Kurang Kuatnya Pemuridan di Kalangan GSJA

Saya telah mengamatinya sekian lama termasuk perjalanan pelayanan saya sendiri, yaitu bahwa kita kurang memiliki sistem pemuridan sebagaimana seharusnya ada dan yang diperlukan untuk keberlanjutan suatu pelayanan. Bukan bahan pemuridan yang saya maksud, tetapi suatu budaya “memuridkan orang lain” di mana seorang rohaniwan memberikan waktu kepada satu atau dua orang lainnya untuk memberi pengetahuan, menunjukkan contoh, melatih secara sengaja, mengawasi perkembangan dan melepas dalam kematangan. Bahkan dalam beberapa hal, memberi kehidupan kepada mereka.

Proses pemuridan ini butuh waktu, pengorbanan, ketekunan dan kesabaran. Pemuridan keliatannya menjadi ciri yang kuat pada gereja yang sehat dan bertumbuh. Di kalangan GSJA hanya sebagian kecil gembala dan tokoh yang memiliki profil ‘kuat dalam pemuridan’. Ciri yang dibawa jika mereka memiliki ‘pemuridan yang kuat’ adalah konsistensi, kesabaran, dan punya kepribadian non-sales, jauh dari popularitas dan gegap gempita. Orang-orang ini ‘cerdas’ dalam hal mereka menunda percakapan yang banyak, tetapi telah memulai dari contoh-contoh sederhana yang konkrit.

Kadang-kadang kita sebagai gembala merasa kurang yakin apakah memang investasi waktu kita memuridkan orang lain yang hanya sedikit saja akan benar-benar setimpal hasilnya nanti. Kita memilih ‘mass approach’ dan ‘formal education’ dalam mendidik orang karena merasa itulah cara tercepat, cara termudah, dan cara termurah. Kita menggantikan ‘pemuridan’ dengan cara lain yang lebih helenistik dan filosofis. Tetapi pilihan kita terus menerus kepada sistem ini berakibat sangat buruk dalam perkembangan selanjutnya. Kita jarang menghasilkan anak-anak rohani yang benar-benar mengakui ke-bapak-an kita secara rohani. Kita menuai ‘ketidak setiaan’ dalam peng-gembalaan kita karena keterkaitan kita tidak kuat dengan mereka yang kita layani.

Untuk memperluas wawasan dan pengertian soal ini serta menolong sesama PI GSJA, kami ingin mendapat tanggapan teman-teman pembaca yang mungkin juga memiliki pemikiran serupa dan keprihatinan sejenis yang dapat dituangkan dalam bentuk komentar. Please do so, thanks!

Artikel oleh: March 18, 2010   Kategori : Artikel  Sebarkan 

18 Komentar

  1. john ingatum - March 19, 2010

    pemahaman tidak akan mencampai hal yang maksimal inilah yang harus kita ubah. Memang dalam pelaksanannya tidak semudah yang kita katakan. Waktu yang berjalan akan membuktikan apakah that man will succeed. our job only do it and let god will make it. Maybe, BPP juga dapat membantu untuk pelatihan pemuridan ini.

  2. Shan Sharon Rose - March 19, 2010

    Shalom.
    Pemuridan spt yg dimaksud diatas menurut pengalaman saya masih bisa terjadi didaerah (desa),yang dimuridkan “lekat” dg guru dlm semua aktifitas pelayanan. Kecenderungan ini tentu saja sulit untuk gereja kota karena banyak faktor.

    Kesulitan berikutnya masalah dana,keluhan yg saya dengar dari beberapa hamba Tuhan GSJA honor Beliau2 ini pas-pasan,bagaimana membiayai pemuridan “melekat” spt diatas dimana murid akan selalu bersama-sama dg guru. Benar kita hidup karena iman,tetapi jangan juga memberangus lembu mengirik.Mungkin perlu juga berkaca pada organisasi gereja lain bagaimana membiayai kehidupan Hamba2 Tuhan, di daerah khususnya sehingga tidak terjadi seorang Pendeta jangankan memuridkan malah alih profesi.

    Mohon maaf ulasan saya sangat dangkal,terimakasih atas telaahannya.Tuhan memberkati.

