Bahan Ceramah Wisuda STTE: Pemimpin Dengan Kecerdasan dan Kerendahan Hati

PEMIMPIN DENGAN

KECERDASAN & KERENDAHAN HATI

Budi Setiawan, M.Div.

“Everybody can be great … because anybody can serve.

You don’t have to have a college degree to serve. You don’t have to make your subject and verb agree to serve. You only need a heart full of grace, a soul generated by love.”

-Martin Luther King, Jr.-

Apa beda antara kepemimpinan biasa dengan kepemimpinan Kristen. Kepemimpinan Kristen memiliki ciri “to cultivate thriving communities that bear witness to the reign of God.” Apa yang saya sampaikan hari ini masih ada dalam koridor Transformational Leadership versi Bernard M. Bass. Kepemimpinan telah berkembang sejak abad 20 sampai kepada hari ini dan mengelompok menjadi beberapa jenis. Malam ini dengan tema di atas, kita akan renungkan pemikiran original bersama tentang betapa pentingnya kedua kualitas tersebut dalam diri seorang pemimpin. Sydney Finkelstein dalam tulisannya berjudul “Building Smart Leadership” memberikan definisi SMART sebagai skill yang baik, knowledge yang baik, attitude dan behaviour yang baik.

Dan MacDonald berkata dalam tulisannya berjudul ‘The Problem with Leadership’ bahwa salah konsepsi kebanyakan orang biasanya adalah tentang siapa yang disebut pemimpin yang baik. Orang sering terpesona oleh para pemimpin dengan kemampuan ‘stage performance’ yang tinggi, kemampuan karismatis,[i] pemimpin yang dapat membuat anda rileks dengan keyakinan diri anda, atau seorang yang sangat menyerap pemikiran para senior, seorang dengan pendidikan tinggi dan sangat cerdas. Padahal tidaklah demikian.

“Rather, great leaders are characterized by their focus on integrity over stage performance, passion for what is best for the company over self-importance, humility and passing forward credit over ego, and empowering their people over making decisions on their behalf.”[ii]

Refleksi kepemimpinan pada integritas dan kerendahan hati menjadi tema yang kurang diperhatikan lagi dalam berbagai jurnal kepemimpinan yang berbasis agama. Yang mengherankan adalah bahwa justru ‘servanthood leadership’ lebih berkembang di luar dinding gereja tempat di mana konsep kerendahan hati bersumber. Sejak manusia mencapai peradaban yang tinggi yang ditandai bukan hanya oleh teknologi, tetapi juga humanisme yang memusatkan filosofi pada nilai-nilai dan concern kemanusiaan, persepsi orang terhadap ‘diri manusia’ menjadi sangat berbeda. Manusia dilihat lebih optimistik dari sebelumnya yang sudah terlanjur dibawah ‘kutuk dosa’. Pada gilirannya filosofi Humanisme abad 18 berlanjut terus dan melahirkan berbagai pemikiran-pemikiran tentang demokrasi, hak asasi manusia, maka pendekatan-pendekatan kepemimpinan dalam organisasi ‘sekuler’ (non-gerejawi) justru diwarnai dengan gerakan ‘turun ke bawah’ para pemimpin yang saya sebut sebagai gerakan ke arah ‘manusiawi’.

Tantangan Perkembangan Kepemimpinan Masa Kini

Konsep “improving quality will reduce expenses while increasing productivity and market share” versi Deming yang diadopsi Jepang di tahun 1950-an dan mendunia karena sukses membawa Jepang menjadi salah satu negara terkemuka dalam industry, sangat mempengaruhi dunia. Bayangkan, Deming menegaskan pentingnya suatu manajemen organisasi dan perusahaan mengalami transformasi dengan cara: Set an example, Be a good listener, but will not compromise, Continually teach other people, dan Help people to pull away from their current practices and beliefs and move into the new philosophy without a feeling of guilt about the past.[iii]

Jika anda perhatikan, maka unsur-unsur penting yang disebut Deming jelas-jelas ‘manusiawi’ dan biasa dipercakapkan dalam dunia kerohanian. Adanya kecenderungan kekuasaan yang ‘dibagikan’, ‘kekuatan bawah’ yang diakui keabsahannya, perencanaan dengan pelibatan lapis bawah kepemimpinan, penekanan pada team-work, dsb. Anda mungkin mengetahui bahwa kertas karton untuk menahan panas pada gelas kertas buatan Starbuck lahir dari pemikiran seorang karyawan. Ide karyawan dihargai. Pada dasarnya dunia kerja menjadi semakin menarik. Ada semacam ‘pencairan pada inti beku ekosistem bisnis’ dunia.

