Mengapa Mereka Takut Menjadikannya Gereja Pembina?

Di kalangan kita (GSJA) ada 3 jenis gereja: Perintisan/Pratama, Madya, dan Pembina. Gereja Perintisan/Pratama menurut definisi Tata Gereja dan Peraturan Pelaksanaan hasil Kongres ke XXI adalah jemaat dengan jumlah anggota di bawah antara 2 – 10 pengikut atau dapat dikatakan ‘anggota’. Gereja Madya harus memiliki 10 – 50 anggota. Gereja Pembina memiliki anggota di atas 50 orang dengan hak-hak diantaranya dapat memilih sendiri gembalanya dan dapat mengirimkan perwakilan sebagai utusan dalam Rapat Daerah atau Kongres (yang biasanya diatur dalam peraturan rumah tangga gerela lokal yang dibuat oleh Majelis Gereja)

Tetapi, jumlah Gereja dengan Status Pembina (bukan berukuran Pembina) hanya sedikit, sekitar 14 buah saja di seluruh Indonesia. Banyak pertimbangan telah dipikirkan oleh Gembala gereja Madya untuk tidak menaikkan statusnya menjadi Gereja Pembina. Mungkin anda mengetahui alasannya atau anda ingin mengusulkan contoh jalan keluarnya? Silahkan memberi komentar!

Artikel oleh: July 15, 2010  Tags: ,   Kategori : Artikel  Sebarkan 

26 Komentar

  1. Victor Paais - July 16, 2010

    Shallom Pak Budi,

    Saya mengamati hal ini sebenarnya sudah cukup lama, jika mengikuti Tata Gereja dan PP saya pikir sudah lebih dari 14 gereja yang harusnya terdaftar sebagai Gereja Madya tetapi kenapa mereka tidak mau meningkatkan status tersebut ? Menurut pengamatan saya, Pertama, Gembala Senior merasa takut tidak lagi terpilih ketika pemilihan kembali gembala dilakukan. Kedua, Gembala setempat merasa dialah yang memulai pelayanan tersebut (jika memang dia perintis pertama) sehingga tidak ada satu orang pun yang dapat mengganggu gugat atau mengganti posisi pelayanannya sebagai gembala sidang kecuali dia sendiri yang memutuskan untuk mengundurkan diri. Ketiga, ini mungkin agak klise, karena faktor ekonomi yang terancam jika gembala tersebut tidak lagi terpilih menjadi gembala sidang dengan otomatis dia kehilangan hak atas tunjangan dan salary gembala yang selama ini dia dapatkan.

    Kalau saya boleh memberikan saran; Pertama, Tata Gereja sebaiknya ditinjau kembali dengan mengatur mengenai hak dan kewajiban gembala yang tidak terpilih lagi dari gereja Pembina sehingga dengan tidak serta merta memutuskan tunjangan dan salary yang selama ini dia terima, tentu saja dengan mempertimbangkan posisi keuangan gereja sekarang. Kedua, Menempatkan gembala terdahulu di posisi sebagai penasehat Gembala atau Penatua Gereja sehingga kehadiran dan pendapat gembala terdahulu tetap diperlukan dalam gereja tersebut. Ketiga, mensosialisasikan mengenai kapan “waktu” suksesi kepemimpinan harus dilakukan dikalangan Gereja Sidang Jemaat Allah yang tentu saja mengacu kepada kebutuhan kepemimpinan di masing-masing gereja. Namun tentu saja ini diperlukan jiwa yang besar sebagai pemimpin untuk memikirkan dan memutuskan kapan suksesi itu dilakukan.

    Semua yang saya sebutkan diatas saya yakin memiliki banyak kelemahan dan kekurangan tapi ijinkan saya untuk memberikan masukan dan saran untuk memajukan kerajaan Allah di dalam tubuh GSJA. Tuhan Memberkati kita semua. Salam.

  2. lucky juventy - July 16, 2010

    Shalom…
    Saya setuju dengan tulisan yang telah disampaikan oleh perespon pertama
    Seperti apa telah disampaikannya yang saya dapat simpulkan ,mengapa gereja madya enggan menaikkan statusnya :
    1. Gembala Senior merasa takut dirinya atau orang dekatnya atau orang pilihannya ( yang tercetak miring tamb. dari saya) tidak terpilih ketika pemilihan gembala dilakukan.
    2. Gembala setempat merasa dialah yang memulai pelayanan tersebut sehingga tidak ada satu orang pun yang dapat mengganggu gugat atau mengganti posisi pelayanannya sebagai gembala sidang kecuali dia sendiri yang memutuskan untuk mengundurkan diri.
    3. Karena faktor ekonomi yang terancam jika gembala tersebut tidak lagi terpilih.

    Tambahan dari saya yaitu :
    4. Takut Majelis terpilih lebih “berkuasa” dalam gereja.
    5. Takut terjadi perpecahan

    Dan menurut saya kedua hal tersebut dapat terjadi karena factor kepemimpinan yang kurang kuat dari pimpinan gereja tersebut..

