristiani makin kurang populer di antara masyarakat biasa, seni sekuler makin populer dan mengalahkan seni dan ikon Kristiani. Apalagi dengan dimulainya era percetakan sehingga buku-buku dengan berbagai ide dan harga yang murah mulai menjadi bacaan masyarakat masa itu. Masyarakat makin terdidik, makin mengerti dan makin berani.

Istilah ‘sekuler’ itu sendiri pertama kali digunakan oleh George Holyoake di tahun 1851 untuk menggambarkan  pandangannya  yang mempromosikan tatanan sosial yang terlepas atau terpisah dari agama tanpa mengabaikan atau mengkritisi keyakinan agama. Holyoake sendiri seorang Agnostik, tetapi definisinya saat digunakan pertama kali tidaklah setajam periode berikutnya ketika konflik antara agama dan pengetahuan makin meluas. Pada masa kini, sekularisme hidup dalam filsafat humanisme yang juga turut menekankan filsafat materialisme.

Kebangkitan semangat belajar di Eropah yang dimulai pada abad ke 12 yang dikenal sebagai Scholasticism yang kemudian berhenti akibat ‘Black death’ satu pandemi yang melanda Eropah tahun 1348 yang mengakibatkan kematian hampir setengah dari penduduk sebuah negeri dan dimulainya periode Renaisans yang kemudian dianggap sebagai awal kebangkitan ilmu pengetahuan. Renaisans menandai perubahan menentukan dari filsafat alamiah Aristotelian menuju ilmu kimia dan biologi. Semangat untuk mempertanyakan terus apa yang selama ini dianggap sebagai kebenaran demi menemukan jawaban-jawaban baru dikenal sebagai ‘Revolusi Pengetahuan’.

Masa itu kemudian diikuti dengan masa ‘Pencerahan’ atau ‘Enlightenment’ pada abad ke 17. Masa inilah yang disebut sebagai ‘the Age of Reason’ yang benar-benar mengarahkan peradaban manusia kepada ilmu pengetahuan modern dengan tokoh-tokoh: Newton, Descartes, Paschal, dan Leibniz, Benjamin Franklin, Leonhard Euler, dsb.

Masa berikutnya adalah kemunculan Romantisisme Pengetahuan membuka kembali pencarian bergaya klasik era ‘Pencerahan’. Pada masa inilah Teori Evolusi Darwin muncul, dan sejumlah pengetahuan seperti elektromagnetis, matematik dan kimia. Setelah masa ini, keunggulan Ilmu Pengetahuan makin didengungkan dan jarak di antara agama dan ilmu pengetahan semakin jauh. Masyarakat makin mempercayai Ilmu Pengetahuan sebagai penjelasan paling masuk akal tentang asal mula kehidupan dan tujuan dari kehidupan.

Inti dari sekularisme adalah “the belief that morality or education should not be based on religion.” Inilah yang terus menggerus religiositas masyarakat Eropah samai kepada tahap

PASCA SECULARISM?

Karen Armstrong dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa mengapa Fundamentalisme (agama) muncul dalam berbagai agama di abad keduapuluh, itu adalah semacam pemberontakan kepada masayarakat modern sekuler yang memisahkan negara dan agama. Fundamentaalisme berusaha membawa Tuhan/agama ke tengah-tengah panggung budaya modern. Semua gerakan fundamentalisme berakar pada ketakutan yang dalam bahwa masyarakat liberal dan sekuler akan melenyapkan agama.

Sejenis “Christianophobia” melanda masyarakat Eropah sehingga pemakaian simbol-simbol agama dilarang di Perancis, penghilangan penyebutan pengaruh kekristenan pada peradaban pertama Eropah dalam konstitusi mereka. Tetapi, sebagaimana Jay Tolson berkata, bahwa justru hal-hal itulah yang kemudian ternyata mendorong benua Eropah pada kemerosotan budaya dan ekonomi. Sebaliknya, Daniel Dennett, seorang filsuf dan seorang ilmuwan kognitif Amerika dan mengaku ateis vokal, justru menantang orang agar meninggalkan mitos tentang Allah supaya dapat mempertahankan masyarakat yang stabil dan berkeadilan. Ia mencontohkan Denmar.

“Denmark, according to recent study, is the sanest, healthiest, happiest, ost crime-free nation in the world, and by and large the Danes simply ignore the God issue.”

Benarkah bahwa apa yang dikatakan Daniel Dennett akan dirangkul juga oleh filsuf lainnya? Jurgen Habermas adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ateis sekuler setelah hampir 50 tahun menentang argumentasi moral yang didasarkan kepada agama, membuat sebuah komentar menarik di tahun 2004 dalam sebuah tulisan yang berjudul “A Time of Transition”

“Christianity, and nothing else, is the ultimate foundation of liberty, conscience, human rights, and democracy, the benchmarks of western civilization. To this day, we have no other options (to Christianity). We continue to nourish ourselves from this source. Everything else is post modern chatter.”

Paus Benedictus mengatakan juga:

“Secularism is no longer that element of neutrality which opens up areas of freedom for everyone. It is beginning to turn into an ideology that imposes itself through politics and leaves no public space for the Catholic and Christian vision, which thus risk becoming something purely private and essentially mutilated. We must defend religious freedom against the imposition of an ideology that presents itself as the only voice of rationality.”

