Mensiasati Munculnya RUU Jaminan Produk Halal Menjadi Undang-undang

(sumber:http://www.pgi.or.id/berita.php?news_id=244)

a-100

Oleh beberapa kalangan, RUU JPH dinilai cacat hukum karena dalam proses pembahasan RUU tersebut oleh Komisi VIII DPR RI tidak transparan dan tidak melibatkan semua pihak secara maksimal.

Menyikapi hal itu, Jumat (6/8), Jaringan Indonesia Raya (JIRA), menggelar diskusi terbatas dengan topik Merespon RUU Jaminan Produk Halal di Ruang Sidang PGI, Jalan Salemba Raya 10 Jakarta Pusat, dengan menghadirkan tiga pembicara yakni Aldentua Siringo Ringo (Tim Hukum PGI), Daniel Yusmic P.FoEkh, (LePAS 10) dan Maruli Silaban (JIRA).

Dalam diskusi yang dimoderatori oleh Gabarel Sinaga (JK-LPK), terungkap bahwa pemerintah merasa perlu membuat Undang-Undang JPH ini karena beberapa alasan diantaranya; untuk melaksanakan kemerdekaan beribadat menurut agamanya, maka Negara wajib menjamin kehalalan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologik, dan produk rekayasa genetika. Serta menganggap bahwa peraturan mengenai kehalalan produk yang tersebar di berbagai perundang-undangan dianggap belum menjamin kepastian hukum atas tersedianya produk halal yang dikonsumsi masyarakat.

Dalam RUU JPH ini juga memberikan kewenangan pada MUI sebagai penentu Fatwa yang menyatakan halal atau tidaknya suatu produk. MUI juga mengklaim sebagai pihak yang berhak mengeluarkan sertifikasi halal, bukannya pemerintah. Tugas pemerintah hanya sebatas mengeluarkan peraturan sedangkan sertifikasi halal menjadi kewenangan MUI.

Beberapa pihak memiliki pandangan beragam dalam menanggapi tentang perlu tidaknya RUU JPH ini disusun. Semisal, Badan Pengawasan, Obat, Makanan dan Minuman (BPOM). Meskipun tidak dapat berkomentar mengenai perlu atau tidaknya RUU JPH, lembaga ini menganggap undang-undang yang sudah ada saat ini dirasa sudah cukup.

Di lain pihak Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai proses pembahasan RUU JPH yang tertutup membuat polemik halal ini tidak berujung. Ada kepentingan yang mendriven di balik kepentingan publik dan ini harus dilawan. Selain itu motif RUU JPH jelas lebih bernuansa ekonomi ketimbang motif melindungi umat.

Sementara itu, dalam pernyataannya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) meminta agar RUU JPH ini ditinjau dan dihentikan pembahasannya di DPR RI karena Indonesia bukan negara agama dan Indonesia terdiri dari beragam etnik agama, maka itu akan bersinggungan dengan rasa keadilan dan HAM. Selain itu hukum agama harus dipisahkan dari hukum negara. Jika tidak, maka akan melahirkan diskriminasi yang pada gilirannya dapat merusak kebhinnekaan yang damai dan harmonis di Indonesia.

Ditambahkan pula bahwa negara bertugas melindungi hak-hak semua warga negara, termasuk menjamin kebebasan beragama dan menjalankan ibadahnya masing-masing sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 dan 29. Tetapi jaminan itu tidak mengharuskan negara memproteksi secara berlebihan terhadap agama tertentu. Biarlah soal menjalankan agamanya menjadi urusan masing-masing penganut agama dengan Tuhannya, dilaksanakan dengan kerelaan dan bukan dengan pengaturan hukum yang diatur oleh negara.

Menurut Aldentua Siringoringo, dalam membaca dan memahami UUD 1945 tidak cukup hanya dengan membaca teks saja tetapi kita harus memahami suasana kebatinan ketika UUD 1945 itu dibuat. ?Demikian juga halnya dengan Undang-Undang, ketika kita membaca UU Pornografi tidak ada hal-hal yang menakutkan di dalamnya. Tetapi, ketika di balik UU Pornografi ternyata menjadi payung hukum bagi semua perda bernuansa syariah maka itulah yang menjadi persoalannya. Dengan kata lain kita harus paham apa yang ada di balik sebuah Rancangan Undang-Undang,? katanya.

Ditambahkan, dalam hal melakukan advokasi untuk menghalau disahkannya RUU JPH ini perlu diperhatikan beberapa prinsip, seperti selektif, sitematis, taktis, strategis, dan keberanian untuk melaksanakannya dalam upaya menghalau disahkannnya RUU. ?Sejauh mana gereja-gereja merespon terhadap RUU bernuansa syariah dan upaya preventif apa yang dilakukan gereja agar RUU bernuansa syariah tidak diloloskan menjadi Undang-Undang?? jelas Aldentua.

Oleh sebab itu, menurutnya upaya untuk mengadvokasi para pendeta mengenai persoalan RUU JPH ini menjadi penting dilakukan agar para pemimpin gereja dapat mensosialisasikannya kepada jemaat melalui kotbah mereka dan menyuarakannya kepada pemerintah. ?Kekhawatiran yang timbul kemudian apabila RUU syariah diloloskan menjadi Undang-Undang adalah bahwa akan makin banyak bermunculan kebijakan-kebijakan syariah lainnya yang tidak bisa dikawal dan diawasi masyarakat,? tambahnya.

Aldentua juga melihat, RUU JPH diskriminatif dan apabila disahkan nantinya menjadi Undang-Undang dapat mengganggu hak asasi umat lainnya, untuk itu RUU JPH tidak perlu dibuat.

Sementara itu, Daniel Yusmic P.FoEkh berpendapat, suatu Undang-undang apabila dipaksakan di dalam masyarakat yang majemuk maka dapat menimbulkan masalah di kemudian hari. ?Sebuah RUU itu harus transparan dalam pembuatannya dan melibatkan partisipasi masyarakat,? tandasnya.

Menurut Yusmic, faktor agama masih sangat dominan dalam proses pembentukan dan perkembangan hukum di Indonesia berbeda dengan di negara modern yang mana pengaruh agama mulai berkurang pengaruhnya.

(Markus Saragih)

Artikel oleh: September 19, 2009   Kategori : Umum  Sebarkan 

Tulis Komentar Anda