    Trima kasih.

  3. Samuel H - July 16, 2010

    Beberapa alasan dapat dikemukakan:
    1. Gembala sidang tidak siap karena pertimbangan seperti tanggapan perespon sebelumnya
    2. Jemaat belum siap dalam memahami pelayanan, seperti butir ke4 perespon kedua
    3. Organisasi belum siap untuk memberikan jaminan sosial untuk kehidupan paska tidak menjabat sebagai gembala sidang.
    4. Pandangan theologis bahwa jabatan gembala sidang adalah seumur hidup atau tidak ada batasannya bila dikaji dalam Alkitab. Dan juga bahwa visi itu pertama turun dari Allah kepada Gembala bukan Majelis.

    Saran:
    1. Temukan dan ungkapkan contoh kebaikan dan kemajuan yang dialami oleh Gereja yang sudah menjadi 14 Gereja Pembina sekarang dan juga kekurangannya sistem ini apa?
    2. Untuk Organisasi buatlah kebijakan untuk tunjangan hari depan mereka yang tidak lagi menjadi gembala sidang dan atau melibatkan gereja lokal ex gembala tersebut.

  4. andre - July 16, 2010

    ini jalan keluarnya menurut saya pribadi
    1. organisasi ini perlu kembali mengkaji masa jabatan seorang gembala.
    (berikan batasan yang jelas, supaya tidak terjadi status quo dalam sebuah gereja.)
    sampai 50 tahun, 60 tahun, 70 tahun, 80 tahun, atau sampai mati dst.
    2. gembala senior/perintis mula-mula diberikan pemahaman bahwa dari sedini mungkin harus mempersiapkan penerus yang sekiranya memiliki dedikasi yang sama seperti dirinya (walaupun pada kenyataannya sulit mendapatkan tapi pasti ada)kalau ia ingin “gerejanya” diteruskan oleh “keturunannya”.
    3. Gembala harus ditekankan untuk memiliki “new perspective” tentang gereja, (bangunan dan isinya), itu milik siapa. Kalau milik gembala, sampai matinya gembala itu, gereja akan tetap menjadi pemiliknya dan setelah ia meninggal, gereja akan kehilangan pemimpin dan gereja kosong tidak berjemaat sehingga gereja menjadi monumen.
    4. Setuju dengan beberapa pemikiran sebelumnya.
    5. Pemahaman dan pemaknaan kepada gembala madya tentang hak dan tanggung jawabnya yang sangat minim dalam pertemuan-pertemuan.
    Rakerda bukan menjadi rakerda tetapi untuk dengarkan ceramah dan khotbah dari tamu undangan atau pengkhotbah luar negeri. Rakerda sebenarnya dapat dijadikan alat untuk sosialisasi bagi seluruh pendeta untuk berani maju selangkah dalam iman meningkatkan jenjang gerejanya.
    6 dll.

  5. Frenky - July 20, 2010

    Syalom…pada dasarnya kita setuju-setuju kalau memang telah menjadi aturan organisasi yang dilandasi prinsip2 alkitabiah, namun ada hal2 yang perlu untuk kita cermati.
    1. Apakah hal ini (menjadikan gereja pembina)tidak berpotensi menimbulkan dampak2 yang tidak sehat dalam suatu pelayanan?
    2. Ditengah2 kemajemukan suku, budaya dan pola pikir masyarakat yang berbeda mulai dari ujung sumatera sampai papua, apakah hal ini tidak beresiko menimbulkan gaya hidup “rohani” yang sekuler???
    3. Nilai santun dan etika yang merosot saat ini apakah tidak berpengaruh pada sosok eks pemimpin/gembala sidang yang telah lama mendidik, melayani dan membina jemaat setempat sehingga menjadi jemaat pembina. Yang pada dasarnya setelah tidak lagi melayani dan menjadi gembala sidang pada umumnya mereka tidak dihargai dan dihormati apalagi menyangkut kekurangan yang mereka miliki, yang saya tau bahwa semua kita tidaklah sempurna..
    Inilah 3 dari sekian banyak halyang masih perlu kita cermati sesuai dengan kondisi dan keadaan masyarakat yang majemuk..dan bukan masalah berani atau tidak beraninya, jika itu adalah baik untuk masa depan jemaat Tuhan, namun jika hal ini masih memiliki “celah” mari kita pertimbangkan lagi atau perlu pendewasaan dikalangan hamba-hamba Tuhan.. Kiranya Tuhan memberkati Pelayanan kita masing2…

