Gereja Nasional & Misionaris

missionarydb

Apakah ada ‘tension’ dalam hubungan antara Gereja Nasional dimana seorang misionaris bekerja dengan Misionaris itu sendiri? Umumnya ada! Walaupun tidak kentara, tersembunyi tetapi harus diakui bahwa ‘tension’ itu memang ada. Inilah fenomena di seluruh dunia antara penggilan Tuhan kepada seseorang untuk datang ke sebuah negara untuk melayani dengan tempat pelayanan itu sendiri. Bukan perbedaan budayanya, bukan lagi soal kebiasaan dan pola pikir yang berbeda yang menjadi bagian dari kontekstualisasi atau inkulturasi melainkan sejenis ‘peperangan tuntutan prioritas’ tujuan dan terbatasnya waktu yang dimiliki baik oleh gereja nasional dan misionaris itu sendiri.

Perkembangan peradaban manusia yang menuju nilai demokrasi universal dengan tumbuhnya kesadaran pada hak individu, validitas nilai lokal, telah mengubah tatanan hidup bermasyarakat. Dengan global village masyarakat dunia maka timbulah ekses baliknya yaitu ‘mempertahankan wajah lokal’ masing-masing individu.

Perubahan yang terjadi pada tataran budaya, nilai, jaman dsb dalam pelayanan misionaris telah membuat seorang misionaris mungkin memperlengkapi diri 3 kali lebih besar dari persiapan misionaris masa lalu. Tuntutan terhadap kemampuan seorang misionaris untuk beradaptasi dengan negara dan wilayah atau sekitar tempat pelayanannya adalah bagian tak terhindarkan. Wadah pelayanan memiliki kekuatan terbesar dalam menentukan model pelayanan misionaris. Tidak lagi bisa seseorang datang dan mengubah, yang sebenarnya terjadi adalah seorang datang dan diubah.

Seberapa besar dan kuat validitas nilai lokal terhadap subyek? Apakah mutlak? Tergantung! Jika kita mengikuti pola inkarnasi Yesus maka kita menemukan sejenis ‘kemutlakan’ nilai lokal yang bahkan menuntut Allah sendiri untuk mengosongkan diri dan menjadi sama dengan manusia. Misi mungkin akan selamanya menjadi peristiwa pelayanan yang ditandai dengan ‘kemenangan’В  unsur lokal di atas subyek misi.

Allan R. Johnson dalam bukunya “Apostolic Function in the 21st Century Mission” mengungkapkan tentang adanya ‘double blindness’ yang menjadi gejala umum di kalangan misionaris dan gereja nasional hanya mengungkapkan fakta tersebut. Double blindness yang dimaksud adalah bahwa gereja nasional sangat dikuasai oleh kepentingan menjawab pergumulan pelayanan dalam konteks kebangsaan dan kenegaraannya sehingga sulit untuk melihat target lain di luar visinya sendiri.

Sedangkan misionaris terperangkap kepada ‘ketundukan’ kepada agenda gereja nasional. Akibatnya misioanris turut menjadi buta atau dalam proses ini seorang misionaris ‘menjual’ ketidak butaannya dan memakai ‘kebutaan’ gereja nasional. Ia dapat kehilangan kepekaan kepada ‘panggilan Tuhan’ yang lebih luas atas kelompok orang yang justru ditujukan oleh Allah yang memanggilnya untuk datang ke negara tersebut.

Sejak awal, doa seorang misionaris terbagi dua, yaitu antara visi yang dilihatnya sendiri dengan kebutuhan nyata saat itu yang dilihat oleh gereja nasional. Seorang misionaris harus ppunya kemampuan untuk keouar sedikit dari perangkap agenda kepentingan gereja nasional dan membuka diri kepada kemungkinan kelompok orang lain yang dapat dilayani.

Memang mungkin ini sekedar concern saja. Tetapi benarkah bahwa agenda gereja nasional kurang sahih sebagai agenda penting Allah yang menjadi sebab utama mengapa seorang misionaris menerima panggilannya?

Mungkin yang diutamakan di sini adalah pentingnya membangun komunikasi dan bsharing harapan antara gereja nasional dan misionaris. Bekerja secara buta kepada kepentingan gereja nasional juga benar dapat membutakan seorang misionaris kepada panggilan yang lebih luas. Tetapi mengabaikan sharing ndan komunikasi harapan dari pihak misionaris juga sangat berpotensi membangkitkan kecurigaan dan ketidak nyamanan pada pihak gereja nasional.

Tuhan memberkati!

Artikel oleh: February 6, 2010  Tags:   Kategori : Artikel  Sebarkan 

Tulis Komentar Anda