Kesembuhan Bagi Para Gembala

By Budi S

Kisah sesungguhnya: Seorang hamba Tuhan dengan 30 anggota yang senang membetulkan mobil di Amerika. Setelah tujuh tahun pelayanan, tidak bisa juga mencukupi keperluan, sehingga kedua anak dan istrinya hidup tidak cukup. Dengan kemampuannya membetulkan mobil ia berusaha mencari tambahan. Seiring dengan itu persoalan demi persoalan datang di gerejanya sampai suatu hari jemaat memintanya lebih fokus dalam pelayanan. Ia kecewa sebab baginya yang diperlukan adalah bagaimana istri dan anak anaknya bisa hidup layak. Ia tenggelam dalam hobinya, mengabaikan pelayanannya sebagai tanda kekecewaan, setengah tahun kemudian jemaat harus memberhentikannya. Ia bercerai dari istri dan kedua anaknya dan tinggal kost di lantai dua sebuah bangunan dengan pekerjaan tetap membetulkan mobil. Ia menutup diri, dan menghabiskan waktunya dengan kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan panggilannya.”

Perhatikan statistik berikut yang diberikan oleh Daniel Sherman dalam artikel berjudul “Pastor Burnout by the Numbers” untuk gambaran para gembala di Amerika.

Bahwa menurut the New York Times (August 1, 2010) … “Members of the clergy now suffer from obesity, hypertension and depression at rates higher than most Americans. In the last decade, their use of antidepressants has risen, while their life expectancy has fallen. Many would change jobs if they could.

13% of active pastors are divorced. Those in ministry are equally likely to have their marriage end in divorce as general church members. The clergy has the second highest divorce rate among all professions.

23% have been fired or pressured to resign at least once in their careers.

25% don’t know where to turn when they have a family or personal conflict or issue.

25% of pastors’ wives see their husband’s work schedule as a source of conflict.

33% felt burned out within their first five years of ministry.

33% say that being in ministry is an outright hazard to their family.

40% of pastors and 47% of spouses are suffering from burnout, frantic schedules, and/or unrealistic expectations.

45% of pastors’ wives say the greatest danger to them and their family is physical, emotional, mental, and spiritual burnout.

45% of pastors say that they’ve experienced depression or burnout to the extent that they needed to take a leave of absence from ministry.

50% feel unable to meet the needs of the job.

52% of pastors say they and their spouses believe that being in pastoral ministry is hazardous to their family’s well-being and health.

56% of pastors’ wives say that they have no close friends.

57% would leave the pastorate if they had somewhere else to go or some other vocation they could do.

70% don’t have any close friends.

75% report severe stress causing anguish, worry, bewilderment, anger, depression, fear, and alienation.

80% of pastors say they have insufficient time with their spouse.

80% believe that pastoral ministry affects their families negatively.

90% feel unqualified or poorly prepared for ministry.

90% work more than 50 hours a week.

94% feel under pressure to have a perfect family.

1,500 pastors leave their ministries each month due to burnout, conflict, or moral failure.

Gangguan paling umum di kalangan Dokter, Pengacara dan Pendeta adalah penyalah gunaan obat-obatan, alkoholisme dan bunuh diri. Yang lebih menyedihkan adalah bahwa angka-angka di atas baru memperlihatkan setengah dari apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sebab setengahnya lagi adalah fakta bahwa Jemaat tidak mengenali dan tidak tahu apa-apa tentang adanya stress pada gembala. Mereka hanya punya satu jalan untuk memperbaiki keadaan gereja, yaitu “ganti gembala”.

Jika anda membaca tentang Kel. 3:11; Yes. 6:5; anda akan menemukan bahwa sindrom kurang percaya diri atau situasi yang tidak kita inginkan DAPAT & AKAN terjadi dalam pelayanan kita. Kapan ayat di dalam Yes. 40:31 tetapi orang orang yang menanti nantikan Tuhan akan mendapat kekuatan baru … Berlari tidak menjadi lelah …?