  3. Yusuf eko widiarto - March 19, 2010

    Saya setuju dengan tulisan ini karena saya juga memiliki pendapat demikian bahkan dengan sebuah pertanyaan yang mungkin tepat: Dimanakah pemuridan yang ada di GSJA lokal?
    Kiranya kelak ada tulisan yang menyadarkan kita tentang ini, kurikulum di sekolah teologi kita penekanan tentang hal ini dengan diajar oleh orang dalam pelayanan pemuridan ini, serta pelatihan pemuridan baik untuk jemaat maupun Pelayan Injil.

  4. Ferry Tabaleku - March 19, 2010

    Memang betul jika dibandingkan beberapa gereja nasional lain yang akhir-akhir ini maju dengan pesat dan khususnya di perkotaan.Pemuridan membutuhkan beberapa prinsip yang sangat penting bagi seorang gembala: 1. Punya mental memuridkan,2.Membagi hidup kepada yang dimuridkan,3.Punya kemampuan melihat potensi yang di miliki jemaatnya,4.Menjadi model bagi mereka yang di muridkan, 5.Menjadi Abdi Allah yang sesungguhnya.

  5. roberto hutapea - March 19, 2010

    judul tulisan ini tepat sekali….
    sebenarnya ini jugalah yang membuat kita tertinggal jauh di banding dengan gereja lainnya…sebenarnya simple aja kok…miliki pola pelayanan Yesus tok…bukannkah pola ini yang dikembangkan oleh gereja abbalove, gereja mawar sharon, gbi keluarga Allah, jkinya pak petrus agung, gbi rock..dll..mari ingat sekali lagi puncak amanat agung adalah menjadikan segala bangsa murid kristus…ya menjadikan murid Kristus…saya harap next bpp bisa menjadikan persoalan pemuridan ini menjadi prioritaslah…tetap semangattt

  6. pitriani lie - March 27, 2010

    Saya lihat bahayanya kalau tak terjadi pemuridan ini. bukan hanya kita ketinggalan jauh dibanding gereja lainnya. tapi makin banyak perintis yang say good bye to GSJA.
    Padahal kalau melihat perintis gereja lain, bukan semua mereka lulusan teologia. Bahkan ada yang tak tamat SMU. Tapi sistem mentoring mereka itu yang bikin kuat hubungan jalinan kesatuan itu, sehingga jarang pendeta kecil yang kepahitan dengan pimpinannya. Makanya pelayanan mereka sangat diberkati. (baik pemimpin maupun orang yang yg dipimpin). #Bukankah Tuhan Yesus setiap saat mementori muridnya, makanya yang nelayan biasa aja bisa melakukan perkara-perkara yang lebih besar dari yang Yesus lakukan.#(# # betul gak ya???) ah tak taulah… yang penting Tuhan Yesus masih hibur sayalah… haiya.

  7. Hendra Mulyana - March 30, 2010

    Berdasarkan hasil evaluasi yang saya lakukan, beberapa kemungkinan yang menjadi penyebab lemahnya pemuridan di kalangan GSJA adalah:

    [1] Pemuridan adalah duplikasi (Yoh 13:15,34 – I Kor 11:1). Banyak pemimpin yang tidak pernah dimuridkan (kecuali menjadi murid dalam pendidikan akademis formal) dan tidak juga mengatasinya dengan belajar menjadi murid Kristus sehingga ia tidak pernah berfikir untuk memuridkan orang lain. Mereka tidak dapat menduplikasikan apa yang tidak pernah ada dalam hidupnya secara pribadi. Jika pemimpin tidak dapat menduplikasikan pribadi murid Kristus, tentu pemuridan tidak akan bergulir lanjut dengan baik. Pernah seorang pendeta senior diminta untuk memberikan pelajaran Theologia Penggembalaan, namun beliau mengomentari bahwa materinya terlalu berat sehingga tidak bersedia melanjutkan setelah satu sesi dilakukan.