Kita semakin melihat arah kepemimpinan masa depan yang justru ‘melebar’ pada masyarakat, sedangkan dunia kerohanian terutama di kalangan Pentakosta Karismatik makin ‘mengerucut’. Itulah yang dikatakan Marshall Godlsmith dalam tulisannya, “Future Leaders” bahwa dua  di antara lima kualitas pemimpin masa depan adalah kemampuan untuk membangun aliansi dan partnership serta sharing leadership.[iv] Artinya kepemimpinan masa depan kembali kepada prinsip-prinsip ‘non-single-x factor’ atau bukan faktor x tunggal, misalnya pada kekuatan seorang pemimpin karismatis. Kepemimpinan masa depan bukan milik perorangan.

Subir Chowdhury, seorang trainer dan konsultan asal Bengali dan diakui di dunia sebagai pemimpin penting dalam manejemen kualitas[v] dan Six Sigma mengatakan bahwa:

“The 21st century leader will be a firm believe in such peoplistic communication, which is fast and all envolving. You should touch the heart, touch the mind, touch the emotion”.[vi]

Artinya people to people based leadership – ini mengukuhkan pendapat John Maxwell yang berkata bahwa kepemimpinan adalah soal ‘pengaruh.’ Intinya, saya ulangi, melebar dan bukan mengerucut. Pengerucutan pada orang-orang tertentu yang menciptakan tokoh, dsb. yang disebut Finkelstein sebagai “imperial CEO”. Anda akan sulit melawan apa yang sedang berkembang di masyarakat, yang semakin ‘manusiawi’. Arah peradaban yang makin manusiawi, demokratis, harmoni, menjunjung tingi kemerdekaan dan kebebasan, dan mengarah pada pengayaan nilai-nilai adalah tanda-tanda baik yang tidak boleh diabaikan. Semua konsep kepemimpinan perusahaan dewasa ini, mengalami perubahan besar terkait dengan pola hubungan yang dibangun antara pemimpin dan bawahan.

Dalam perkembangan konsep kepemimpinan termodernpun pun sudah tidak terhindarkan lagi arah peoplistic approach seperti yang terlihat dalam tulisan Jonathan Frye berjudul 3Steps of the New Psychology of Leadership di tahun 2007:

“A new psychology of leadership suggests that effective leaders must understand the values and opinions of their followers – rather than assuming absolute authority – to enable a productive dialogue with team members about what the group stands for and how it should act.“[vii]

Anda akan mengerti mengapa ini menjadi concern kita bersama bahwa ada arah yang sangat berbeda dalam kepemimpinan dunia dan apa yang berkembang dalam gereja.

Teknologi dengan segala kemajuannya diusahakan untuk mengabdi kepada kesejahteraan manusia – kondisi manusia yang harus makin sehat, makin beradab, makin berumur panjang, makin hidup berkecukupan, itulah sasaran yang sering anda dengar baik secara langsung maupun tidak langsung. Dunia sedang diarahkan kepada perfect world yang dicari manusia sepanjang masa. Alkitab menjanjikannya nanti setelah kedatangan Yesus di akhir jaman – ketika Ia memerintah secara langsung barulah jaman akan sangat berbeda. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa setelah pengalaman pahit teknologi yang membawa kerusakan, kini arah peradaban makin kritis ditujukan pada kesejahteraan manusia.

Demikian juga ilmu kepemimpinan. Kepemimpinan semakin ‘peoplistic’ dalam tutur Chowdhury – semakin ‘manusiawi’. Jangan-jangan, kultur kecerdasan dan kerendah hati akan lebih subur di tanah ‘sekuler’ dibanding dengan di dalam gereja. Dunia secara umum telah memandang kepemimpinan sebagai sebuah seni yang memiliki keindahan untuk diikuti.