Pengamatannya terhadap perkembangan sekularisme cukup tepat, bahwa sekularisme telah menjadi sejenis ideologi yang merasuki berbagai kehidupan manusia dan cenderung mempengaruhi orang untuk percaya bahwa ia adalah satu-satunya suara rasionalitas. Sekularisme adalah adalah tanah paling subur bagi Pluralisme. Sekalipun Sekularisme dicurigai sebagai sesuatu yang negatif, tetapi ia dapat membantu masyarakat untuk mengadakan pemisahan antara negara dan agama. Baik dalam sejarah Kristen ataupun agama-agama lain, peran perjuangan politik dalam membentuk dogma, ajaran atau credo keagamaan adalah sangat besar. Sebagaimana dikatakan oleh John William Draper dalam bukunya berjudul “History of the Conflict Between Religion and Science”

“The anatognism we thus itness between Religion and Science is the continuation of a struggle that commenced when Christianity began to attain political power.”

Itu sebabnya, kita tidak pernah lengkap mempelajari kredo agama tanpa mempelajari sejarahnya. Dalam sejarah kita menemukan penyebab, dorongan, motifasi, situasi dan pribadi-pribadi yang amat dipengaruhi secara internal mereka dalam menghasilkan perjuangan external.

Sekularisme menjadi tanah subur bagi Pluralisme (paham yang menerima keberagaman sebagai suatu kenyataan). Sebagaimana dinyatakan oleh Petermann:

“If I were asked what are the biggest changes in theology since the first half of the twentieth century, since the great neo-orthodox days, I would mention, first, the concern for the issue of the pluralism of religions, and second, the deep, and very new, theological concern with nature. Religious pluralism calls into question the truth and authority of a particular tradition.”

Pengetahuan tinggi adalah hasil dari kebebasan berpikir, dan karena kebebasan berpikir memerlukan kemerdekaan maka pengetahuan selalu memiliki kekuatan untuk membebaskan diri dari norma, aturan dan nilai. Pengetahuan memerlukan panduan karena pengetahuan tidak bisa disebut pengetahuan sampai itu mendatangkan manfaat bagi manusia. Pengetahuan dapat menjadi liar tanpa agama, sebaliknya agama menjadi naif jika menafikkan pengetahuan (Albert Einstein)

Sampai kepada hari ini, ‘tension’ antara ilmu pengetahuan dan teologi masih berjalan. Teologi merasa memiliki jawaban yang bersifat ontologi (tentang asal usul keberadaan semesta dan manusia) dan ingin turut menentukan arah epistemologi (teori pengetahuan). Tetapi sains kemudian menolak pengaruh agama karena agama tidak memberikan kebebasan dalam memeriksa berbagai premis dirinya sendiri.

BAGAIMANA DENGAN SEORANG LULUSAN SEKOLAH ALKITAB

Pendeta umumnya lulus dengan diiringi semacam ‘kekuatiran’ apa yang akan terjadi dengan mereka karena belum tentu dunia di sekitarnya dapat memahami apa ang dipelajari di Sekolah Alkitab.

Jadi, ‘destiny’ pendeta tidak dapat dipikul oleh seorang dosen manapun. Anda harus menyadari keterbatasan teologi dalam lingkup pergaulan kemasyarakatan. Teologi dipelajari supaya anda mengerti tentang kebenaran sebagaimana diwahyukan oleh Allah melalui Alkitab. Tetapi anda tidak boleh berhenti untuk mengembangkan diri anda mencari titik temu, atau saya menyebutnya titik kritis antara teologi dan pengetahuan karena teologi harus membawa manfaat bagi kesejahteraan hidup manusia juga.

Sejak peristiwa 9/11 di Amerika terjadi semacam krisis terhadap pandangan keagamaan. Mengapa agama menuntun orang pada usaha ‘pembinasaan’ yang tidak beralasan. Apa yang salah? Di sini anda mulai melihat bagaimana secara aneh, yang disebut oleh Karen Armstrong, bahwa fundamentalisme tercipta sekalipun sekularisme berjalan. Ketika agama benar-benar dilepaskan dari pengetahuan, maka yang tertinggal hanyalah Fundamentalisme agama yang dapat mengorbankan pelaku agama tu sendiri.

Semogakita menyadari bahwa kita harus melayani dengan dignity / bermartabat dan memiliki hati yang suci untuk membedakan kemutlakan kebenaran Allah, relatifitas atau ketidak mutlakkan penafsiran, adanya perkembangan teologi, dan relevansi pengetahuan kita pada tataran praktis, dsb.

Seorang lulusan Sekolah Teologi dibentuk untuk mempertahankan 3 hal utama (yang terkait dengan mode sains aplikatif) yaitu orthodoksi (ajaran yang benar), orthopraksis (perilaku yang benar) dan orthopati (pengalaman yang benar).

Ketiganya yang dijaga secara seimbang akan membantu anda untuk rendah hati dan mengakui sains tidak dapat diabaikan, tetapi tidak dapat dimutlakkan. Sedangkan teologi akan selalu dalam pergumulan untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang Allah, tujuan hidup, kemana segala sesuatu akan bermuara.

Tuhan memberkati!

Artikel oleh: October 1, 2010  Tags:   Kategori : Artikel  Sebarkan 

Satu komentar

  1. KY. Ugith - June 9, 2011

    Pada dasarnya IPTEK tidak pernah bertentangan dengan Alkitab. Hanya cara pandang kita saja yang menganggapnya demikian. Banyak ayat-ayat Alkitab yang telah di buktikan oleh Sains. Dalam Alkitab cukup banyak tersirat informasi yang sejalan dengan sains dan umumnya Alkitab mengandung cukup banyak ungkapan kiasan, baik yang berbentuk bahasa fenomenal, berbentuk bahasa simbolis dan lain-lain. Umumnya kesalahan yang terjadi ketika kita memahami ayat-ayat Alkitab adalah karena kita secara gegabah memahami isinya secara lateral atau harafiah, hal ini tidak hanya berlaku bagi masyarakat awam, namun tidak sedikit kepada mereka yang secara khusus mempelajari Alkitab.

Tulis Komentar Anda