    [2] Pemuridan menuntut keteladanan (Yoh 13:15 – II Tes 3:9 – I Petr 5:3) bukan kepememerintahan. Banyak pendeta yang lebih membanggakan beslit penugasannya daripada kepenuhan pribadi Kristus di dalam dirinya, sehingga memimpin secara otoriter dengan dukungan otorisasi birokrasi lebih diandalkan daripada memberikan contoh-contoh nyata sesuai ajaran Tuhan Yesus untuk dituruti. Salah satu dari materi-materi yang kalau tidak salah disusun oleh Rev. Daryl Wood untuk pembinaan pengerja awam diberi judul “Kepemimpinan Rohani dan Pemuridan” menunjukkan kaitan yang sangat erat antara kepemimpinan rohani Kristen dengan pemuridan. Seorang pendeta yang terlalu bangga dengan jabatan birokrasinya akan belajar dari kenyataan bahwa dirinya ditolak oleh sebagian besar yang dipimpinnya pada waktu mereka bebas menentukan pilihan karena cara kepemimpinannya yang otoriter. Kemungkinan itu juga yang menyebabkan banyak pendeta yang menghindarkan gereja yang digembalakannya naik tingkat menjadi gereja pembina, karena mereka menjadi pemimpin bukan oleh penerimaan secara sukarela dari jemaat yang digembalakannya tapi karena berbekal beslit penugasan.

    [3] Pemuridan menuntut transparansi kehidupan untuk dilihat dan diikuti (Titus 2:6-8). Namun cukup banyak pendeta yang berusaha keras menyembunyikan sifat-sifat dan gaya hidup lamanya yang masih dipelihara sehingga tidak merasa nyaman untuk dikenal dekat secara pribadi oleh mereka yang diasuhnya, dengan demikian timbullah gap yang memutus rantai pemuridan. Pertobatan digantikan dengan kemunafikan demi menjaga ‘nama baik’ yang sebetulnya tidak baik.

    [4] Pemuridan akan menghasilkan orang-orang lain yang sama seperti diri yang memuridkan (Luk 6:40), namun sayangnya justru cukup banyak pendeta yang takut jika ada orang-orang yang dapat menyamainya karena pikirannya dipenuhi dengan persaingan untuk menempati kursi kepemimpinan. Hal ini dapat disebabkan karena ladang pelayanan dilihat sebagai ladang untuk mencari nafkah, padahal orang yang melayani dalam Pekerjaan Tuhan di ladang mana pun layak untuk mendapat upah yang memadai. Bisa juga disebabkan karena pelayanan dilihat sebagai karir. Prinsip kepemimpinan hamba yang Tuhan Yesus ajarkan tidak cukup dijiwai oleh mereka sehingga bukan merendahkan diri yang diutamakan tetapi sebaliknya meninggikan diri dan menganggap diri lebih penting dari orang lain. Fatalnya, malah ada pendeta yang memang mengaku berpolitik di dalam birokrasi gereja. Saya rasa contoh sosok seperti oom The Boen Thay cukup memahami prinsip kepemimpinan hamba dengan baik sehingga meskipun telah menghasilkan banyak murid yang baik, di masa tuanya tetap dihargai oleh jemaat yang digembalakannya.

    [5] Pembekalan yang terus menerus perlu diberikan kepada para pendeta karena apa yang pernah dipelajari mungkin untuk terlupakan, lulus sekolah theologi bukan berarti telah menyerap semua pelajaran yang diberikan dan juga motivasi pelayanan mungkin mengalami penyimpangan sementara pelayanan berlanjut. Tolok ukur senioritas seringkali hanya didasarkan pada jumlah tahun pelayanan dan usia, bukan pada kenyataan kedewasaan rohani yang semakin serupa Kristus. Yang fatal adalah jika sosok yang tidak pantas untuk menjadi teladan justru dijadikan penasihat atau pemimpin senior, sehingga nilai-nilai yang tidak baik justru semakin diduplikasikan.

    [6] Tidak sedikit pendeta yang berorientasi bisnis profit komersial dan bukan berorientasi pembangunan Tubuh Kristus, sehingga prinsip-prinsip Kerajaan Allah digantikan dengan prinsip-prinsip komersial. Jika dalam bisnis Multilevel Marketing duplikasi berpengaruh pada peningkatan income, duplikasi dari pemuridan tidak ada dampak komersialnya. Berurusan langsung dengan banyak orang yang dapat menjadi saluran berkat lebih menarik daripada duplikasi gaya pemuridan. Tidak heran jika ada pendeta yang malah melarang orang lain yang ada di bawah kepemimpinannya melayani secara pribadi orang-orang yang biasa menjadi saluran berkat materi.

