Tiang Keselamatan & Engko dan Encik Nyo

a-991

“Di sinilah kami berempat (pdt. Elia, istri dan kedua putri mereka) berpegangan, saat gempa hebat menghantam Padang dan sekitarnya. 4 hari menjelang gempa, Tuhan sudah berbicara kepada istri saya, melalui sebuah penglihatan bahwa gempa dan api akan menimpa Padang. Istri saya menyampaikannya kepada jemaat. Bahkan kepada hamba Tuhan yang di Mentawai sudah dinasehati agar tetap kuat dalam Tuhan jika Mentawai di landa gempa. Karena menurut kami saat itu, lebih mungkin Mentawai yang rawan gempa saat itu. Tetapi ternyata Padang yang terkena sesuai dengan penglihatan itu,” cerita pdt. Elia dalam perjalanan menjemput saya dari Bandara Padang menuju gereja.

“Pada sore itu beberapa saat sebelum gempa besar, istri saya sedang di dalam rumah tiba-tiba ia berkata bahwa Tuhan menyuruh mereka keluar karena akan ada gempa. Saya sebagai suami rasanya kurang percaya apa benar akan ada gempa. Istri saya tetap memaksa saya dan anak-anak keluar dari rumah, saat itulah gempa kemudian melanda Padang dengan hebat. Kami tidak dapat berjalan karena situasinya begitu hebat goncangan tanah di bawah, kami berempat tiba di belakang rumah di mana ada sebuah tiang dengan besi dengan langit terbuka, dan di sanalah kami berempat berseru kepada Tuhan Yesus supaya menyelamatkan kami,” lanjutnya.

“Tuhan Yesus luar biasa, Ia baik, sehingga kami bisa selamat,” ujar pdt. Elia Ambarita. Sebagai gereja sederhana, kesetiaannya membayarkan persepuluhan sidangnya telah menempatkan GSJA Padang sebagai 1 di antara 10 pembayaran persepuluhan setia dan ‘terbesar’. Jika saya katakan besar, maksudnya 1/3 upah minimum regional DKI tetapi ternyata sudah ‘besar’ di Daerah Kepri dan Sumbar. Saya mengunjungi mereka di Padang dalam rangka tugas BPP meninjau langsung lokasi yang hendak kita doakan agar menjadi lahan tetap bagi pelayanan kasih GSJA di Padang.

Ia memperlihatkan bagian-bagian tembok yang roboh di gerejanya yang sederhana. Sejak kejadian gempa, ia diberkati dengan penambahan jiwa-jiwa. Kedatangan tim dari Jakarta dan Surayaba – sesama GSJA – telah menaikkan citra pelayanan GSJA di Padang. Kehadiran GSJA sendiri kini diperhitungkan oleh golongan Kristen Padang karena citra baik yang diberikan oleh gembala dalam pelayanan, tindakan sosial bantuan gempa yang cepat dari teman-teman GSJA di Jakarta dan Surabaya. Gembala GSJA Padang termasuk dalam salah satu pendeta yang turut membangun kedekatan dengan pejabat pemerintah Daerah.

Dalam pendekatannya terhadap warga juga ia mau sabar tetapi cukup tegas sehingga beberapa orang yang mulanya ‘tidak menyukai’ kehadiran pelayanan pdt. Elia dan keluarga, kini berbalik menerima bahkan memperlakukannya sebagai bagian keluarga mereka. Termasuk ibu haji yang dulu pernah memimpin sejenis ‘demo’ melawan kehadiran gereja di situ, kini menjadi salah seorang yang dekat dengan keluarga pdt. Elia. Bahkan ketika suatu hari Natal, mereka kedatangan polisi yang menawarkan diri untuk menjaga acara, karena acara diadakan di halaman gereja dengan sound system yang lumayan, ketua RT berkata bahwa polisi tidak usah jaga karena mereka sendiri, yaitu warga yang akan menjaganya.

