Suksesi Dalam Penggembalaan di GSJA?

a-46

Istilah suksesi adalah ‘peralihan kepada pemimpin berikutnya’. Konotasi yang dimasukkan kedalam perkataan ‘suksesi’ dalam penggembalaan adalah peralihan penggembalaan dari seseorang kepada orang lain yang memiliki hubungan keluarga (bisa istri, suami atau anak, atau keponakan, dsb.)

Isu soal suksesi penggembalaan dalam GSJA dulu tidak dikenal karena sistem yang masih cukup ‘setia’ kepada peraturan yang ada di dalam Tata Gereja dan Peraturan Pelaksanaan yang ada. Suksesi bukan topik menarik jika terjadi di gereja-gereja kecil di pedesaan maupun perkotaan. Tetapi isu tersebut terbukti ‘hangat’ dibicarakan jika menyangkut gereja besar dan potensi gereja yang besar.

Isi suksesi terutama juga menjadi sangat hangat karena gembala yang akan digantikan adalah pendiri dari gereja tersebut dan pengembang gereja secara signifikan. Dalam kebanyakan kasus peralihan penggembalaan yang terjadi di kota-kota besar cenderung memakai pola dari orang tua kepada anak atau suami kepada istri.

Untuk GSJA, peraturan yang ada membagi tata cara peralihan penggembalaan dengan dua cara. Pertama adalah ketika seorang hamba Tuhan meninggal dunia, sakit secara permanen atau diberhentikan karena suatu alasan maka dalam status gereja Pratama dan Madya (dimana sebagian besar gereja-gereja yang ada berstatus demikian) Badan Pengurus Daerah akan menentukan orang baru setelah mendengarkan aspirasi jemaat setempat. Tetapi dominan dalam hal ini adalah Badan Pengurus Daerah.

Kedua adalah dalam status gereja Pembina, di mana kurang dari 1 persen dari total 2000 gereja (hanya 11 gereja), maka gereja lokal mengadakan pertemuan anggota gereja dalam sebuah pertemuan khusus dengan mendapatkan input dan rekomendasi orang-orang yang memenuhi syarat menurut Badan Pengurus Daerah. Dalam pertemuan anggota gereja itulah gembala sidang akan dipilih. Tetapi yang memilih adalah gereja lokal itu sendiri. Mengenai mengapa gereja-gereja memilih status Madya tidak kita bahas di sini, tetapi status gereja Pembina memang memberi kewenangan cukup luas kepada gereja setempat yang biasanya diwakili oleh para Majelis gereja.

Dari definisi di atas, sebenarnya Suksesi menjadi ‘tidak bisa’ otomatis berlangsung dalam tubuh GSJA. Karena suksesi dalam definisi pada permulaan artikel ini biasanya adalah inisiatif pribadi seorang gembala sidang. Belum tentu jemaat yang dilayani sepikiran dengan ide pribadi dalam proses suksesi tersebut.

Suksesi juga menjadi sensitif ketika jalur hubungan dengan struktur kepemimpinan organisasi terganggu sehingga mengaburkan tujuan suksesi itu sendiri. Ada beberapa pertimbangan mengapa suksesi dalam pengertian di atas dipilih secara sengaja oleh seorang gembala sidang:

1. Jika seseorang membuka pelayanan di sebuah tempat, menjadi gembala sidang di situ untuk sekian waktu, mengalami pertumbuhan dan banyak pengorbanan di sana lalu ia tidak dapat menyerahkan kepemimpinan tersebut kepada salah satu anaknya untuk melanjutkan pelayanan hanya karena peraturan menghalanginya – akan dirasakan kurang adil bagi gembala sidang tersebut. Menyerahkan kepemimpinan kepada orang lain yang bukan anggota keluarganya adalah sebuah perubahan drastis yang bisa beresiko kepada keluarga yang ditinggalkan. Hal ini sekalipun alasan yang ‘kurang rohaniah’ tetap menjadi alasan terkuat yang mungkin tidak terucapkan di kalangan para pendeta.

2. Anak gembala sidang yang berbakat pelayanan dan berhati yang baik adalah calon paling dikenal oleh jemaat terutama ketika jemaat menunjukkan persetujuannya sebelum Badan Pengurus Daerah memberikan opsi lain. Anak seorang gembala sidang dikenal oleh jemaat yang bersangkutan, peralihan tidak terlalu drastis, dan terutama sang gembala sidang merasakan ‘ketenangan’. Dalam hal dimana seorang gembala sidang tidak memiliki opsi dari antara anak-anaknya, maka ia mengharapkan agar ia diberikan kesempatan menyiapkan sendiri calon penggantinya yang kemungkinan diambil dari salah satu staff atau orang lain yang dirasakannya ‘mampu’ memimpin.

