Pernyataan tentang Keputusan Mahkamah Agung tentang Pernikahan Sesama Jenis

Pernyataan Mengenai  Keputusan Mahkamah Agung  

tentang Pernikahan Sesama Jenis

 

by  GEORGE O. WOOD    on 26 June 2015

(diterjemahkan  oleh Antonius Mulyanto)

 Adam dan Hawa

Hari ini adalah hari yang Menyedihkan  bagi  Amerika.

Di Obergefell v. Hodge, secara mayoritas 5-4 Mahkamah Agung memutuskan:

Amandemen Keempat belas mewajibkan suatu Negara Bagian untuk meresmikan pernikahan di antara dua orang yang sama jenis kelaminnya dan mengakui pernikahan di antara dua orang sesama jenis  ketika pernikahan mereka resmi secara hukum dan dilakukan di luar negara bagian.

Sebagai seorang hamba Tuhan Kristen dan Ketua Umum Gereja Sidang Jemaat Allah di Amerika, Saya sangat prihatin terhadap pemberian definisi baru tentang pernikahan oleh Mahkamah Agung dan efek-efek negatif yang dapat ditimbulkan dalam kebebasan beragama.

Alkitab, Pernikahan dan Kebebasan Beragama

 

Alkitbab memberi maka pernikahan semata-mata sebagai penyatuan seorang pria dan seorang wanita (lihat sebagai contoh: Mat 19:4-6; Mrk 10:5-9; bandingkan Kej 1:27-28; 2:20-24; Ef 5:21-32).  Bukan hanya itu, Alkitab melarang hubungan sesama jenis (Rm 1:26-27; 1 Kor 6:9 ; 1 Tim 1:10 ; bnd Im 18:22, 20:13).  Ketika berbicara tentang hubungan sesama  jenis,  Alkitab melarang apa yang diperbolehkan oleh Mahkamah Agung.

Sebagai orang-orang Kristen, jemaat GSJA berkeyakinan bahwa Alkitab menentukan apa yang kita percaya dan bagaimana kita berprilaku.  Doktrin Dasar GSJA menyatakan demikian: “Alkitab  adalah pedoman yang cukup lengkap bagi iman dan perbuatan.” Dan “Alkitab, Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, keduanya diilhami secara verbal oleh Allah dan merupakan wahyu Allah bagi manusia, tak berkesalahan, pedoman yang berotoritas bagi iman dan prilaku. (penekanan ditambahkan).

Definisi pernikahan berlandaskan Alkitab dan pemahaman mengenai moralitas seksual membentuk apa yang Tata Gereja dan Peraturan Rumah Tangga tetapkan sebagai standard bagi pendeta penuh, selaras dengan refleksi dalam risalah GSJA mengenai homoseksualitas, dan menyediakan pertimbangan rasional bagi pola tingkah laku para pemimpin organisasi, organisasi yang berafiliasi, dan sekolah tinggi serta universitas.

Saya bersyukur bahwa  dalam kepustusan Mahkamah Agung  ada pengakuan bahwa penentangan kita terhadap hubungan dan  pernikahan sesama jenis lahir dari “Iman yang baik” bukan dari itikad buruk.  Akan tetapi, saya sangat prihatin, mengenai bagaimana pengadilan akan menutuskan ketika undang-undang dan peraturan pemerintah yang merefleksikan pemberian definisi baru tentang pernikahan konfliks dengan standar tingkah laku Alkitabiah kita.

 

  • Apakah peraturan tentang akomodasi umum akan diterjemahkan untuk mewajibkan gereja –gereja GSJA untuk menyewakan tempat ibadah mereka untuk pernikahan sesama jenis jika mereka juga menyewakannya untuk pernikahan seorang pria dengan seorang wanita?
  • Apakah pendeta GSJA akan diwajibkan untuk memberkati pernikahan sesama jenis?
  • Apakah pemimpin Sekolah tinggi dan universitas GSJA akan diwajibkan untuk menerima pelajar yang menikah sesama jenis walaupun bertentangan dengan tata tertib sekolah?
  • Apakah sekolah-sekolah kita akan tetap mendapatkan pinjaman dan bea siswa bagi pelajar jika tata tertib sekolah melarang hubungan sesama jenis?
  • Apakah oraganisasi GSJA yang menyediakan konseling psikologis, pelayanan adopsi dan pelayanan-pelayanan lain yang membutuhkan sertifikasi professional akan dicopot sertifikasinya jika mereka berdasarkan iman menentang hubungan dan pernikahan sesama jenis?
  • Apakah oraganisasi GSJA akan kehilangan pengecualian pajak karena penentangan terhadap hubungan dan pernikahan sesama jenis karne preseden Bob Jones?