Mengkritisi Arah Perkembangan Kepemimpinan Kekristenan

Secara aneh perkembangan kekristenan justru mengarah kepada apa yang sebaliknya, yaitu bahwa otoritas justru dikembalikan kepada pemimpin dan keunggulan pemimpin di atas orang-orang yang dipimpinannya. Dunia sekuler memperpendek jarak antar level antar hubungan dan hirarkhi, tetapi kepemimpinan rohani malah cenderung memperlebar jarak. Perhatikanlah apa yang dikatakan oleh Peter Wagner tentang pandangannya soal Apostolic Ministry. Ia berkata demikian:

Wagner stresses, “The biggest difference between New Apostolic Christianity and traditional Christianity is the amount of spiritual authority delegated by the Holy Spirit to individuals.” “In tradition Christianity, authority resided in groups such as church councils, sessions, congregations, and general assemblies. New Apostolic Christianity sees God entrusting the government of the church to individuals.”[viii]

Peter Wagner mengumpulkan mereka yang dijuluki sebagai rasul seperti Chuck Pierce, Ché Ahn, Bob Beckett, Rice Broocks, Harold Caballeros, Emmanuele Cannistraci, Paul Daniel, Greg Dickow, Naomi Dowdy, John Eckhardt, Michael Fletcher, Bill Hamon, Jim Hodges, John Kelly, Lawrence Kennedy, Lawrence Khong, David Kwang-Shin Kim, Larry Kreider, Alan Langstaff, Roberts Liardon, Dexter Low, Mel Mullen, Alistair Petrie dan Eddie Villanueva.[ix] Pengerucutan kepemimpinan menuju kepada segelintir orang yang ‘dipercaya’ Tuhan adalah sesuatu yang mesti dikritisi. Perkembangan ini bukannya tanpa resiko. Yang dikuatirkan adalah jika kepemimpinan makin jauh dari ‘servant leadership’ sebagaimana ditunjukkan dalam peristiwa ‘kenosis’ Yesus – Ia mengosongkan diri dan menjadi sama dengan manusia. Inilah cikal bakal sikap kerendahan hati. Agustinus menyebutnya sebagai “kerendahan hati yang bermakna soteriologis”. Ia yakin bahwa kerendahan hati Yesus telah menjembatani manusia dan yang ilahi.[x]

Bagaimana mungkin konsep dan penerapan kepemimpinan di dunia sekuler justru melebar, sedangkan dalam kekristenan justru mengerucut. Ini adalah pertanyaan penting! Penjulukkan rasul di kalangan Kristen, apapun maknanya, telah menempatkan beberapa orang secara khusus pada tataran posisi. Sedangkan kita mengetahui, bahwa pemimpin dalam posisi sama sekali tidak menentukan kepemimpinannya. Kecenderungan kita untuk menggandengkan antara popularitas dan kepemimpinan adalah mitos yang harusnya tidak dipakai lagi.[xi] Kita akan menjauh dari konsep kerendahan hati dalam kepemimpinan.

Inilah dilema kekristenan dewasa ini. Karen Armstrong, seorang mantan biarawati yang menjadi penulis beberapa buku terkenal seperti A history of God, The Battle for God, dsb. Menunjukkan bahwa perkembangan peradabanlah yang justru mempengaruhi gereja, bukan sebaliknya. Artinya, sepanjang sejarah manusia, gereja telah dipengaruhi lebih dulu oleh perkembangan masyarakat sekitarnya sebelum kemudian gereja mengalami perubahan. Masyarakat dianugerahi kemampuan lebih cepat untuk berubah dibanding dengan kalangan kerohanian.

Bersikaplah kritis terhadap perkembangan kita sendiri akhir-akhir ini. Andry Grove menyebutnya sebagai ‘proactive-paranoia’. Ia berkata bahwa “only the paranoia will survive’. Maksudnya adalah anda tidak bisa menerima begitu saja batas keberadaan anda tanpa melihat sekeliling anda, apa yang mereka lakukan, seberapa baik produk anda dibanding dengan produk mereka, dsb.Dalam hal ini, kepemimpinan Kristen tidak dapat mengabaikan begitu saja apa yang sedang berkembang dalam konsep kepemimpinan umum di luar tembok gereja. Kita akans angat tertinggal dalam perkembangannya jika kita sengaja mengabaikan.