    Mungkin hasil evaluasi saya ini terlalu tajam, tapi kapan kita memperbaiki diri jika segala hal yang tidak baik dianggap tabu untuk diakui keberadaannya dan selalu ditutup-tutupi dengan kepalsuan basa-basi? Biarlah kita sama-sama belajar terus untuk menjadi murid yang baik agar kita juga bisa memuridkan orang lain. Tuhan Yesus memberkati!

  8. Adi Nugroho - March 31, 2010

    Dulu waktu ada gereja sel, gembala senior saya ajukan di BPD, katanya sesat, setelah 2 tahun berjalan, denominasi lain yang malah membawa masuk indonesia berkibar, baru minta diseminarkan. terlambat sudah. sampai sekarang pun banyak gsja belum pny komsel.

    Pemuridan? tahun 2000 sudah masuk G12 ke Solo, kita diem2 aja, banyak denominasi sudah berguru, setelah 10 tahun kemudian baru diseminarkan, itupun terbatas di BPD tertentu saja.

    Saya rasa memang DNA nya memang tidak ada…haha.becanda.
    Mungkin memang kita terlalu suka yang terlambat, entah tidak bisa menganalisa atau terlalu “rohani”.

    Setelah lulus sekolah Alkitab, hasratnya seperti “membakar kota” semua orang bertobat, tapi selanjutnya…melempem..karena tidak tahu organisasi, tidak tahu memberdayakan, apalagi memuridkan, lalu ikut sibuk organisasi pdhl jemaat masih belum terbentuk…wah belum lagi pergumulan hidup. Pantas saja kalau menjadi pastor-sentris.

    Perkuliahan belajar pemuridan, tapi prakteknya NOL. malah larinya menyusun Program Kerja…wah kebablasan mbakyu.

    Puji Tuhan sekarang sudah banyak yang kritis, yang bisa buat buku, coba dong di dorong untuk membuat materi pemuridan ala GSJA. Pasti sangat memberkati banyak gembala. kalaupun ada, Sampai sekarang saya minta gak dikasih2. mungkin saya kurang info, ada yang punya ? minta dong….

    Mohon maaf kalau ada kata2 yang tidak berkenan di hati.

    Terima Kasih. Tuhan Yesus memberkati.

  9. Ray - April 7, 2010

    Mengenai pemuridan, ada dua jenis pemuridan dalam gereja lokal. Pertama, pemuridan pribadi atau yang lebih dikenal dengan nama mentoring dan. Kedua, pemuridan jemaat. menurut saya GSJA bukan hanya lemah dalam pemuridan pribadi tapi juga lemah dalam pemuridan jemaat. berdasarkan pengamatan saya, gereja yang memiliki pola pemuridan yang baik, berdampak pada pertumbuhan jemaat…oleh sebab itu perlu dipikirkan bersama metode yang baik yang bisa digunakan oleh gereja, baik gereja yang ada di kota maupun yg ada didesa sehingga GSJA akan semakin berkembang….gbu

  10. pdt.Albert T Yappo - April 8, 2010

    sebelum saya menjadi pelayan injil di GSJA, ada kebanggaan tersendiri karena GSJA adalah salah satu organisasi gereja terbesar di dunia dan berkembang sedemikian pesat.
    saya melihat ada sesuatu yang kurang mendapat perhatian yakni pemuridan. gereja lain berkembang dengan pesat di Indonesia dengan menerapkan pola pemuridan yang terstruktur dgn baik sehingga gereja mengalami perkembangan.
    untuk itu GSJA harus menyiapkan pola pemuridan yang tepat sehingga dapat digunakan oleh semua gereja lokal di Indonesia.

  11. hizkia totok - April 24, 2010

    menurut opiniku??? Budaya memuridkan itu harus dimulai dari ATAS alias senior-senior kita,ya to? kalau yg senior aja ndak kasi kesempatan bagi yg muda utk tampil,bagaimana mungkin BUDAYA MEMURIDKAN bisa transfer ke BAWAH ? jadi alangkah baiknya bila kita meneladani Rasul Paulus yang rela hati dan berjiwa besar memberikan TONGKAT ESTAFET KEPEMIMPINAN pd TIMOTIUS.GBU…MAJU TERUS GSSJA.