 

Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini berdasarkan Amndemen Pertama seharusnya secara tegas “Tidak!”  Akan tetapi, dalam argumentasi  lisan mengenai Obergefell di hadapan Mahkamah Agung, jaksa agung muda Donald B. Verrili sendiri mengakui, ketika ditanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti ini:

“Saya tidak berpikir bahwa  saya dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut tanpa mengetahui secara lebih specifik, tetapi pasti akan menjadi issue.  Saya tidak menyangkalinya, saya tidak menyangkalinya . .. ini pasti akan menjadi issue.”

Dan itulah keprihatinan saya yang terdalam.  Walaupun seharusnya tidak pernah terjadi, kebebasan beragama  itu sendiri akan menjadi issue.  Dalam cara ini, keputusan Mahkamah Agung yang disebut “kesetaraan pernikahan”akan dipakai sebagai batasan untuk mempersempit cakupan dan memperlemah perlindungan yang diusahakan atas dasar kebebasan beragama yang dijaminkan kepada warga Negara Amerika oleh Amandemen Pertama.  Tidak ada orang beragama – Kristen, Yahudi, Muslim, dll – dapat memandang kemungkinan tersebut sebagai kabar baik.  Seharusnya, tidak ada orang Amerika yang cinta kebebasan  akan mamandangnya sebagai kabar baik.

 

Sebuah Perebutan Kekuasaan Pengadilan Secara Politis

 

Sebagai  orang Amerika,  saya percaya bahwa keputusan ini mewakili sebuah perebutan kekuatan politis.  Pendukung pernikahan sesama jenis senang sekali menarik analogi di antara gerakan mereka dengan gerakan pembebasan perbudakan dan Gerakan kesamaan hak sipil.  Analagi tersebut keliru, tetapi memang menjadi rujukan kuat bagi kasus ini.

Sementara  pembebasan perbudakan dan hak sipil diperjuangkan secara demkoratis dengan melakukan amandemen terhadap konstitusi Amerika di tahun 1860 dan meluluskan  pengesahan hak sipil secara nasional tahun 1960; pernikahan sesama jenis diperjuangkan secara demokratis hanya di 11 negara bagian dan daerah Columbia.  Pernikahan sesama jenis dipaksakan di 39 negara bagian dan seluruh wilayah negara Amerika oleh pengadilan negara bagian dan federal yang menjungkirbalikkan perjuangan demokratis tentang definisi pernikahan sebagai penyatuan seorang pria dan seorang wanita.

Saya tidak dapat menolong tetapi berpikir bahwa ini adalah suatu cara yang tidak menolong untuk menyelesaikan konfliks plitis, social dan moral yang memecah belah orang Amerika.

 

Kata-kata Penutup Berupa Nasihat

Saya menutup dengan tiga perkataan nasihat penggembalaan:

Pertama-tama, kepada pendeta GSJA: Politik merelfleksikan kebudayaan, dan kebudayaan mereleksikan agama.  Jika saudara peduli terhadap arah politis kebudayaan Amerika, khotbahkanlah Injil!  Ketika menyentuh kehidupan orang percaya, benih Injil akan mengubahkan hati dan pikiran.

Kedua, kepada jemaat GSJA: Saudara adalah warga kehormatan dari suatu negara yang diberkati.  Pergunakan kewarganegaraan saudara sebaik-baiknya!  Perjuangkanlah kebaikan bersama.  Belalah orang-orang yang terbelakang, terhilang dan terlemah.  Perkatakanlah kebenaran dalam kasih.  Dan pilihlah calon-calon dan issue-issue yang merefleksikan perspektif Alkitab terhadap berbagai issue.  Perbedaan di antara banyak konfliks dalam politik Amerika dan kebudayaan dipengaruhi oleh siapa yang mempergunakan hak pilihnya.

Ketiga, kepada segenap orang Kristen: jika Saudara terganggu dengan keputusan Mahkamah Agung, milikilah perspektif yang sehat!  Dalam perkara ini dan berbagai perkara lain, ingatlah selalu perkataan-perkataan Tuhan Yesus Kristus:

Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia (Yoh 16:33).

Marilah kita berdoa bagi kebangunan rohani besar terjadi di  Negara kita!

Kiranya Tuhan memberkati Saudara secara berlimpah hari ini dan setiap hari!

 

George O. Wood

Ketua Umum BPP GSJA di Amerika

Artikel oleh: July 1, 2015   Kategori : Umum  Sebarkan 

Tulis Komentar Anda