Perjalanan misi ke Sulbar 13-17 April 2015

Sunjaya

By Sunjaya Wijaya

Pada Hari Jumat Pk. 17.00 pesawat Wings Air mendarat di Bandara Tampa Padang, Mamuju.  Saya segera mengambil bagasi dan keluar dari bandara.  Tidak lama kemudian sebuah mobil Captiva diparkir tidak jauh dari warung tempat saya minum teh dan makan ubi goring.  Rev Tim Eckert dengan anaknya TJ, Pdt. John Ingatum dan Pdt. Deivi C. Supit keluar dari mobil menemui saya.

Kami segera tancap gas menuju Desa Lumika.  Sebelum tiba di Lumika kami mampir ke Desa Salueno dan bertemu dengan beberapa keluarga yang berkomitmen untuk mendukung perintisan gereja baru di Salueno. Ada seorang ibu tua yang menyatakan bersedia menghibahkan tanahnya untuk gereja. kami tiba di Lumika  PK. 22.00.

2. Di depan GSJA Lumika                   Di depan GSJA Lumika

                  3. Pdt. Henokh gembala sidang GSJA LumikaPdt. Henokh gembala sidabg GSJA Lumika

Jemaat GSJA Agape, Lumika telah menyiapkan makan malam. Kami makan sop ayam kampung asli yang maknyuss, eunak tenan.  Setelah makan kamipun masig-masing pergi ke peraduan. Hari Rabu pagi setelah sarapan pagi, kami berangkat menuju Kota Kalumpang.  Perjalanan menuju Kalumpang diiringi dengan musik dari batu-batu yang melejit menghantam kerangka mobil    Captiva.  Aroma bau karet ban yang ber-gesekkan dengan batu-batu jalanan sesekali memenuhi ruangan mobil.  Ketidaknyamanan ini tidak mengha-langi kami untuk menikmati indah-nya panorama khas pegunungan Sulawesi Barat.  Kami melewati belasan sungai kecil tanpa jem-batan.  Untung-nya tidak ada hujan yang besar sehingga kedalaman air sungai masih memungkinkan untuk diseberangi mobil.  Sekitar PK. 09.00  kami tiba di Kota Kalumpang.   Kami menuju rumah seorang bapak polisi yang bernama Daniel.  Bapak Daniel dan istrinya sangat mendukung rencana untuk membuka perintisan gereja di Kalumpang.  Keluarga Bpk. Daniel sudah menyiapkan daging rusa goreng dan sop rusa. Kamipun tak kuasa menolak.  Kapan lagi bisa merasakan daging rusa.

Kami merencanakan hari itu akan mengunjungi tiga tempat, yaitu : Batu Isi, Saluleke dan Makaliki.  Kami memutuskan untuk ke Batu Isi, lalu Saluleke, kemudian kembali ke Kalumpang.  Setelah itu baru ke Makaliki dan bermalam di sana.  Untuk mencapai tiga tempat ini kami harus naik sepeda motor.  Karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan untuk dilalui dengan mobil.  Kami menyewa 3 buah sepeda motor.  Satu sepeda motor dengan pemuda setempat yang menjadi ojeknya.  Dua sepeda motor lainnya dibawa sendiri oleh anggota tim.

6. Kami naik empat sepeda motor11. Pdt. Deivi masih tetap semangat sekalipun sempat jatuh dari sepeda motor

Pdt. Deivy C. Supit (Ketua Wilayah) masih tetap semangat sekalipun sempat jatuh dari sepeda motor

12. Rev. Tim Eckert tidak kapok sekalipun jatuh dua kali dgn sepeda motorRev. Tim Eckert tidak kapok sekalipun jatuh dua kali dgn sepeda motor

13. Pdt. John Ingatum masih bisa tertawa sekalipun memar-memar karena jatuh empat kali dengan sepeda motorPdt. John Ingatum masih bisa tertawa sekalipun memar-memar karena jatuh empat kali dengan sepeda motor

Kondisi jalan yang ekstrem mulai memakan korban. Satu persatu anggota tim mulai berjatuhan.  Tangan dan kaki mulai lecet-lecet karena berciuman dengan batu dan lumpur jalan.  Setelah menempuh perjalanan selama dua  jam, akhirnya kami tiba di  Batu isi.  Di Batu Isi ada tempat ibadah GSJA yang sudah tidak digunakan lagi untuk ibadah.  Oleh karena pelayan Injil yang dulu melayani di Batu Isi sudah pindah ke Saluleke.  Beberapa keluarga yang dulu tergabung dengan GSJA masih menantikan adanya pelayan Injil yang akan membuka kembali gereja di Batu Isi.

Dari Batu Isi kami meneruskan perjalanan ke Saluleke. Di tengah perjalanan kami melewati jalan yang baru saja longsor. Untung ada Yudha anak Bpk. Daniel, polisi di Kalumpang yang menjadi ojek. Dia dengan cekatan membawa motor satu persatu melewati bagian jalan yang longsor.