Apa sebenarnya yang harus kita lakukan sebagai seorang Kristen, hamba Tuhan, atau calon pengerja dalam gereja? Konflik karakter akan menjadi hebat jika kita tidak mulai mengkritisi arah perjalanan kita sendiri. Benturan kematangan akan cenderung mempermalukan kita. Di saat orang berpikir tentang pengayaan bersama, keuntungan bersama, kebaikan yang lebih tinggi, kesejahteraan semua orang, kita justru berbicara tentang penguatan individu, pengendalian pengaruh, dan genggaman otoritas pada individu.

Cobalah perhatikan tentang arah pendidikan teologi dewasa ini. Perkawinan antara ajaran yang benar (ortodoksi), praktek yang benar (ortopraksis) dan hati yang benar, pengalaman yang benar (ortopati)[xii] adalah ‘tritunggal’ pendidikan teologi yang sebenarnya tidak boleh dipisahkan. Doktrin tidak pernah berhenti pada dirinya sendiri. Dalam beberapa hal, ortopati malah lebih mendasar daripada ortodoksi dan ortopraksis. Ironisnya, dalam suatu proses pendidikan teologi, ortopati menempati urutan terbelakang sekalipun bisa saja ia ditempatkan di permulaan. Ortopati dapat anda temukan pada kebaktian mahasiswa, sel-group mahasiswa, pelayanan mahasiswa, kedisiplinan doa pribadi, puasa dan membaca firman Tuhan, juga dapat anda temukan pada bentangan cakrawala spiritualitas yang tidak masuk hitungan para profesor teologi. Mungkinkah bahwa pengabaian kita selama ini terhadap ortopati telah menyumbang besar pada sulitnya menjadikan seseorang itu ajeg secara ilmu dan ajeg secara karakter pada waktu yang bersamaan?

Kita mempelajari teologi dengan ke 4 cabang utamanya: Exegetical theology,  Historical theology, Systematic theology, Practical theology. Kita lulus dengan tingkat ilmu yang lumayan, tetapi itu tidak menjamin masa depan kita. Wisuda adalah suatu ‘commencement’ yang berarti permulaan. Permulaan dari masa pengujian kesahih-an dan keabsahan materi yang selama ini diterima sebagai pelajaran. Wadah pengujian sesungguhnya atas apa yang anda peroleh di bangku kuliah adalah pelayanan. Pelayanan akan menguji apakah benar ilmu anda, apakah berguna ilmu anda, apa ada korelasinya ilmu anda, apa bisa ilmu anda menghidupi anda, dsb.

Selama di seminari kita mendudukan diri kita sebagai pelajar yang ingin mendapatkan ajaran yang benar. Kita melatih diri untuk menjalankan yang kita pelajari dan kita anggap sebagai benar. Tetapi kita sangat berjuang untuk benar-benar mencintai Dia yang kita pelajari di ruang-ruang kelas di seminari dan Sekolah Teologi. Ortopati menjadi barang aneh bagi para lulusan teologi.

Seorang ilmuwan Kristen tidak boleh kehilangan ‘piety’(kesalehan)-nya. Jika ia kehilangan kesalehannya, maka ia akan menggunakan teologinya untuk mengelabui orang. Gereja tidak memerlukan intelek dingin. Gereja memerlukan intelek yang dipanaskan oleh api cinta kepada Tuhan dari hati orang yang komit untuk menaatiNya.

Saya kutip apa yang dikatakan oleh Kevin T. Bauder, Rektor Central Baptist Theological Seminary:

“Christian scholars must not lose their focus upon piety. Churches do not need cold intellects. They can, however, be edified by sharp minds, as long as those minds are directed by warm hearts. The life of study does not replace the life of prayer, and intellectual understanding is no substitute for obedience. Many scholars may find themselves beggared at the Judgment Seat of Christ, while simple widows and illiterate laborers receive great reward.

Defense and exposition of the faith is one area in which the duties of Christian scholars should receive special emphasis. The other area involves the demonstration of servanthood and Christian humility. Again, this obligation is not unique to scholars—all Christians are to serve humbly within the body of Christ, but scholars probably face some unique temptations in this area.”[xiii]

Tanpa memperhatikan ortopati di mana kerendahan hati bersumber, kita hanya mempercepat terciptanya ‘a shriveled version of Christianity’ – kekristenan yang menciut.

Why Seminary?

