Sekularisasi Ditinjau Kembali

sekularisasi buku sekularisasi1

Sebuah buku yang sangat mengesankan yang patut dibaca oleh mereka yang suka membaca buku-buku teologi kemasyarakatan, berjudul “Sekularisasi Ditinjau Kembali: Agama dan Politik Dewasa ini”, buku terjemahan ini dikarang oleh Pippa Norris & Ronald Inglehart. Sentuhan ilmiah dan hasil risetnya sangat menarik. Saya akan kutip beberapa poin yang mungkin akan berguna bagi kita.

Topik tentang agama dan politik adalah salah satu topik hangat dalam masyarakat, termasuk di kalangan kekristenan. Orang-orang terpecah dalam pandangan mereka soal agama dan politik.’ Fenomena keagamaan yang diluar perkiraan para sosiolog yang mewarnai dunia modern ini sulit dijelaskan apa penyebabnya. Bahkan beberapa sosiolog harus mengakui kesalahan prediksi mereka.

Selama ini asumsi yang dipakai oleh para sosiolog adalah bahwa sekularisasi akan ditandai dengan merosotnya peran agama di era modern. Sosiolog Peter Berger, yang menyunting Desecularization of the World (1996) menyatakan, “Tidak ada salahnya mengakui bahwa teori kita itu salah. Toh, kita ini sosiolog, yang kesalahannya akan lebih mudah dimaafkan dibanding kesalahan para teolog.” Pengakuan sejenis dibuat juga oleh sosiolog Inggris, Steve Bruce yang menulis buku “God is Dead: Secularization in the West (2000).

Demikian juga soal rumusan hubungan gereja dan negara. Nancy Rosenblum (2000) mengatakan “kewajiban kenegaraan” makin bergesekan dengan “tuntutan iman”. Atau dalam bahasa filsuf Robert Audi (2003) orang berusaha menyeimbangkan “komitmen keagamaan” mereka dengan “penalaran sekular” mereka.

Dalam bukunya berjudul “Public Religion in the Modern World” (1994), Jose Casanova menyatakan bahwa cara-cara baru dalam melihat sekularisasi dilakukan dengan memilah 3 unsur esensial sekularisasi:

1. Diferensiasi struktural yang terus berlangsung dalam ruang-ruang sosial, yang berakibat pada merosotnya oeran agama an partisipasi keagamaan.

2. Privatisasi agama, yang menjadikan agama tidak lagi memiliki signifikansi publik

3. Pemisahan agama dari wilayah-wilayah kehidupan lain, seperti politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan – yang disebutnya “deprivatisasi agama”.

Tetapi mengapa belakangan ini tingkat religiositas masyarakat meningkat, tidak bisa dijelaskan dengan 2 pendekatan pertama tadi. kecuali poin ketiga mungkin bisa menjelaskan sedikit mengapa demikian. Menurutnya, deprivatisasi tidak serta merta merupakan penolakan atas teori sekularisasi, karena hal itu dapat berlangsung dengan cara yang konsisten sesuai dengan prasyarat-prasyarat masyarakat modern, termasuk sistem politik yang demokratis.

Ada dua kubu besar yang perlu diketahui dalam perkembangan pandangan tentang agama dan politik yang terkait dengan isu sekularisasi:

1. Kubu dengan Teori Sekularisasi Klasik (TSK) – rumusan awalnya diberikan oleh Saint-Simon dan August Comte yang memandang bahwa modernitas dan agama tidak mungkni bersatu – they just don’t mix! Lalu para bapak ilmo sosial modern seperti Karl Marx, Emile Durkheim dan Max Weber – sepakat bahwa era agama sudah lewat. Di abad ke 20, teori sekularisasi bercampur dengan teori modernisasi: makin modern masyarakat, makin kompleks penataan hidup mereka, makin rasional dan individual mereka, dan makin ‘less religious” keadaan mereka. Sebagai contoh, ketika doa sudah digantikan oleh konsultasi dokter dsb.