  6. sutris triyanta - July 20, 2010

    Shalom,
    menarik bagi saya untuk berkomentar mengenai Sidang Pembina ini karena sudah cukup lama Organisasi mempromosikan tetapi sepertinya banyak hamba Tuhan yang enggan melangkah.
    pada prinsipnya saya setuju dengan komentar yang sudah disampaikan, dan untuk itu saya menambahkan saran 1. supaya ada promosi yang lebih dahsyat dari organisasi. 2. kumpulkan para gembala sidang yang sudah layak meningkatkan status gerejanya menjadi Pembina, upgrade iman dan keberanian mereka untuk melangkah maju. 3. Karena masalah utamanya adalah gembala sidang, maka merekalah yang jadi sasaran pembinaan, dan perlu kesadaran bagi para Pendeta bahwa tidak untuk selamanya kita melayani sebagai gembala sidang karena ada waktunya kemampuan kita tidak lagi memadai untuk itu, dan meningkatkan status gereja adalah alternatif solusi menejemen yang baik. trima kasih. God bless you all

  7. Hendra Mulyana - July 21, 2010

    Saya rasa kita perlu melihat masalah ini dengan lebih realistis, maksud saya: dalam Peraturan Pelaksanaan Ps XIII.6.B.c.v disebutkan: “Bilamana persyaratan untuk menjadi Gereja Pembina dicapai, maka Gembala Sidang dapat mengajukan permintaan peningkatan status kepada BPD.” ini sudah merupakan langkah mundur dalam soal Gereja Pembina, karena dalam versi tahun 1999 bukan digunakan kata “dapat” tapi kata “wajib”. Jadi kalau kita mau mempromosikan sistim Gereja Pembina sementara Kongres sendiri meragukannya, itu akan menjadi usaha yang terlalu dipaksakan. Mungkin yang perlu kita cermati adalah: mengapa para Pendeta lebih menyukai status Gereja Madya? Kelihatannya sistim Gereja Madya telah menjadi status ternyaman bagi para Pendeta, bahkan menjadi status yang paling mendukung untuk para Pendeta yang kebetulan tidak baik karakaternya karena memberi keleluasaan untuk sifat serakah dan sewenang-wenang di sana. Hal tersebut disebabkan beberapa alasan, yaitu:

    (1) Karakter Gembala Sidang tertentu yang memang buruk atau memburuk.
    (2) Lemahnya peranan BPD tertentu dalam mengarahkan, memantau dan di mana perlu mendisiplin Gembala Sidang Madya.
    (3) Kurangnya aturan dalam PP yang cukup jelas untuk mencegah Gembala Sidang Madya dari berlaku semaunya.

    Jadi usulan jalan keluar dari saya adalah perlunya memperbaiki aturan-aturan yang berkenaan dengan Gembala Sidang Madya yang dapat membatasinya dari sikap serakah dan sewenang-wenang yang menyebabkan lemahnya peranan BPD dalam mengarahkan, memantau dan mendisiplin. Jika status Gereja Madya tidak lagi memberikan keleluasaan bagi Gembala Sidang yang ‘nakal’, maka status Gereja Pembina tidak akan terlalu terasa jauh berbeda dan menakutkan.

    Masalah kelanjutan dari pelayanan mantan Gembala Sidang yang tidak terpilih dapat diatur dalam Peraturan Rumah Tangga yang membolehkannya untuk memilih tetap melayani sebagai Staf Pastoral di gereja tsb atau diberikan santunan yang besarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan sebelum mendapat nafkah yang memadai (misalnya sebesar tunjangan satu tahun atau yang dianggap pantas disesuaikan dengan masa baktinya). Mungkin hal ini perlu di singgung dalam TG-PP.

    Terimakasih, Tuhan memberkati kita sekalian!

  8. Udin Timothy Sinaga - July 22, 2010

    Sebenarnya hal ini sudah lama menjadi perbincangan di kalangan PI GSJA, dan mungkin sudah perlu untuk di modifikasi, sebab tidak sesuai lagi untuk zaman ini. Coba kita bayangkan, sejak berdirinya gereja tsb, diawali dengan satu orang jemaat, gereja sudah berdiri dengan megah, bangunan-bangunan lain juga sudah berdiri di atas lahan yang sudah dipersiapkan. Pendeta perintis sudah bertahun-tahun berjuang siang dan malam, bersaksi dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Untuk pembangunan gereja juga si pendeta perintis tidak obahnya seperti peminta-minta tidak kenal malu. Tetapi setelah jemaat banyak, gereja sudah besar, aset sudah banyak, tiba-tiba kita harus terlempar dari tsb karena kalah dalam pemilihan gembala sidang. Betapa mengerikan, usia masih muda, masih semangat-semangatnya, masih produktif sekali dalam pelayanan, tapi harus kembali ke titik nol. Terus terang saja, saya sendiripun tidak mau jadi gereja pembina, sebab saya tahu apa yang sudah saya perbuat untuk membangun gereja dann pelayanan yang dipercayakan Tuhan pada saya. Tuhan memberkati, kiranya tanggapan ini bermanfaat untuk dapat di bawa dalam kongres mendatang.