Anda mungkin perlu juga mendengar apa yang dikatakan oleh Bob Thune dalam artikelnya “Why You Shouldn’t Go to Seminary”[xiv] dalam konteks Amerika:

  • Seminari menarik pendeta-pendeta ke pinggir ke luar jalan selama 3-4 tahun untuk mengisolasi mereka dalam lingkungan akademis yang steril. Kelihatannya hebat dengan tugas penulisan, tapi sangat jelek untuk hidup yang sifatnya misi
  • Intinya sebenarnya adalah bahwa kebanyakan seminari adalah permainan menyulapbest interest murid, dosen, pendonor, dan agen akreditasi. Hebatnya, tidak ada satupun yang benar-benar senang karena mereka masing-masing berbeda pendapat.
  • Kebanyakan seminari berusaha menyelesaikan training teologis terpisah dari keterlibatan dalam sebuah gereja lokal. Walaupun ada juga persyaratan agar terlibat aktif dalam gereja lokal, seminari cenderung untuk menjadi tempat pembiakan para teolog-Senin-pagi yang suka mengeritik gereja, bukannya melayani.
  • Karena para profesor atau dosen dituntut untuk mempublikasi pandangan dan mendapat kepemilikan, sehingga kelas-kelas dimana mereka mengajar tidak lebih dari sebuah laboratorium untuk proyek terbaru mereka. Salah seorang murid yang kebetulan bergereja di tempat kami mengatakan bahwa setiap mahasiswa di kelasnya harus menggunakan buku yang ditulis oleh sang profesor.
  • Semua seminari harus membayar tagihan-tagihan, yang berarti bahwa seminari bakal mempertahankan murid selama mungkin. Seminari-seminari melanjutkan promosi ke arah M.Div. sekalipun dengan 2 tahun MA dengan program pilihan sudah cukup bagus, dan tentunya US$ 15.000 lebih murah
  • Lulusan seminari cenderung keluar dari seminari dengan kepala penuh teologi, tetapi kebanyakan tanpa hati yang menyembah atau hubungan yang sungguh-sungguh dengan orang-orang non-Kristen. Saya menyadari bahwa apa yang saya katakan ini mungkin berlebihan, tetapi untungnya cukup tepat juga.
  • Karena adanya kebutuhan seminari untuk memenuhi berbagai kebutuhan senat mahasiswa, kebanyakan seminari tidak dapat sepenuhnya memberikan pendidikan teologis. Mahasiswa berakhir dengan data fragmentaris (terpecah-pecah) dan harus dikumpulkan dengan sebuah cara,
  • Because of a seminary’s need to cater to a diverse student body, most seminaries can’t offer a truly systematic theological education. Students end up having to piece together the fragmented bits of data they’ve accumulated in so many haphazard, keluar dari program yang telah diterima. Ide tentang proses belajar yang terpadu mungkin telah hilang dari pendidikan modern.

Poin-poin itu sangat umum dan mungkin dapat dibantah, beberapanya terkesan sinisme. Tetapi sebagai seorang yang telah mengenyam pendidikan teologi dan sekaligus menjadi pengajar di Seminari atau Sekolah Tinggi Teologi saya dapat menjadikannya sebagai awasan untuk selalu mempertanyakan mengapa sebuah pendidikan teologi dijalankan, dipertahankan, dikembangkan, dan dijadikan kebutuhan.

Dalam arti sesungguhnya, Seminari atau Sekolah Alkitab berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Padahal, jika benar pelajaran yang digalinya adalah kehidupan itu sendiri, maka seminari dapat menuai kejayaannya seperti di masa lalu. Tetapi dunia sudah berubah dengan begitu drastis dan cepat sehingga urusan transendensi mulai kehilangan maknanya. Seiring dengan perkembangan humanisme, Tuhan makin digeser ke pinggiran.

Menciptakan Arah Baru Kepemimpinan Kristen

Apakah mungkin ‘mengawinkan’ kedua entitas yang kelihatannya berbeda, yaitu ilmu tinggi dan kerendahan hati? Bukankah Rasul Paulus mengatakan bahwa “knowledge puffs up”, pengetahuan cenderung membuat orang menjadi sombong. Sedangkan antidote terhadap kecenderungan tersebut adalah kerendahan hati. Anda tidak memerlukan definisi alkitabiah tentang kerendahan hati, cukup menghayati hidup Kristus maka anda akan mengerti apa artinya kerendahan hati.

