Seorang Gembala Sidang (1)

a-11

Budi Setiawan, M.Div

“Mana lebih menantang, menjadi seorang penginjil keliling atau menjadi seorang Gembala Sidang?”, teman satu almamater bertanya kepada saya. Saya segera menjawab dengan afirmasi, “Gembala Sidang!”

Tentu saja tak semua orang akan setuju dengan pernyataan saya tadi. Mereka yang merasa diberikan karunia untuk bepergian dan berkotbah keliling ke berbagai tempat, daerah dan kota, tentu akan berkata bahwa pekerjaan yang lebih menantang adalah menjadi ‘penginjil!”. ‘Penginjil’ yang saya maksudkan adalah sebagaimana dipersepsikan oleh kebanyakan orang yaitu seorang yang bepergian untuk berkotbah terutama dalam kebaktian-kebaktian khusus atau Kebaktian Kebangunan Rohani maupun seminar-seminar.

Untuk menjadi seorang Pengkotbah keliling butuh kemampuan tertentu, terutama kecakapan berbicara, keberanian iman yang tinggi, kemampuan untuk beradaptasi dengan kelompok yang berbeda-beda, tentu saja tidak dilupakan – kelugasan dalam kotbah-kotbahnya tanpa takut dengan akibat-akibat kotbah yang bisa ditimbulkannya, dan “kemampuan” untuk berpisah dari keluarga dalam waktu yang relatif tidak sebentar.

Masih ada hal-hal lainnya yang dibutuhkan, tapi secara umum hal-hal yang sudah saya sebut di atas itulah yang menandai keberadaan seorang Penginjil keliling. Resiko menjadi seorang Penginjil tidaklah mudah. Berpisah dengan keluarga untuk kurun waktu tertentu bisa membawa masalah baik bagi diri sendiri, terutama bagi keluarga. Yang sering dijumpai adalah bahwa ketika anak membutuhkan ayahnya, ayahnya justru sedang bepergian. Sewaktu ayahnya berkurang kegiatan pelayanan keliling, ia mendapati anak-anaknya sudah besar dan tak bisa didekati seperti waktu mereka kecil. Walaupun anak-anak seorang gembala juga dapat menghadapi persoalan yang sama, tetapi cukup dimengerti bahwa persoalan ini umumnya dihadapi keluarga para Penginjil. Keluarga seorang Penginjil dapat mengalami kemelut dalam pembinaan anak-anak karena anak-anak kehilangan figure ayah atau ibu, kehilangan figure otoritas akibat terlalu sering ditinggal.

Itu hanya sebagian pengorbanan mereka yang terpanggil menjadi penginjil yang berkeliling kemana-mana. Tanpa mereka Injil tidak bisa masuk ke tempat-tempat yang sulit, dan tidak secepat sekarang ini dalam penyebarannya. Jasa mereka besar!

Saya tak membahas segi-segi lainnya yang juga perlu disorot dari seorang Penginjil atau Pengajar, dan lainnya. Saya ingin kembali kepada pokok yang terus menerus menghangatkan hati pikiran saya yaitu tentang Seorang Gembala Sidang.

Saya menjalani pelayanan sebagai Gembala sejak1994 ketika saya dan Rini – istri saya, kembali dari Filipina setelah menyelesaikan pendidikan di Asia Pacific Theological Seminary. Saya mulai dipercayakan menjadi seorang Gembala Sidang di salah satu kebaktian di Charismatic Worship Service, jl. Senen Raya 46, Jakarta. Menjadi Gembala di salah satu kebaktian tidaklah cukup untuk merasakan seluruh aspek penggembalaan yang sebenarnya. Mungkin saat itu lebih tepat dikatakan sebagai ‘manager kebaktian’, bukan sebagai ‘gembala’. Yang paling membedakan dengan penggembalaan yang sesungguhnya adalah bahwa kita tidak memiliki otoritas untuk menentukan ke arah mana domba-domba ini harus diarahkan. Peran eksekutor lebih kuat dari peran visionary dalam kepemimpinan jenis itu.

Pelajaran terbesar tentang menjadi seorang Gembala Sidang saya peroleh ketika kami menggembalakan sidang di GSJA CWS Medan selama kurang lebih sembilan tahun, yang dilanjutkan dengan penggembalaan di GSJA CWS Kelapa Gading, Jakarta sampai saat ini. Saya memiliki impian-impian sebagaimana kebanyakan Gembala Sidang memilikinya. Ada yang sudah terwujud ada yang belum. Sampai hari ini, perjalanan penggembalaan itu tetap menyenangkan sekalipun tidak sedikit tantangan yang harus kami hadapi. Memiliki impian itu mudah, tetapi memelihara ketekunan untuk mencapai impian kita, sungguh bukan pekerjaan yang mudah.

Kali ini, saya tak berasumsi bahwa pengalaman dan pandangan yang akan saya kemukakan di sini tentang menjadi Gembala Sidang sudah lengkap serta komprehensif. Mengingat usia pelayanan seseorang sangat menentukan kematangan dan keajegan pandangannya maka saya harus menyatakan dulu di awal tulisan ini bahwa semua ini masih harus diuji dalam pengalaman saya sendiri. Suatu kali nanti, mungkin saja saya akan menuliskan pengalaman saya dengan cara yang berbeda.

Sampai saat ketika tulisan ini dibuat, seluruh pengertian dari ‘gembala’ atau ‘poimen’ dalam bahasa Yunani, yang berimplikasi praktis “memelihara dan merawat” adalah pergumulan yang tidak gampang diatasi maupun dilakukan. Bukan karena kita memiliki panggilan yang berbeda selain penggembalaan, tetapi lebih dikarenakan spektrum pelayanan menjadi gembala adalah sangat luas dan sangat menantang. Jika bisa dikatakan bahwa untuk menjalankan fungsi sesungguhnya sebagai gembala adalah seperti menyediakan diri dan menghabiskannya tanpa sisa dan tanpa ampas. Jika anda berhasil sebagai gembala, anda menjadi orang yang paling bahagia. Tetapi jika anda gagal sebagai gembala sidang, anda benar-benar luka berat bahkan dalam beberapa hal ‘mematikan’.

Saya tidak menakut-nakuti! Saya mengatakan yang sebenarnya. Begitu banyak gembala yang terluka dalam pelayanan, yang kemudian benar-benar menjadi manusia yang ‘berbeda’. Mereka telah mati dari gairah menjadi orang yang baik, lurus, sabar dan adil. Mereka berubah menjadi ‘petarung’, kehilangan kesabaran, penuh kemarahan, bahkan tidak jarang berakhir dalam pertentangan yang hebat.

(berlanjut …)

Artikel oleh: August 18, 2009  Tags:   Kategori : Artikel, Artikel Gembala Sidang  Sebarkan 

Tulis Komentar Anda