    Udin Sinaga
    Sekda Sumut-1

  9. egen - July 23, 2010

    Saya hanya mau bertanya aja … Apakah ada manfaat besar (POSITIF) gereja pembina untuk pertumbuhan GSSJA di Indonesia.. Kalau ada tolong beri jawaban

  10. sonang pardede - August 24, 2010

    1.Sudah waktunya Tata Gereja GSJA di Indonesia di amandemen karena perubahan paradigma cultur masa lalu dengan perkembangan era globalisasi karena Tata Gereja bukan Alkitab.Aritnya bisa diamandemen dengan tujuan perbaikan dan kemajuan visi misi GSJA di INdonesia.
    2. Perubahan status Madya ke Pembina haruslah dicermati dengan erif suka-duka perintis/pendiri dan yang melanjutkan(mengembangkan) yang sudah pertaruhkan masa depannya & keluarganya.
    3.Tidak terlepas dari standarisasi kesejahteraan Pendeta/Pelayan injil & masa depan keluarganya(anak-anaknya).
    4.Bila organisasi/gereja lokal menjamin walau tidak terpilih gembala sidang kenapa tidak?
    5.BPP/MP & Litbang harusnya sudah membuat penelitian dampak Perubahan Status gereja dari Madya ke Pembina.Berapa persen dampak ke pertumbuhan gereja yang sehat dan yang sakit? karena tidak ada jaminan (parameter) bila terjadi perubahan status, maka jasngan dipaksakan justru direvisi.

  11. Suwandoko - August 30, 2010

    Ikut urun rembuk ya.
    Beberapa pengamatan saya:
    1. TG-PP kurang menghargai jasa para gembala. Kalau tidak terpilih, harus keluar dari pastori, diberi tenggat waktu, tidak boleh menuntut apa pun. Weleh,weleh, ini mungkin kedengarannya rohani, tetapi tidak manusiawi. Wong, di sekuler aja, kalau diberhentikan dengan hormat, dapat pesangon. Masalahnya : menuntut pesangon, bukan sifat hamba Tuhan. Solusinya bagi gembala ya tidak dijadikan gereja pembina dulu. Jadi, aturan ini perlu ditinjau lagi.
    2. Ada dualisme kepemimpinan dalam gereja pembina. Gembala dipilih oleh jemaat (bukan wakil-wakilnya lho). Majelis Gereja/Deakon juga dipilih oleh jemaat. Kedua pimpinan ini bertanggung jawab kepada jemaat. Kalau kedua pimpinan ini sehati sepikir, ya ndak masalah. Tetapi, kalau ada ketidakcocokan, di situlah timbulkan konflik yang berkepanjangan. Apalagi kalau dikeruhkan dengan campur tangan pihak luar. Di Kisah Rasul, para deakon dipilih (dicalonkan ?)oleh jemaat tetapi mereka dihadapkan kepada para rasul, artinya, mereka disetujui dan atau dilantik dan didoakan oleh para rasul. Jadi, mereka bertanggung jawab kepada para rasul. Kalau Maj Gereja/Deakon memang ingin dipilih jemaat, gembala ditetapkan oleh Sinode. Harus dijadikan pertimbangan juga, bahwa jemaat menjadi anggota atas dasar sukarela. Tidak ada yang paksa. Sukarela masuk, sukarela keluar. Ini berarti very loose membership atau seperti massa mengambang. Tidak ada jamiinan, walaupun sudah tahunan jadi anggota, untuk tidak keluar karena satu dan lain hal. Kalau jumlahnya banyak, ya merepotkan. Jadi, nampaknya aturannya perlu direvisi. (Di mesjid, siapa saja boleh ikut sembahyang, tidak ada keanggotaan, tidak ada hak pilih, pengelolaan mesjid di atur oleh satu team kecil saja).
    3. Pertanyaan penting seperti dikemukakan oleh pe-respond terdahulu : Apakah Gereja Pembina jaminan pasti bagi kemajuan gereja itu ? Bukankah selama ini, gereja pembina, jika ada masalah, paling sulit diselesaikan ? Dalam bidang-bidang apakah, gereja Pembina dianggap mampu untuk mengatur dirinya sendiri ? Kriteria gereja pembina di TG-PP hanya berdasarkan angka-angka saja. Perlu dimasukkan kriteria yang menyangkut kualitas gereja itu: self-governing, self-propagating, self-supporting dan self-theologizing. He he semoga tidak alergi dengan istilah-istilah ini.
    4. Mungkin kita perlu belajar dari organisasi gereja-gereja lain sebagai studi banding. Tidak ada satu peraturan yang sempurna di dunia ini. Kita pilih aturan yang baik-baik dan yang cocok untuk dipakai. TG-PP kita selama ini, kalau ada revisi, sifatnya tambal sulam. Sumbernya ya TG-PP dari AOG USA jaman dulu. Tapi sumber ini sekarang sudah banyak berubah, dan kita masih pakai yang lama. Contoh: kalau seorang gembala tidak terpilih lagi, dia masih bisa hidup dengan jaminan sosial dari pemerintah, semacam pensiun-lah. Mohon maaf, ketika Ketua Umum yang sudah almarhum, tidak terpilih lagi, pensiunnya terlalu kecil untuk isteri beliau. Itu, jabatan Ketua Umum lho. Gereja-gereja lain di Indonesia sepertinya ada yang menyediakan dana pensiun pendetanya. Kita baru mulai saja dengan DPK gaya baru.
    Semoga pandangan-pandangan di atas berguna.