Seminari atau Sekolah Alkitab adalah seperti perguruan tinggi di mana orang mencari ilmu. Di sana mereka dididik oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan yang lebih tinggi dari yang diajar. Wajar bila anda dijuluki berpengetahuan. Tetapi ilmu anda bukan eksakta, yang menyebabkan kebenaran berlaku obyektif dan universal diterima (apa yang kita pelajari adalah apa yang kita imani dalam lingkungan kita selama ini. Kita berhadapan dengan berbagai klaim kebenaran yang dipegang oleh agama-agama dan kepercayaan lain. One global village dunia ini telah membuat kita berhadapan langsung dengan ‘kebenaran-kebenaran’ lain)

Orang berada di sebuah seminari berawal dari keyakinannya sendiri, bukan sebaliknya, dimana anda ke seminari untuk belajar lalu barulah memperoleh keyakinan. Seperti yang dikatakan Agustinus, bapa gereja:

“Credo ut intelligam”

(I believe in order that I may understand.)”

Jadi setinggi apapun teologi kita, ada semacam ‘nasib’ yang menentukan bahwa pemahaman kita hanyalah suatu bagian kecil dari sesuatu yang lebih besar. Jika anda mempelajari teologi kontemporer seperti Fundamentalisme, Neo-ortodoksi, Pentekostalisme, Evangelikalisme, Neo-liberalisme, Post-Vatican II Katolikisme, Teologi Ortodoks Timur, Gerakan karismatika, Teologi Pengharapan, Teologi Proses, Teologi Sekuler, Teologi Asia, maka anda akan menemukan bahwa teologi adalah bunga rampai. Teologi adalah kumpulan, bukan ‘summa teologi’.

Sehingga ilmu anda ‘terpaksa’ harus berdampingan dengan ilmu lain untuk mendapatkan kekokohannya. Apa yang dapat dibanggakan dari situasi yang demikian? Akhirnya para teologpun harus dengan ‘rendah hati’ mengakui keterbatasan periode mazhabnya sendiri.

Di pihak lain, Yesus mengajari kita melalui contoh yang luar biasa sederhana tentang kerendahan hati, yaitu dengan cara menjadi pelayan bagi sesamanya.

Lalu Yesus duduk dan memanggil kedua belas murid itu. Kata-Nya kepada mereka: “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.”[xv]

Ia mendemonstrasikan contoh konkrit kerendahan hati ketika Ia membasuh kaki para muridNya termasuk kaki Yudas, yang akan mengkhianatiNya setelah itu.[xvi] Tidak mudah bagi seorang pemimpin untuk memulai langkah memikul tanggung jawab keteladanan. Sangat sulit! Kita dibatasi oleh tradisi, asumsi dan pendapat tertentu tentang bagaimana pemimpin seharusnya. Tantangan ini sangat nyata! Seorang yang lembut hati seperti Musa, yang kata Tuhan tidak ada orang yang hatinya selembut Musa, turut tersakiti ketika otoritasnya ditentang dan dipertanyakan. Sangat tidak mudah untuk memikul tanggung jawab keteladanan terutama di saat orang mulai tidak menyukai kita. Anda akan merasa seperti melempar garam ke lautan.

“Being a ‘We’ Person, instead of ‘I’ Person”

Jadi, apa yang harus dilakukan? Anda tidak bisa mengaku-ngaku rendah hati, sampai orang lain yang menilai anda. Anda harus sengaja menempatkan diri anda sedemikian rupa sehingga: orang mengetahui bahwa anda bukanlah tipe ‘I’ person melainkan ‘We’ person,[xvii] anda tidak perduli siapa yang akan mendapat pujian karena anda melakukannya sebagai naluri pemimpin, dan anda kelihatan kurang berminat menikmati hasilnya karena yang utama adalah anda telah menyelesaikannya, anda malah menyebut nama orang kedua anda sebagai orang yang telah menyebabkan keberhasilan. Keberhasilan bagi seorang yang rendah hati menghasilkan rasa syukur, bukan kesombongan.[xviii]

Seseorang pernah berkata bahwa kerendahan hati kita adalah sebesar rasa malu yang ditimbulkan ketika kita bercerita kepada orang lain tentang hebatnya diri kita. Menceritakan tentang kehebatan diri sendiri seharusnya menimbulkan rasa tidak enak dalam diri kita. Sebab kita sadar bahwa fokus sedang diarahkan kepada diri sendiri. Maksudnya adalah bahwa kesombongan tidak memiliki target lain kecuali diri sendiri, peninggian diri semata. Sedangkan kerendahan hati selalu memiliki target orang lain.