“Pak Budi lihat di atas seng itu ada batu, masih ada di situ … itulah batu-batu yang ‘mereka’ lempar ke gereja!” seraya menunjuk ke arah atas.

a-995

“Kami memulai pelayanan ini tahun 2004 dengan kerja keras dan usaha sendiri. Kami pernah bertanya dalam hati mengapa tidak ada yang memperhatikan. Sampai saat ini, pelayanan kami diperhatikan secara rutin oleh dua gereja, GSJA Maranatha Palembang dalam bidang mentoring, sedangkan satunya yaitu GSJA CWS Gading dalam bidang suport. Terima kasih untuk perhatian selama ini,” kata pdt. Elia. Saya menghiburnya dengan berkata, “Ya memang, tetapi bukankah melalui gempa di waktu yang lalu, semua mata dan perhatian GSJA di arahkan ke GSJA Padang, jadi tetap bersyukur ya!”. Tuhan sangat baik, perhatian demi perhatian dari berbagai GSJA di Jakarta, Surabaya dan tempat lain, termasuk Hong Kong memberi perhatian yang lumayan terhadap GSJA Padang.

Sejak gempa 2009, sejumlah gereja dalam tindakan aksi pertolongan telah membantu pdt. Elia Ambarita dan keluarga, untuk memperbaiki rumah yang selama ini dipakai oleh gereja, milik pak haji,dan menambah fasilitas gereja. Sejak gempa mereka harus membongkar ruangan supaya lebih besar karena dengan lebih dari 100 orang setiap minggu, lebih dari 110 anak-anak Sekolah Minggu, 14 komsel, GSJA Padang tengah berkembang dan diberkati Tuhan. Kekurngan bangku mereka telah dibantu BPP sebanyak 50 unit Futuran non lipat menambah 75 kursi plastik yang mereka selama ini pakai.

a-993

50 bangku yang dibeli BPP langsung dipakai malam itu.

Bersama sebagian kecil jemaat dalam kebaktian khusus yang sifatnya dadakan.

“Jemaat yang saya layani, ada yang datang dari Sumatera, Nias, Ambon, Menado, Tionghoa, Jawa. Semakin hari saya lihat mereka makin mengasihi Tuhan. AC yang terpasang ini adalah hasil jemaat kerjasama kredit bayarnya!” jelasnya. Memang pdt. Elia dengan iman dan kesungguhannya, telah dapat membimbing jemaatnya untuk melihat bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah yang hidup.

BPP tengah mendoakan agar kita bisa membeli tanah dan bangunan sebagai tempat permanen pelayanan GSJA di sana. Untuk maksud itulah saya ada di Padang, melihat kemungkinan apakah baik kita membeli dan di mana. GSJA Padang di bawah kepemimpinan pdt. Elia Ambarita dan istri, telah membuka 4 cabang mereka di Mentawai, yang anehnya di mana 2 dari cabang mereka justru sudah memiliki gedung permanen yang kini tengah diperbaiki oleh Depsosnas GSJA. Suami istri ini mungkin tergolong gembala gereja kecil, tetapi jiwa penginjilan dan perintisan mereka yang besar telah membuat pelayanan GSJA di Padang dan Mentawai serta Bukit Tinggi (yang juga akan dibuka) lebih semarak.

a-994

Saya meminta kepada mereka untuk mendaftarkan 5 kebutuhan penting mereka yang mungkin kita bisa penuhi untuk pelayanan mereka, kemudian mereka menyebutkan tentang: 1. Bahan-bahan sekolah Minggu lengkap 4 unit, 2. Tambahan Rp. 2 juta untuk menutupi kekurangan pembelian LCD,dsb.

“Selama 2 tahun saya bekerja di hotel sederhana ini pak Budi!” sambil masuk menunjukkan kamar yang akan saya gunakan untuk menginap semalam. Saya terkejut. “Kamu bekerja di sini?”. “ya, untuk membantu hidup kami sekeluarga dalam pelayanan!” katanya. Ia memang pekerja keras – suami istri bahu membahu melayani Tuhan.