  12. Hendra Mulyana - August 30, 2010

    Saya setuju dengan komentar pa Suwandoko di atas: “TG-PP kita selama ini, kalau ada revisi, sifatnya tambal sulam.”

    Contohnya: pada waktu diadakan perubahan TG-PP dalam Kongres tahun 2003 di Yogya yaitu ayat mengenai kewajiban meningkatkan status dari Gereja Madya ke Gereja Pembina dilunakkan menjadi “dapat” tanpa melihat dampak bertumbuhnya kesewenang-wenangan di sana yang sebelumnya ada jalan keluarnya melalui peningkatan status. Jadi ketentuan-ketentuan mengenai Gereja Madya pun perlu dibenahi sehubungan dengan perubahan di atas.

    God bless us!

  13. Irvan Grosman - August 31, 2010

    – Kalau menurut saya, inilah kelemahan kita GSJA yang tak komit menjalankan tata gereja/tata organisasi.
    – Kita harus belajar banyak pada gereja-gereja yang memakai sistim Sinodal, seperti contoh di daerah kami Sulut ada organisasi Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Ada sistim rolling pendeta/pelayan, setiap empat tahun, sehingga pendeta tersebut tidak ‘merasa bahwa gereja dan bangunan gereja itu miliknya’. Di sini kita melihat tugas pokok dan fungsi Badan Pekerja Sionede GMIM (jika di GSJA) Badan Pengurus Daerah) berjalan baik dalam penataan organisasi. Tak ada salahnya GSJA mengadopsi dengan menerapkan sistim rolling pelayanan kepada semua hamba Tuhan GSJA, (ini hanya usul). Supaya semua pendeta bisa merasakan bagaimana pelayanan di pedesaan dan bagaimana pelayanan perkotaan.
    – Sistem gereja pembina kita justru sedikit keliru. Sebenarnya pelayan/pendeta jangan di pilih oleh majelis gereja, melainkan BPD -lah yang melakukan fit and propertest calon gembala sidang pembina. sebab kalau dipilih majelis kadang dan sering memunculkan masalah. Cukup majelis gereja/staf-staf gereja saja yang dipilih. jika demikian, setiap pelayan mempunyai kesempatan untuk melayani di gereja pembina asalkan lolos butuh lewat fit and proper test dari BPD setempat.

  14. robert h - September 1, 2010

    respon2nya menarik..
    tanggapan saya;
    1. sebenarnya Tata Gereja dibuat untuk apa sih? sebagai syarat administrasi saja atau menjadi panduan kita berorganisasi. untuk point ini nampaknya kurang mendapat respon baik dari para gembala. Penyebabnya apakah karena ketidak jelasan peraturannya atau masalah pribadi gembalanya(seperti yg disampaikan perespon diatas; karakter,ekonomi dlll)
    2. TG perlu direvisi, tg harus dapat menjawab kebutuhan pelayanan yg ada tidak hanya sekedar peraturan.
    Pengelompokan gereja dalam kelas-kelas tertentu perlu ditinjau ulang, apakah hal tersebut menentukan sebuah kemajuan gereja atau justru jadi bikin ribet and akhirnya perpecahan.
    3.GSJA Indonesia perlu belajar dari gereja2 di indonesia yang tingkat kemajuannya luarbiasa dengan sistem organisasinya yang dinamis dan cantik….
    4. Majulah GSJAku….

  15. agus Hermawan - September 7, 2010

    Tnggapan saya ,
    langsung pada intinya saja :

    1. masalah terbesar mengapa Gereja tidak berani menjadi gereja Pembina adalah karena tidak adanya jaminan secara tertulis apabila penggantian kependetaan di gereja Pembina , lihat saja contohnya pada saat pendeta di copot posisinya bagaimana kehidupan mereka ? apakah ada jaminan untuk mereka sehari – hari , bagaimana dengan tempat tinggal ? apakah gereja sudah menyediakan sarana dan prasarana untuk mereka ?

    2. prinsip para hamba Tuhan yang merasa Gereja yang mereka bangun adalah gereja kerajaan , dengan kata lain tahta mereka tidak boleh jatuh ketangan orang lain , kalau bisa keluarga sendiri .