Mother Teresa pernah berkata demikian,

“If you are humble, nothing can touch you, neither praise nor disgrace, because you know who you are.”[xix]

Mereka yang memimpin dengan kerendahan hati akan semakin kuat dalam kepemimpinan. Karena banyak ganjalan kepemimpinan justru datang dari apa yang selama ini dianggap kekuatan seorang pemimpin, yaitu egonya. Susan Zelinski:

“Humility is about a state of ‘non-self’ or letting go of your ego.”[xx]

Jelas para tokoh dunia mengartikan kerendahan hati sebagai ‘non-self or non-ego action’. Tindakan yang tidak terpusat ke diri sendiri atau ego.

Orang Yahudi sangat percaya bahwa alasan mengapa Musa diberikan Torat adalah karena kerendahan hatinya.[xxi] Kerendahan hati itu seperti aliran darah dalam diri anda. Anda tidak akan menyadarinya, anda tidak akan melihatnya. Ketika anda dapat menyadari dan melihatnya, anda sudah ‘bleeding’. Ketika ‘bleeding’ terjadi, anda dalam keadaan bahaya.

Downward Mobility

Perkawinan yang paling sempurna dari kedua unsur di atas hanya kita temukan dalam diri Yesus yang ajaib, yang kita sembah dan kita layani. Tetapi bentuk lainnya yang dibawa kesempurnaan dapat kita temukan pada sufi-sufi masa lalu yang penuh dengan hikmat tetapi hidup sederhana dan bermasyarakat: Nazarudin Hoya (Turki), Maulana Rumi, Al-Farabi, Konfusius, Francis of Asisi, Cicero, Kahlil Gibran, dsb.

Konfusius[xxii] suatu kali berkata,

“The superior man in everything considers righteousness to be essential. He performs it according to the rules of propriety. He brings it forth in humility. He completes it with sincerity. This is indeed a superior man.”

Manusia superior adalah manusia yang menilai tinggi kebajikan atau kebenaran, menjalankan sesuatu secara santun, menunjukkan dengan kerendahan hati, menyelesaikan dengan ketulusan. Kerendahan hati sudah dipandang sebagai salah satu dari nilai-nilai tertinggi manusia.

Phillip Yancey seorang penulis Kristen yang pernah mengalami ‘mati suri iman’ karena pengalaman setelah tahu bahwa ayahnya meninggal setelah gereja menyarankannya untuk melepas alat bantu kehidupan dan menggunakan iman saja.  Ia mengagumi Paul Brand dan Henri Nouwen sebagai contoh kerendahan hati. Bagi Yancey, Paul Brand datang ke India sebagai dokter ahli bedah tulang yang bekerja di kalangan orang kusta dan Henri Nouwen yang berakhir pelayanannya di antara anak-anak kelainan mental di Perancis adalah fenomenal dan mengesankan. Ia menyebutkan bahwa orang tersebut telah memberikan contoh ‘downward mobility’[xxiii]. Mobilitas menuju ke bawah adalah arah kerendahan hati. Tapi justru itulah yang membuat nilai pelayanan mereka menjadi begitu tinggi. Begitulah kerendahan hati sebagai sebuah paradoks.[xxiv]

Anda jarang menemukan ungkapan “smart and humble”. Yang lebih sering anda jumpai adalah “smart but humble”. Mungkin karena kedua unsur tersebut sebenarnya cenderung saling bertolak belakang. Barack Obama dengan terbuka menyatakan bahwa Kevin Rudd – Perdana Menteri Australia – adalah seorang yang pintar tetapi rendah hati. Ia menyatakannya dalam sebuah wawancara dengan ABC News di Gedung Putih pada Juni 2009:

“You know, Kevin is somebody who I probably share as much of a world view as any world leader out there, I find him smart, but humble … He works wonderfully well in multilateral settings. He’s always constructive, incisive … And, you know, I think he is, like me, a pragmatic person, I think he comes to the job wanting to provide better opportunities not just for this generation but for the next. I think, you know, he’s somebody who isn’t an academic, or just thinking about abstract ideas. I think he’s constantly thinking in very practical terms about how to get something done.”[xxv]

Perhatikan persepsi yang dimunculkan Obama terhadap Kevin Rudd menunjukkan bahwa kerendahan hati dapat dibaca dengan cara lain dewasa ini. Beberapa ciri yang menandakan kerendahan hati dalam kepemimpinan di ‘spell out’ oleh Obama.