– Baik Musa maupun Yesaya, keduanya adalah orang terluka di awalnya, tidak yakin diri, merasa tidak bisa, tidak mampu, tidak sanggup.

Daniel Sherman dalam artikelnya, “Pastors burnout, the silent ministry killer” – ia sendiri pernah dua kali mengalami depresi – mengatakan bhw berdasarkan pengalamannya, seorang hamba Tuhan mengalami depresi yang dapat menuntunnya ke arah mengakhiri pelayanan atau bahkan dirinya sendiri dikarenakan DUA HAL UTAMA:

1. Karena menolak mengakui adanya masalah

2. Karena salah menduga, dipikirnya ia dapat mengendalikan masalah ternyata tidak

Mereka punya cacat juga:

# karakter : Musa emosional dan membunuh seorang Mesir

# keyakinan diri : Yesaya merasa tidak layak karena ucapan-ucapan yang tidak layak

# keyakinan tentang Tuhan: hampir kesemua tokoh Alkitab pernah dikuasai oleh hal hal in. Seorang hamba Tuhan pasti pernah mengalaminya, ketika ia sendiri mulai ragu-ragu tentang keberadaan Tuhan atau dimana Tuhan ketika masalah menimpanya.

Yesus menggambarkannya dengan perkatannya kepada Petrus, bahwa suatu kali, ya suatu kali, kita akan dipaksa masuk dalam situasi yang kita tidak inginkan. Yohanes 21:17-18

# Selera pelayanan kita hilang

# Kita menjadi pendiam karena kecewa

# Kita menarik diri dari pergaulan

# Kita kehilangan kepercayaan kepada orang-orang: it’s all about kepentingan

# Kita mengalami kerusakan karakter: mulai dari marah terhadap diri sendiri, marah kepada orang lain, marah kepada situasi, kata kata kasar, keinginan meninggalkan pelayanan, keinginan untuk sengaja menghancurkan diri sendiri …

Apakah Tuhan tahu jalan lembah yang harus dilalui oleh hamba-hambaNya … The healer was wounded …. untuk apa semua luka harus dialami seorang gembala sidang? Untuk apa semua pengalaman Paulus yang disebutkannya dalam 2 Kor 6:4-10? Sekedar penderitaan, sekedar menderita? Apakah Tuhan masih campur tangan ketika semua itu terjadi?

Mungkin kita merasa sedang berada di sebuah ‘toxic church’ yg dikatakan oleh John Setser dalam artikelnya yang berjudul “When senior pastors abuse his staff” bahwa

“A toxic church often mistreats staff associates. A toxic church exists when doing becomes more important than being. People in a toxic church believe their service to God is keeping church systems functioning. They believe God’s blessing results in bigger budgets for bigger buildings to accommodate more people. Looking successful replaces love as the key ingredient.”

Anda akan dilumat habis oleh suatu ‘toxic church’. Mungkin anda pernah sangat frustrasi setelah melihat bagaimana kawan anda dari gereja lain, memiliki gedung yang lebih baik, orang yang lebih banyak, dan uang yang lebih banyak,  kemudian anda masuk ke jalur tersebut. Apa saja dilakukan supaya anda masuk dalam kategori “sukses” tersebut, anda sedang mempersiapkan diri anda untuk kehilangan ‘nyawa’ anda sendiri.

Kita ditetapkan untuk menjadi berkat bagi orang lain, tetapi kita juga tidak mengingkari kenyataan bahwa seringkali kita membutuhkan ‘penghiburan’ dari orang-orang lain, dari orang-orang di sekitar kita, dari para leaders yang bersama-sama kita, 2 Kor. 1:3-5, Maz. 73. Kita sering memberikan kekuatan kepada orang lain, sementara di balik itu semua kita merasa persediaan kita hampir kosong.