    3. kurangnya sosialisasi kepada Gereja yang sebenarnya sudah siap menjadi gereja pembina , ini menjadi tanggung jawab BPD dalam memberikan penyuluhan bukan hanya kepada Pemimpin Gereja , tetapi menjadi tugas kita bersama ….Amin

  16. Daniel M M Siahaan - September 20, 2010

    Topik “Mengapa Mereka Takut Menjadikannya Gereja Pembina?” (menciptakan stimulus)

    saya melihat dari beberapa sudut pandang:
    1. Cara mendapat status Pembina

    – Penelitian persyaratan oleh BPD.
    – Surat rekomendasi BPD kepada BPP.
    – BPP mengeluarkan surat keputusan status Gereja Pembina.
    – Peresmian oleh BPD di Gereja tersebut.

    (apakah, jika memenuhi persyaratan WAJIB mengajukan untuk status Pembina)… REVISI!

    2. Kewajiban Gereja Pembina

    – Majelis Gereja wajib meminta pertimbangan BPD mengenai calon-calon Gembala Sidang yang akan diajukan dalam pemilihan.
    – Wajib membuat dan mengirimkan statistik lengkap (daftar: Majelis Gereja, anggota, pengikut, Sekolah Minggu, Kaum Muda, Kaum Wanita) kepada BPD setiap tahun.
    – Wajib menyokong keuangan Gereja ini sesuai Pasal XVI Peraturan Pelaksanaan.
    – Majelis Gereja wajib membuat laporan keuangan tertulis untuk Gereja Setempat setiap bulan dengan tembusan kepada BPD.
    – Wajib mendukung dan melaksanakan rencana kerja, kebijaksanaan, atau keputusan yang berasal dari pimpinan Gereja ini di Pusat dan di Daerah. Rencana kerja, kebijaksanaan, atau keputusan tersebut tidak boleh melanggar atau bertentangan dengan hak-hak Gereja Pembina.

    – Gereja Pembina yang mempunyai lebih dari satu (1) wakil dalam Rapat Daerah dan/atau Kongres berkewajiban membiayai perintis sebanyak wakil-wakilnya dikurangi satu (1).

    (kewajiban-kewajiban ini sangat “ditakuti”)

    3. Peraturan mengenai Penggembalaan

    – Gembala Sidang dipilih oleh rapat anggota dari antara pelayan-pelayan Injil yang memegang beslit “Pendeta” (sudah dilantik).
    – Pemilihan Gembala Sidang diselenggarakan oleh Majelis Gereja.
    – Serah terima antara Gembala yang lama dan yang baru wajib dilakukan selambat-lambatnya tiga (3) bulan setelah pemilihan. Bersamaan dengan serah-terima disertakan berita acara beserta lampiran-lampirannya dalam rangkap empat (4), masing-masing satu untuk Gembala lama, Gereja Setempat, BPD, BPP. Serah-terima dipimpin oleh BPD.
    – Apabila seorang Gembala Sidang tidak dipilih kembali maka penyelesaian selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Rumah Tangga Gereja Setempat.
    – Bilamana terjadi lowongan Gembala Sidang dalam satu Gereja Pembina, maka Gereja Setempat itu berada langsung dibawah pengawasan BPD. Pemilihan diselenggarakan sesuai sub C.a dan C.b diatas, dibawah pengawasan BPD.

    (Banyak gembala yang belum “SIAP” untuk digantikan)

    kiranya, berani berkata berani juga untuk berbuat, salam hamba Tuhan.

  17. rully lumentah - September 24, 2010

    …Salah satu persyaratan, setahu saya, jemaat dari gereja madya yang ingin naik status menjadi pembina, selain jumlah, jemaat harus memiliki kecendrungan hidup yang ROHANI, beberapa orang didalamnya harus sudah dipenuhi dan dikuasai Roh Kudus dan bijaksana, terutama para majelisnya nanti…
    …saya melihat salah satu yang membuat gembala sidang tidak mau menaikan status gerejanya, sekalipun seolah-olah sudah memenuhi syarat organisasi, “seperti yang dipahami jemaat”, adalah tingkat kerohanian jemaat, apalagi majelis2 gerejanya kelak…
    …saya kira sebagai hamba Tuhan, kita siap dengan segala keputusan Tuhan. yang membuat Gembala-gembala takut adalah jika ternyata kemudian bukan Roh Allah yang membimbing jemaatNya dan majelis2 didalam gereja tersebut dalam mengambil keputusan. terutama keputusan tentang siapa gembala sidang berikutnya… ha..ha…ha..
    …demikianlah mungkin sebagian alasannya… Tuhan Yesus memberkati ita semua, maju terus GSJA d Indonesia…

  18. ronny kusnohardjo - September 25, 2010

    Fear is sharp-sighted, and can see things under ground, and much more in the skies.

    FEAR NOT

    Did then adhere.

    Tuhan Memberkati Bapak Ibu sekalian.