Kitab Talmud Yahudi berkata,

“He who sacrifices a whole offering shall be rewarded for a whole offering; he who offers a burnt-offering shall have the reward of a burnt-offering; but he who offers humility to God and man shall be rewarded with a reward as if he had offered all the sacrifices in the world.”

Yesus menjanjikan bahwa mereka yang lemah lembut atau rendah hati akan mewarisi bumi.[xxvi] Mungkin sulit menggabungkan keduanya, tetapi pemimpin sejati memilih untuk menempuh jalur tersebut. Pada suatu masa kita akan mengerti bahwa yang lebih penting dari sekedar being “a smart leader and humble” adalah “smart team with a humble leader”.

Jadi benar juga apa yang dikatakan Martin Luther King, Jr. bahwa “You only need a heart full of grace, a soul generated by love … then you will be great!”. Kepemimpinan rohani tidak mungkin terpisahkan dari tuntutan hati yang penuh kasih dan dedikasi. Haruskah kepemimpinan rohani belajar dari kepemimpinan yang berlaku umum? Maksud saya, bukankah suatu tragedi jika justru gereja belajar mengenai ‘servant leadership’ dari dunia dan masyarakat di luar gereja?

Saya ingin tutup tulisan ini dengan mengutip kata-kata bijak dari Seneca, filsuf Roma di abad pertama yang juga seorang humoris pernah mengatakan:

“Dum inter homines sumus, colamus humanitatem.”

(Selama kita di antara manusia, jadilah manusiawi)

Kiranya Tuhan memberkati kita semua!


[i] http://www.work911.com/leadership-development/faq/charisma.htm

[ii] http://learnthis.ca/2009/12/the-problem-with-leadership/

[iii] http://en.wikipedia.org/wiki/W._Edwards_Deming

[iv] http://business.ezineseeker.com/future-leaders-14325b52af.html#

[v] http://www.marshallgoldsmithlibrary.com/cim/articles_print.php?aid=369

[vi] http://elqorni.wordpress.com/2008/05/24/kepemimpinan-abad-21-2/

[vii] http://www.leadershipjot.com/2007/08/13/3-steps-of-the-new-psychology-of-leadership/

[viii] http://www.letusreason.org/Latrain21.htm

[ix] Idem

[x] http://escholarship.bc.edu/dissertations/AAI3034797/

[xi] http://www.work911.com/leadership-development/faq/mythpopular.htm

[xii] http://www.reformedbaptistinstitute.org/?p=327 dan http://mghhistor.blogspot.com/2005/10/orthopathy.html

[xiii] http://www.centralseminary.edu/publications/Nick/Nick160.html

[xiv] http://www.cdomaha.com/blog/?p=1634

[xv] Markus 9:35

[xvi] Yohanes 13

[xvii] http://www.associatedcontent.com/article/541473/what_can_you_learn_from_brett_favre.html

[xviii] http://susanzelinski.com/zen-of-business/get-over-your-bad-self-the-power-of-humility/

[xix] Idem

[xx] Idem

[xxi] http://www.answers.com/topic/humility

[xxii] http://sites.google.com/site/universalsync/chapter-thirteen

[xxiii] http://jmm.aaa.net.au/articles/20042.htm

[xxiv] http://www.sober.org/BTHumili.html

[xxv] http://www.theaustralian.com.au/politics/kevin-rudd-smart-but-humble-barack-obama/story-e6frgczf-1225854268424

[xxvi] Matius 5:5

Artikel oleh: June 8, 2010  Tags:   Kategori : Artikel  Sebarkan 

Satu komentar

  1. Hendra Mulyana - June 9, 2010

    Nice lecture! Dengan “Team” and “Servanthood” Leadership … tidak lagi perlu kekuatiran lagi tentang Otoritas Pemimpin digerogoti
    God bless us….

Tulis Komentar Anda