Para hamba Tuhan mungkin tidak keberatan soal aset-aset yang dibalik nama atas nama GSSJA di Indonesia, tetapi dalam soal peralihan kepemimpinan, seorang gembala sidang sangat ingin menjadi orang yang paling ‘bertanggung jawab’ mencari calon dan mengangkat. Hal ini sebenarnya mengandung segi positif yaitu bahwa sistem warisan kerohanian akan makin kuat. Seorang gembala sidang yang diijinkan menentukan sendiri dalam doa dan ‘instink’ rohaninya akan menikmati kesukaan menjadi ‘senior’ dan ‘bapa rohani’ bagi pemimpin yang baru. Ini adalah berkat tersendiri baginya.

Walaupun kelihatannya ‘suksesi’ menurut definisi di atas adalah sulit menurut peraturan yang ada, ada baiknya dipertanyakan kembali ‘ketidak bolehan’ suksesi terjadi. Barangkali juga, dengan memberikan ide bahwa Tata Gereja dan Peraturan Pelaksanaan GSJA diubah bunyinya untuk proses suksesi, yaitu bahwa peralihan kepemimpinan akan diutamakan diberikan kepada anggota keluarga yang ada. Dalam hal tidak dijumpai atau ditolak oleh keluarga, maka barulah Badan Pengurus Daerah menentukan orang lain dengan proses yang baik dan bijak.

Sangat sulit menebak dari awal bahwa seorang anak atau pilihan seseorang akan berhasil atau tidak. Mungkin patokan yang paling umum adalah jika para pemimpin rohani dalam gereja lokal menjadi sepakat maka biasanya itu adalah tanda bahwa Tuhan ‘merestui’ peralihan penggembalaan tersebut.

Di sisi lain, yang perlu diperhatikan adalah bahwa suksesi dapat justru menjerumuskan gereja setempat kepada tradisi yang menolak perubahan. Ekses selalu ada. Ada positif negatif dalam sebuah model. Alasan terbesar penolakan kepada suksesi dari sudut pandang organisasi adalah terlepasnya kewenangan organisasi atas sebuah gereja lokal. Alasan lainnya adalah kekuatiran bahwa kepemimpinan jatuh ke tangan orang yang salah sehingga membawa kerusakan bagi pelayanan.

Pada prinsipnya, kedua-duanya yaitu baik gembala sidang yang memilih sendiri orang dalam proses suksesi dan Badan Pengurus Daerah yang memilih orang adalah sama-sama menghendaki yang terbaik. Kelihatannya proses suksesi masih dimungkinkan terjadi dengan baik dengan ‘approval’ kedua belah pihak asalkan hubungan yang ada antara gembala sidang dengan Badan Pengurus Daerah adalah baik. Dalam pengalaman riil peralihan kepemimpinan dalam sebuah gereja lokal, Badan Pengurus Daerah jarang menggunakan hak kewenangannya tanpa mendengarkan dulu aspirasi yang muncul dalam jemaat tersebut.

Proses suksesi yang diterima oleh Badan Pengurus Daerah dan ‘direstui’ bisa menimbulkan semacam ‘rasa aman’ dalam diri seorang gembala sidang yang sedang melayani. Mungkin ia akan merasa bahwa organisasi secara adil memperhatikan hidup sebuah keluarga hamba Tuhan pasca peralihan kepemimpinan. Ini dapat berdampak besar dalam pelayanannya.

Bergantung kepada Tuhan dalam hal kepemimpinan masa depan adalah sebuah seni Roh Kudus dan kebijakan para pemimpin rohani.

Salah satu tips penting dalam setting GSJA adalah agar setiap Pelayan Injil mulai memikirkan keluarganya sejak dini dengan memisahkan kepemilkan secara tegas mana yang menjadi milik pribadi dan mana yang bukan. Hal ini akan menghindarkan masalah ketika seorang Pelayan Injil terlalu berharap kepada organisasi padahal peraturan yang ada tidak menjaminnya.

Diperlukan perubahan pada tubuh GSJA termasuk Tata Gereja dan Peraturan Pelaksanaa, tetapi diperlukan kebijaksanaan dan kecerdasan mengelola masa depan dari pihak seorang Pelayan Injil GSJA.

Artikel oleh: February 4, 2010  Tags: ,   Kategori : Artikel  Sebarkan 

Satu komentar

  1. Ferry Tabaleku - February 4, 2010

    Pemikiran yang telah diulas diatas oleh penulis sangat menarik untuk di kaji secara mendalam, sebab hal ini merupakan cerminan dalam perjalanan perkembangan gereja dewasa ini. Oleh karena itu saran saya sebagai anggota GSJA di Indonesia,supaya mengkaji betul-betul tata gereja dan peraturan pelaksanaannya, apakah masih sesuai dengan keperluan gereja saat ini, dan apakah dapat melindungi dan juga memberi ketenangan/kenyamanan bagi masa depan pelayan Injil.
    Mungkin departman penelitian dan pengembangan sumber daya manusia GSJA, perlu mengkaji potensi-potensi apa saja yang dimiliki para hamba Tuhan, dan hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam pribadi, keluarga dan pelayanan.
    Sebab hal-hal tersebut di atas merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam perjalanan pelayanan seseorang hamba Tuhan.

Tulis Komentar Anda