James Watkins dalam  “Wounded shepherd: When is it time to leave the flock?” menulis demikian, “If we were to express all our struggles, doubts, temptations, failure at the moment of crisis, we may run the risk of betraying our flock by undermining their faith in God, and as us as God’s servants.” Benarkah seorang hamba Tuhan harus kelihatan super hero? Tidak pernah salah? Tidak pernah gagal? Atau tidak pernah kelihatan lemah? Tidak pernah menangisi diri? dsb. Para gembala sidang, seringkali menjadi bagian dari kelompok orang-orang yang paling tersendiri dan kesepian. Haruskah demikian?

Rowland Croucher dalam artikelnya berjudul “An Attempt to Understand Pastors’ Burnout and Why Pastors Leave Ministry” mengatakan penyebab utama mengapa pendeta meninggalkan pelayanan adalah karena ‘joyless ministry’ atau “kehilangan kebahagiaan dan sukacita pelayanan”.

Bagaimana itu bisa terjadi? Ini diakibatkan oleh:

1. Church conflict terutama dengan para pemimpin setempat. Ini adalah sebab utama yang membuat seorang gembala kehilangan sebagian besar sukacita pelayanan. Apa yang harus dilakukan lagi jika orang-orang tidak menghendakinya di situ?

2. Tidak cukup support sehingga ia dikuasai oleh perasaan dikhianati, gagal, dan marah. Seorang gembala sidang akhirnya kehilangan kendali. Ia tidak bisa menceritakan dengan bebas tentang perasaan-perasaan terdalam yang dihadapinya. Keadaannya memaksanya untuk menjalaninya ‘sendiri’. Ia bisa saja memiliki mentor, memiliki sahabat, atau siapapun, Tetapi seorang gembala sidang paling terbuka dengan pikirannya sendiri. Itu sebabnya sebagian besar menjadi ‘diam’ ketika ‘konseling dengan Tuhan’ terjadi.

3. Masalah dalam keluarga baik berupa masalah pernikahan, pasangan yang sulit menerima gaya hidup, dan masalah anak-anak

4. Kehilangan keyakinan diri

Anda dapat membandingkannya dengan pengalaman kita masing-masing, benarkah demikian? Tentu saja harus diakui benar

Nitwit, dalam bukunya “The Wounded Healer”, ia seorang minister dan therapist, merujuk pada pendapat Henry Nouwen tentang ‘fragmentasi’ seorang hamba Tuhan:

“Proses perjumpaan dengan Allah terjadi dalam ruang maha kudus anda. Nouwen writes that the key solution here is an “articulation” of inner life movements. This articulation allows you to be freed from your wounds by a slow and consistent removal of the inner obstacles preventing transcendence. Nouwen describes the process as a “deep human encounter in which one is willing to put one’s own faith and doubt, one’s own hope and despair, one’s own light and darkness, at the disposal of others who want to find a way through their confusion and touch the solid core of life.”

Inilah yang disebutnya “sanctuary of their wounded inner life” ruang suci dari hidup yang terluka.

BAGAIMANA MENYEMBUHKAN DIRI

masih yakinkah anda bahwa anda dapat menyembuhkan diri sendiri? Sebab jika anda tidak yakin, anda tidak akan bisa menyembuhkan orang lain juga yangmenghadapi perasaan kekosongan arti hidup dan kesunyian suara Tuhan di masa sulit.

1. Luka anda diperlukan untuk kesembuhan anda. Luka rohani yang dibawa ke hadapan kesucian Tuhan, kediaman jiwa, akan mengeluarkan enzim tertentu yang menyembuhkan. The presence of God ditandai dengan kegelisahan yang tiada habis sampai anda ‘tumpah’ dihadapannya. Doa, puasa dan membaca firman …. 3 hal yang tidak mungkin anda ingkari

2. Pikirkan apa yang baik bagi anda sendiri, bagi keluarga anda dan lalu bagi gereja anda. Buatlah rencana penyelamatan diri anda dulu. Jika anda harus berolah raga, lakukanlah.