  12. Mantap - July 15, 2010

    Sebenarnya Lulusan Teologi AOG sangat lebih baik dan tdk diragukan lagi. Namun kembali pd Pemimpinnya yang sealu ingin jadi bos bukan hamba. Bukan Anda….tapi lihatlah diri kita sendiri….!!! Yesus dikatakan murid2xnya guru yang baik….Mengapa kamu mengatakan demikiaan…renungkan dan jadikan suatu evaluasi untuk pemikir2x GSJA masa depan….AOG tetap ok….!!!!

  13. Pemerhati - July 15, 2010

    Kalau kita jujur Pemimpin GSJA di indonesia, tdk ada yang memiliki Charhisma menjadi GURU yang bisa dikenal oleh semua kalangan seperti Yakob Nahoway, Ir Niko, Gilbert L dll, padahal kita juga punya kemampuan yang sama dengan mrk (Sampai yg memiliki gereja 4000 org bisa menyadur apa yg diberikan TUHAN pd mereka). Kalau saya pernah mendengar mrk dulu memiliki seorg GURU/mentor terkenal yang bisa membimbing langsung kerohanian pribadi mereka. Doa kita bersama kedepan kita akan memiliki guru yg bisa dikenal oleh semua komponen/organisasi. Bagaimana kita bisa memuridkan sedangkan gurunya tdk ada? boleh jadi pemikir, tapi apakah hal itu bisa menjadi Guru/mentor. Tuhan Yesus dipermuliakan di negeri indonesia kita tercinta.

  14. Obet Batlayar - August 14, 2010

    Syalom,
    Pemuridan adalah satu bagian penting di dalam Gereja yang tidak boleh diabaikan oleh para pemimpin Gereja, karena dengan adanya sistem pemuridan yang baik dalam gereja, maka
    1. Persoalan SDM akan teratasi
    2. Menemukan potensi dalam diri anggota jemaat
    3. Meningkatkan kemampuan/skill dari pengerja gereja, sehingga mereka lebih militan lagi
    4. Anggota Jemaat memiliki pengetahuan Firman Tuhan yang baik sehingga mampu menangkal pengajaran sesat di akhir Jaman ini.

    Oleh karena itu, pemuridan dalam gereja bukan masalah mau atau tidak tetapi menurut saya adalah sebuah keharusan. TUHAN YESUS MEMBERKATI.

  15. Pieter Ginting - August 28, 2010

    Sebenarnya bahan-bahan pemuridan di sidang-sidang jemaat Allah itu ada bukunya. dari buku Utamakan hal-hal yang utama sampai penjala jiwa. saya mendapatkan pelajaran ini sekitar tahun 1986-1989 dengan mengikuti ibadah sel atau kebaktian tengah minggu digereja lokal saya. persoalan yang dihadapi adalah banyak gereja-gereja lokal tidak fokus terhadap pemuridan ini. Persoalan SDM itu tidak menjadi faktor yang utama. asal ada kemauan untuk mendidik jemaat dari seorang murid dan memuridkan. karena persoalan pemuridan tidak semuanya harus dibebankan kepada gembala sidang. kalau semuanya di bebankan kepada Gembala sidang dan staf digereja bisa-bisa mereka cepat pulang kerumah Bapa.