  19. lukas - October 1, 2010

    masalah status gereja madya atau pembina adalah masalah lama atau tidak pernah ada habisnya.yang madya takut kalau jadi pembina maka posisi gembala sidang akan sepertinya terancam. takut kalau jadi pembina maka kalau terjadi sesuatu pada sang pendeta bagaimana nasibnya kemudian hari.sang majelis gereja atau pengurus takut kalau jadi pembina maka semua aset barang yang tidak bergerak harus diserahkan ke induk oeganisasi gsja (kalau tak salah demikian aturannya). nah demikianlah yang terjadi. banyak gereja pembina kususnya di jkt,mereka membentuk semacam yayasan dalam gereja yang katanya untuk pelebaran pelayanan. tapi nyatanya semua aset gereja dimasukkan dalam yayasan tersebut. jadi sama aja. menurut saya perlu penyempurnaan total untuk hal ini. semua harus jujur. semua daya,tenaga,pikiran ,kemampuan dan keuangan yang ada, baik gereja madya atau pembina harus digunakan secara maksimum dan total untuk kemajuan pekerjaan Tuhan dan penginjilan. semoga pemikiran ini cukup bermanfaat untuk memecahkan masalah ini dan dipikirkan. majulah gsja ku

  20. hendry - October 27, 2010

    saya rasa soal status tidak perlu terlalu dipermasalahkan,
    krn selalu muncul negatif/positifnya.
    apapun yang terjadi TUHAN yg menetapkan langkah2 org.
    yg terpenting bgmn memajukan GSJA kita.
    dan memenangkan jiwa2…
    Tuhan memberkati

  21. Danny T. Lantu - November 15, 2010

    Ikut nimrung ya. Pendapat saya, menjadi gereja pembina sesuai dengan TG-PP GSSJA di Indonesia relevansinya dalam pelayanan dan usaha pertumbuhan gereja saat sekarang ini masih dapat diterima. Persoalannya adalah kita tidak konsisten. Mengapa tidak Konsisten, karena sampai sekarang sejak saya menjadi PI sekitar tahun 1993 belum pernah mendengar ada yang namanya sosialisasi kepada BPD, BPW, dan gereja Lokal. Akhirnya gembala sidang gereja lokal yang sudah memenuhi syarat gerejanya untuk menjadi gereja pembina memilih bersikap masa bodoh/diam saja.

  22. man - November 27, 2010

    Dari semua pendapat di atas, saya mendukung pendapat Sdr Iwan Grosman. Menurut saya sistim rolling
    paling tepat ditrapkan di GSSJA jika ingin melihat GSSJA berkembang pesat.
    Sistim ini sekaligus untuk menjamin azas keadilan dan pemerataan pengalaman dan tanggungjawab di kalangan para hamba Tuhan dalam organisasi GSSJA. Supaya semua merasakan bagaimana penderitaan melayani di Jemaat kecil di pedesaan, dan juga menikmati sejahteranya pelayanan jemaat besar di perkotaan. Namun sistim rolling ini tentu harus dibarengi dengan penetapan dan pembayaran salery/honor oleh Sinode. Tapi konsekuensinya tentu seluruh dana dari gereja lokal harus disentralisasi ke BPD/BPP.
    Sistim ini untuk menghindari konflik yg sering terjadi di tingkat basis organisasi/gereja lokal,
    dimana tidak jarang terjadi konflik dalam jemaat soal status kepemilikan aset gereja. Gembala
    yg mungkin karena ketidakbecusannya melayani jemaat, sehingga tidak lagi disukai jemaat, akhirnya
    ngotot tak mau dipindahkah karena merasa aset gereja adalam hak miliknya. Begitupun peningkatan
    status dari Madya ke Pembina, al disebabkan karena, faktor tsb yaitu sang gembala takut kalau suatu saat tak terpilih lagi. Padahal jika benar benar gembala itu melayani dengan baik, pasti akan tetap dipertahankan oleh jemaat. Itulah sebabnya banyak Gembala yang sengaja merahasiakan AD/ART GSSJA kepada jemaatnya.
    Kalau tokh alternatif rolling ini sulit diterapkan di GSSJA, dan klasifikasi status jemaat harus dipertahankan, Peraturan organisasi harus tegas. Peningkatan status jangan diserahkan kepada
    gembala ybs, melainkan ditetapkan oleh BPP/BPD sesuai aturan, setelah persyaratan terpenuhi. Mencantumkan kata “dapat” itulah yang menjadi penghambat peningkatan status sebuah jemaat dari madya ke pembina, karena pilihan diserahkan kepada si gembala. Sekaligus kata ini menanamkan benih “kuatir” dalam hati para gembala madya, sehingga itulah pangkal awal mereka mulai berkalkulasi untung rugi dalam pelayanannya. Sangat keliru jika seorang Hamba Tuhan menganggap berkembangnya sebuah gereja lokal sejak status pratama – madya – pembina, karena jerih payahnya, sehingga pelayanan itu sudah dianggap sebagai perusahaan milik pribadi. Sudah pasti type Hamba Tuhan bermental seperti ini salah memilih jalan hidup. Ia seharusnya menjadi seorang pebisnis.
    Demikian sekedar sumbang saran. God Bless All.