max-weber

Max Weber

Tetapi yang masih diperdebatkan juga mungkinkah agama tidak mati tetapi hanya mengalami transisi seperti yang terjadi pada era reformasi tahun 1500-an? Pertanyaan lainnya adalah jika benar bahwa sekularisasi diakibatkan modernisasi, maka kita berharap menemukan korelasi kuat dan langsung antara dimensi-dimensi modernisasi (seperti urbanisasi, industrialisasi, rasionalisasi, dst.) dengan indikator-indikator sekularisasi (misalnya menurunnya partisipasi agama) disepanjang waktu dan tempat.

2. Kubu dengan Model Ekonomi Agama (MEA). Diinspirasikan oleh ekonomi neoklasik, MEA menekankan sisi penawaran agama: “vitalitas agama” berhubungan dengan “regulasi agama”. Ringkasnya: dimana “pasar agama” didominasi sedikit “perusahaan” (institusi agama) besar atau banyak “diregulasi” negara, yang terjadi adalah tumbuhnya “perusahaan” agama yang geraknya lamban.

Sejak 1980-an para pendukung MEA  mempelajari hubungan antara pluralisme dan vitalitas keagamaan di Amerika Utara, dan umumnya menemukan hubungan positif di antara keduanya. Vitalitas ini tidak bisa dijelaskan kecuali dengan melihat keragaman organisasi-organisasi agama, kompetisi di antara organisasi-organisasi itu, kebebasan beragama, dan pemisahan yang tegas antara agama dan negara. Mereka juga mengatakan bahwa denominasi-denominasi yang mainstream dan usianya lebih tua di Amerika Utara, seperti katolik dan Episkopal, terus ditantang oleh gereja-gereja Injili yang menuntut lebih banyak energi dan waktu dari para anggotanya, tetapi juga menawarkan produk keagamaan yang lebih menarik.

Dewasa ini, TSK mewakili sosiologi agama Eropah dan MEA mewakili sosiologi agama Amerika Utara.

Pippa Noris dan Ronald Inglehart yang mengajar di Harvard University dan Michigan, dua pusat kajian sosial termaju diAmerika Utara yang telah menghasilkan banyak karya, keduanya melaporkan hasil survey mereka atas 80 masyarakat di berbagai belahan dunia, mengenai hubungan antara apa yang mereka sebut sebagai keamanan eksistensial (existential security) dengan sekularisasi.

Data-data mereka menunjukkan bahwa kelompok masyarakat dunia yang hidup sehari-harinya dipengaruhi oleh ancaman kemiskinan, penyakit, dan kematian dini, tetap religius sekarang sebagaimana mereka religius seabad yang lalu. Artinya mereka tetap bertahan religius dalam jangka waktu yang lama. Mereka juga mengalami pertumbuhan penduduk yang cepat

Sedangkan masyarakat yang kaya menjadi semakin sekular dan jumlah mereka cenderung merosot. , tetapi dunia secara keseluruhan makin religius. Ini akibat pertumbuhan penduduk yang jomplang. Selain itu, kedua, jurang makin menganga di antara sistem-sistem nilai yang dianut di negara-negara kaya dan hal yang sama yang ditemukan di negara-negara miskin, yang menjadikan perbedaan-perbedaan agama meningkat signifikansinya.

Jonathan Fox menuliskan sebuah buku dengan judul “A World Survey of Religion and the State (2008), buku tersebut merupakan hasil dari analisistrehadap data agama dan negara yang disusun sejak 1990 hingga 2002 yang mencakup 175 negara. Hasilnya adalah bahwa menurut Fox, secara umum masyarakat dunia semakin religius.

Artikel oleh: December 2, 2009  Tags:   Kategori : Artikel  Sebarkan 

Satu komentar

  1. Bottomless - December 4, 2009

    http://www.gsja.org – da best. Keep it going!
    Thanks
    Bottomless

Tulis Komentar Anda