  16. Samuel H - September 3, 2010

    Ikut urun rembug juga yah.
    Melihat perkembangan gereja lain, kita bisa mengatakan sistem/model pemuridan yang sedang booming sekarang adalah SPK nya yang diadopsi oleh Abba Love (Saya Pengikut Kristus). GSJA dulu memiliki LKTI dan GSJA CWS memiliki PPKA yang diikuti juga oleh umat dari denominasi lain. Namun terlihat sepertinya ‘boomingnya’ sudah lewat dan booming sekarang beralih kepada SPK dalam model Komsel. Mengapa SPK sekarang sepertinya berhasil? Kalau boleh jujur, pengamatan saya adalah karena peserta diberi kesempatan mengalamai pemulihan, bersaksi, untuk memimpin dan didorong membawa jiwa dalam event special semacam Champion Gathering atau kelas khusus pelayan. GSJA coba bangkit dengan mengadopsi 40 days nya Rick Warren. Kalau saya boleh mengomentari, sebenarnya di kalangan GSJA dikenal dengan kuatnya khotbah ekspositori, dimana model khotbah ini bercirikan pengajaran/pemuridan. Namun sayang, akhir-akhir ini sepertinya itu kurang ditekankan. Namun khotbah saja tidaklah cukup, dibutuhkan kelas pemuridan atau sessi mentoring dan penekanan kelompok kecil (GSJA sedang menggalakkan KKA). Sebenarnya inti dari tulisan di atas, yang diperlukan adalah sistem mentoring dalam penggembalaan, bukan soal kelas pemuridan. Berbagi hidup, kepedulian, perhatian, pembelaan dan kesempatan memimpin kepada setiap umat adalah hal yang menjadi prioritas. Selanjutnya dalam kepemimpinan, berani menyerahkan tongkat estafet kepada yang dinilai mampu dalam kepemimpinan perlu dilaksanakan. Seperti Yesus memuridkan 12 rasul, sekalipun 1 gagal, dan seperti Paulus memuridkan Timotius dan yang lainnya, pasti kita dapat menemukan pola pemuridan dari Tokoh kita ini.
    Jadi kalau dikatakan GSJA kurang kuat dalam pemuridan, tidaklah tepat sekali.. hanya kadang eforia sedang ada pada denominasi lain dan itu membuat kita merasa tidak bagus. Namun, belum terlambat untuk menghidupkannya dan menggalakkan kelompok kecil yang care, yang menjawab kebutuhan dan disesuaikan dengan situasi jemaat di kota secara special dan di desa pada umumnya. Bukan ikut atau meniru cara melainkan mengambil dan menerapkan prinsipnya.

  17. Budiono - January 13, 2011

    Saya setuju dengan pendapat penulis.
    Ada beberapa kelemahan yang dilakukan oleh para Gembala Sidang (GSJA)untuk segera diadakan perbaikan.
    1. Tidak berani mengambil suatu tindakan konkrit untuk berubah menjadi lebih baik. Comfort zone menjadi prioritas utama.
    2. Model kepemimpinan yang sangat-sangat berantakan. Model keteladanan yang harusnya diturunkan tidak dijumpai.
    3. Mentoring dari Bapak ke anak tidak ada. Artinya para gembala sibuk mengurusi jemaat dan gereja orang lain, dan yang lebih parah lagi disibukkan dengan persoalan organisasi.

    Menurut saya langkah yang harus di ambil:
    1. Kembali kepada Amanat Agung.
    2. Lepaskan zona kenyamanan anda, sebab pemuridan adalah siap untuk dibuat tidak nyaman.
    3. Budayakan role kebapakan. bukan pehakiman yang menimbulkan rasa takut.
    4. Contohlah rasul Paulus. Ikutlah teladanku, seperti aku mengiktui teladan Kristus.

    Seorang pemimpin yang berhasil adalah seorang yang dapat menghasilkan pemimpin yang baru.
    Tuhan Yesus Memberkati

  18. Adi P.Nugroho - September 14, 2011

    Ada beberapa tulisan yang mengatakan secara tersirat, adanya gembala2 yang ada pada zona nyaman, saya rasa yang begituan tidak banyak ya. Justru sekarang saya rasa para gembala harus sudah merasa Worry karena jemaat koq gampang digoyang ajaran2 baru yang keliatannya apik tapi meracuni.

    Bagi saya, memuridkan juga tidak mudah, perlu mencari siapa yang dapat sekiranya kita muridkan, kalau tidak, bisa2 kita dikhianati,hehehehe. lalu penting juga ada kelas2 “pertumbuhan rohani” (copas istilah dr GSJA Maranatha Cilacap), sehingga mutu jemaat apalagi pelayan2nya benar2 terasah dengan baik. Karena kita selalu mendapatkan contoh2 bentuk Charismatic/Pentakosta yang kurang pas dengan value GSSJA sendiri bukan ?!

    Jadi, ayolah kita berani melangkah, menurut saya, carilah murid dari jemaat dengan kualifikasi : pribumi, jiwa baru, mengalami mujizat saat menjadi jiwa baru, kalangan menengah ke bawah. Contoh yang dibuat Yesus itu. Lebih joss lagi, kalau nelayan, Wah Alkitabiah khan….hehehehehe. Ini menurut saya lho…

Tulis Komentar Anda