3. Anda memerlukan seorang teman ….

4. Perluas pelayanan anda, bukan meninggalkannya. Biasanya, jika Allah mengijinkan kita melalui pengalaman ‘lembah’ dan ‘jurang’ Ia sedang mempersiapkan anda untuk memperluas pelayanan anda. Tak ada suatu pengalaman, sejelek apapun yang lolos dari rencana Tuhan, untuk mendatangkan kebaikan bagi diri anda dan saya.

Than memberkati!

Artikel oleh: October 1, 2010  Tags:   Kategori : Artikel  Sebarkan 

3 Komentar

  1. Thomas Herry - October 2, 2010

    Artikel tulisan yang bagus, sangat baik untuk direnungkan oleh semua gembala gembala.
    Kiranya Roh Kudus akan memberikan penerangan dan pencerahan melalui tulisan ini, sehingga para gembala boleh terus maju dan tidak ada yang mundur, bahkan bertambah pelayanannya. Tuhan memberkati.

  2. Yusuf Eko Widiarto - October 4, 2010

    Pada dasarnya memang pelayanan pastoral atau job dan panggilan seorang gembala adalah kompleks.
    Banyak faktor yang mempengaruhi paradigma dan gaya hidup seorang gembala dan jemaatnya.
    Banyak juga jemaat yang ‘tidak mau’ atau ‘EGP’ keadaan dan kebutuhan gembala dan keluarganya.
    Perhatikan beberapa orang yang ‘sudah’ tidak menjadi gembala lagi ‘tidak mendapat’ ‘perhatian’ yang cukup dari jemaatnya….seperti ‘mantan kepala desa’…. Mengapa seperti ini? Karena pada saat gembalanya dan keluarganya ada pun ‘sudah’ tidak mendapat perhatian yang cukup.
    Perlu dibangun adanya ‘saling asah-asih-asuh’ antara gembala dan jemaat sehingga hubungan timbal balik yang ‘blessed to bless’ tercipta ‘BENAR’ dan bukan sekadar “NATO” (No Action Talk Only) saja.
    Di GSJA yang perlu dipikirkan bagaimana caranya menumbuhkan pemahaman jemaat agar tidak terus-menerus minta diperhatikan tetapi juga perhatikan gembalanya? Banyak ‘janda’ gembala GSJA yang lepas ‘dari perhatian’ jemaat dan mungkin organisasi juga.
    Maju terus para gembala GSJA dan jemaatnya! Gbu

  3. Ongkie Hananto - October 15, 2010

    Sesekali , saya berkesempatan bertanya pada gembala : ” Waktu capai – BeTe berat, Anda pergi kemana ?” Umumnya langsung jawaban klise : “Lari ke Tuhan lah !” Kalau pertanyaan ini diteruskan , dan jawaban konkrit diharapkan, dijawab : ( persentase tidak berurut ) : Pasangan – Anggauta Majelis atau rekan sepelayanan di Gereja setempat – Hamba Tuhan di gereja lain – Teman seiman.Jemaat sendiri tidak favourable untuk jadi tempat mengadu. Beberapa mengingkari “Burn Out”.Menganggapnya tidak ada dan meneruskan perjuangan dengan kwalitas kerja buruk yang turun drastis. Saya terkesan beberapa Gembala yang kemudian menanggalkan atribut kependetaannya dan masuk dalam sebuah hubungan interpersonal yang akrab dan hangat dengan seorang yang memang siap untuk jadi teman biasa. Seseorang yang tidak punya pretensi kasih nasehat. Tidak akan beri saran (rohani) macam macam. Ia orang biasa – yang menemani pendeta burn out ini untuk makan soto babat sama sama, ngobrol ketawa ketiwi soal skor bola 7 – 1 , cerita lelucon sedikit tentang anak kepiting kepalanya dimana?. Terjadi proses “katharsis” sederhana. Dimana timbunan uap padat , di alirkan keluar dengan nyaman. Setiap lihat seorang pendeta supersibuk dan tegang, saya sering tanya : Siapa yang bersedia jadi gembala untuk gembala ini ? Who will pastor the pastors ?

Tulis Komentar Anda