Hebat, penuh perjuangan, tetapi kini Tuhan memakai kejadian gempa untuk memaksa sekian banyak mata anak-anak Tuhan dan gereja untuk membantu pelayanan pdt. Elia. Tuhan tidak pernah berhutang, Ia membedakan mana hamba-hambaNya yang bekerja dengan sungguh-sungguh. Hati saya gembira melihat mereka diberkati dan ditolong Tuhan.

a-992

Tetangganya, engko dan encik Nyo, yang dulunya tidak suka dengan kehadiran gereja di situ kemudian menyadari bahwa hamba Tuhan ini, berbeda dari yang lain. Setelah saya bersalaman berkenalan dengan engko dan encik Nyo, encik mulai bercerita soal gempa. Kemudian engko dan encik Nyo, yang terlihat berusia di atas 60 an – membawa saya masuk ke rumah mereka yang terletak bersebelahan dengan gereja, membawa saya kesudut paling belakang, sambil bercerita dan menunjukkan bagian mana yang rusak dari rumahnya. Rumahnya sederhana – dalamnya sangat sederhana. Ia menceritakan betapa hebatnya kejadian 2009 itu, lebih dari gempa tahun 2007.

“Saya jatuh 3 kali … tidak bisa jalan! Saya berlari ke luar, melihat orang-orang jatuh dari sepeda motor di jalan, bak kamar mandinya naik dan rusak. Mengerikan sekali! Ada suara mendengung yang keras sekali waktu gempa!”, kisahnya. Sebagai orang Budha mereka menceritakan bahwa baik gereja Katolik, gereja GSJA dan juga Kongsi (sejenis perkumpulan orang Tionghoa) membantu mereka dengan sembako. Ada 165 orang Tionghoa yang tewas dalam gempa Padang 2009 -berdasarkan kabar dari Kongsi. “Saya hanya disumbang 6 biji indomie oleh Pemerintah waktu gempa terjadi. Saya sedih sekali karena kita kurang diperhatikan. Seratus rupiah saja tidak pernah kami terima sebagai bantuan.”

Encik Nyo adalah seorang ‘pejuang’ bagi keluarganya. “Suami saya tidak bekerja, jadi saya yang cari uang. Saya jualan masakan rantangan, suami saya yang antar pake motor. Tetapi sejak gempa, sekolah di mana saya sering antar makanan, saya kehilangan banyak langganan. Bayangkan pak, 650 murid sekolah itu itu pindah dari Padang sejak gempa. Maka sekarang saya hanya melayani 15 pelanggan saja. Susah sekarang.”

Mereka punya 4 anak, ada satu yang sudah menikah. Sekalipun Budha, sekalipun tergolong ‘miskin’ dan penuh perjuangan, ia membantu gereja memasakkan makanan jika ada acara khusus di gereja sebagai sumbangannya.

“Kongsi bantu kami dengan 15 sak semen dan pasir – untuk perbaiki kamar mandi. Tetapi kita harus panggil tukang sendiri. Kami belum punya uang, jadi belum bisa diperbaiki,” ceritanya. Tidak sedikitpun saya menangkap kesan bahwa ia mengharapkan apa-apa. Ia sedang berbagi cerita dengan saya sebagai ‘seorang tionghoa Padang yang menghadapi bencana gempa hebat’.

“Apa bakal habis 3 jutaan cik untuk perbaiki kamar mandi encik?” saya coba bertanya.

“Ah nggak sampe!” katanya.

Saya tidak berjanji apa-apa kepadanya. Saya meminta kesediaannya bersama engko nyo untuk dipotret, mereka bersedia. Dalam rumah dengan dapur sederhana, mereka menerima saya dan sangat terbuka. Saya menghibur mereka dengan dorongan-dorongan dan mengingatkan mereka tentang Tuhan. Mereka keluarga sederhana, tetapi hati mereka terbuka. Mereka tegar menghadapi semua kejadian, memecahkan masalah bersama sebagai suami istri, dan masih bisa berbuat baik di tengah kekurangan.

Pdt. Elia berkata, “Mereka orang baik, suatu kali mereka akan menerima kasih Yesus. Ini hanya soal waktu saja!”

Artikel oleh: December 16, 2009  Tags:   Kategori : Kesaksian  Sebarkan 

Satu komentar

  1. Garretot - December 17, 2009

    Not sure that this is true:), but thanks for a post.
    Garretot

Tulis Komentar Anda