  23. Budiman Nataprawira - January 10, 2011

    Shalom,

    Saya berasal dari GSJA Eben Haezar, GSJA tertua di Bogor yang sudah banyak memandirikan cabang gerejanya. Beberapa tahun lalu, bersama beberapa rekan diaken dan gembala sidang sudah pernah mengajukan permohonan peningkatan status ini, dengan memenuhi semua persyaratan administratifnya sebanyak 2 (dua) kali kepada BPD, namun hingga saat ini statusnya tidak jelas. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini saya ingin memberikan masukan saya, khususnya kepada BPP & BPD sbb:

    BPP + BPD + GEREJA LOKAL = AYAH + IBU + ANAK (sebuah kesatuan keluarga yang berpandangan maju).

    Visi & Dorongan semangat dari Ayah & Ibu sangat menentukan masa depan Anak-anaknya. Saya yakin bahwa semua orang tua (Ayah & Ibu) yang bijaksana menghendaki/mengharuskan/mewajibkan Anak-anaknya untuk ‘Naik Kelas’ dalam pendidikannya. Begitu pula halnya dengan proses Peningkatan Status Gereja.
    Jika saat ini dikatakan jumlah Gereja dengan Status Pembina hanya sedikit, sekitar 14 buah saja di seluruh Indonesia, menurut saya hal ini disebabkan oleh:
    1. Lemahnya peran BPP & BPD sebagai Ayah & Ibu dalam mendorong bahkan mewajibkan Gereja Lokal (Anak-nya)untuk berusaha ‘Naik Kelas/Tingkat’.
    2. Terlalu besarnya ‘Kekhawatiran Manusiawi’ akan masa depan eks-Gembala Sidang. Bukankah ‘BERBAHAYA’ bila seorang gembala yang selalu mengajarkan untuk ‘Membuang Kekhawatiran’ kepada jemaatnya, namun ia sendiri diliputi kekhawatiran yang besar, dan ironisnya hal ini diketahui oleh BPP & BPD sebagai Ayah & Ibu yang memiliki kewajiban sangat besar terhadap masa depan Anak-anaknya.
    3. Perlunya peninjauan kembali Tata Gereja GSJA yang mengatur kompetensi para Gembala Sidang dan penanganan eks-Gembala Sidang. Hal ini penting, jika tidak, maka peribahasa yang mengatakan ‘Gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga’ bisa terjadi.

    Demikian masukan saya, semoga bermanfaat untuk kemajuan Organisasi GSJA yang kita cintai ini.

    Teriring Salam & Doa.

  24. Hendra Mulyana - January 12, 2011

    Saya mau memberikan masukan tambahan: Mungkin kurang pas jika jumlah jemaat telah mencapai 50 orang jemaat yang memenuhi syarat keanggotaan dijadikan acuan untuk mewajibkan meningkatkan status menjadi Gereja Pembina. Mungkin baik untuk menetapkan bahwa angka 50 adalah batas minimum untuk dapat menjadi Gereja Pembina dan angka 200 adalah batas mewajibkan peningkatan status menjadi Gereja Pembina. Alasannya:
    – Jika dari 200 jemaat tidak didapati 3 orang yang memenuhi syarat untuk menjadi Majelis (Diaken), berarti gereja itu sangat tidak sehat dan hanya berfungsi sebagai mesin penghasil uang untuk Gembalanya.
    – Tanpa mewajibkan, akan ada gereja beranggotakan beratus-ratus bahkan ribuan jemaat yang masih tetap berstatus Gereja Madya dengan Gembala Sidang yang mungkin untuk menjadi Raja kecil berprinsip “dalam Gereja Madya wewenang sepenuhnya ada di tangan Gembala Sidang”.
    – Usulan BPP th 2006 tentang Gereja Pembina Muda perlu juga dipertimbangkan sebagai kombinasinya.

    Terimakasih, Tuhan memberkati!

  25. lina - January 18, 2011

    Perubahan status gereja madya menjadi pembina dpt dijadikan alasan seseorang yang ingin menjadi gembala sidang digereja tersebut. Karena begitu status gereja disetujui maka dilakukan pemilihan gembala sidang baru.

    Saran saya , pertimbangkan kembali syarat jumlah jemaat sudah mencapai 50 orang , karena persyaratan ini dijadikan alasan bahwa gereja sudah harus menjadi pembina , padahal dari segi SDM dan Keuangan gereja tersebut belum mampu untuk menjadi gereja pembina.

    Jadi , tolong dilihat dari segi SDM dan Keuangan gereja tersebut.

    Terima kasih. Salam sukses bagi Hamba Hamba Tuhan.

  26. andy bonjer - August 29, 2012

    GSJA Lokal dari Mangga Besar 4M belum tercantum

Tulis Komentar Anda