14. Kami di depan gedung gereja GSJA di Desa Saluleke.

Kami bersyukur sekalipun jatuh beberapa kali dari sepeda motor, tidak ada yang mengalami luka yang serius.  Akhirnya kami tiba di Saluleke sekitar PK. 13.30.  Pdt. Alfons, gembala perintis disana sudah menyi-apkan kelapa muda dan makan siang untuk kami.  Setelah kami makan siang dan berdoa kami kembali ke Kalumpang.  Matahari sudah hampir terbenam saat kami tiba kembali di Kalumpang.

Belajar dari pengalaman perjalanan ke Saluleke, kami memutuskan untuk menye-wa tukang ojek yang akan membawa kami ke Desa Makaliki. Sore itu kami menda-pat dua tukang ojek yang bersedia mengantar kami ke sana.  Saya dan Bpk. Aris berangkat sore itu, sementara anggota tim yang lainnya tinggal dan bermalam di Kalumpang.

Setelah menempuh perjalanan selama hampir 2 jam dengan sepeda motor tanpa lampu, yang hanya mengandalkan lampu senter di kepala tukang ojek, kami tiba di Desa Mariri.  Jarak dari Desa ini ke Desa Makaliki sekitar 5 KM.  Tukang ojek mengusulkan untuk kami bermalam di Desa itu dan besok pagi baru melanjutkan lagi perjalanan.  Karena kondisi jalan dari tempat itu ke Makaliki lebih berbahaya, apalagi hanya mengandalkan lampu senter kepala untuk menerangi jalan.  Saya dan Bpk. Aris memutuskan untuk berjalan kaki menuju Desa Makaliki. Setelah berjalan mendaki 1,5 jam akhirnya kamipun tiba di Desa Makaliki.   Malam itu kami bermalam di rumah Bpk. Jeremias, salah satu tokoh masyarakat di Desa itu yang sangat men-dukung ren-cana perintisan gereja di desanya.

15. Pemandangan di desa Makaliki16. dari kanan Bpk. Jeremias, istri kedua anaknya dan menantunya Bpk. Aris17. Ketiga dari kiri, Sdr Krismanto pemuda setempat yang adalah mahasiswa sekolah Alkitab GSJA di Palu

Bpk. Jeremias adalah mertua dari Bpk. Aris yang bersama-sama dengan saya dari Kalumpang ke Makaliki.  Malam itu kami makan jagung rebus dengan kacang yang lezat yang ternyata hanya sebagai hidangan pembuka yang diikuti dengan sop ayam kampung yang bukan saja enaak pool, tetapi juga menghangatkan tubuh kami.  Malam itu kami berbincang-bincang dengan Bpk. Jeremias. Pria yang berusia 66 tahun ini selain tokoh masyarakat yang pernah menjabat sebagai anggota dewan, juga dikenal sebagai pemimpin rohani di desanya.  Beberapa kali beliau meng-utarakan kerin-duan hatinya untuk mema-jukan pemberitaan Injil di daerahnya. 

Malam itu saya tidur sekitar PK. 23.00.  Keesokan harinya dalam sarapan pagi, Bpk. Jeremias mengutarakan niatnya untuk menghibahkan tanah seluas 10 hektar kepada gereja.  Di atas tanah itu selain akan dibangun geduang gereja, juga akan ditanami tanaman-tanaman yang hasilnya dapat digunakan untuk mendukung pekerjaan Tuhan.  Mendengar hal itu semua rasa capek, pegal linu ditambah resikonya rasanya sudah terbayar semua.

Pagi itu saya juga bertemu dengan Sdr. Krismanto, pemuda dari desa setempat yang sementara kuliah Sekolah Theologia milik GSJA di Palu.  Kebetulan dia sedang pulang di desanya karena papanya baru saja meninggal. Saya menantang pemuda ini untuk kembali dan melayani di daerahnya setelah dia menamatkan studinya.  Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, pepatah ini rasanya co-cok dengan apa yang saya alami hari itu.  Sudah dijan-jikan tanah ada calon               perintisnya, ditam-bah dukungan dari beberapa keluarga yang bersedia menjadi jemaat mula-mula.

Pagi itu kami turun dari Desa Makaliki dengan sepeda motor dan tiba di Kota Kalumpang PK. 10.00.  Dari Kalumpang kami segera meneruskan perjalanan dengan mobil Captiva menuju sebuah gereja lokal di SP 1, sebuah perkebunan kelapa sawit. Pdt. Nixon perintis di Mamasa tidak ikut ke SP 1. Ia kembali ke tempat pelayananya dengan sepeda motor. Kami tiba di gereja lokal yang digembalakan oleh Pdt. Yusuf pada PK. 18.00.  Setelah menyantap makanan yang disediakan oleh ibu gembala setempat, kami menuju dermaga milik perusahaan kelapa sawit itu dan menghabiskan malam kami disana memancing ikan.

Hari Kamis siang kamipun berpisah, Rev. Tim Eckert dan anaknya TJ kembali ke Palopo. Pdt. Deivi Supit dan Pdt. John Ingatum ikut dengan mobil Captiva sampai Kota Mamuju.  Saya naik bis menuju kota Palu.

Saya bermalam di rumah milik keluarga istri di Palu.  Hari Jumat pagi Pdt. Dennis Wololi menjemput saya di rumah keluarga lalu membawa saya untuk mengunjungi sebuah perintisan di Kota Palu yang dirintis oleh PI. Ebit Hambuako.  Dalam perjalanan menuju tempat itu kami sempat mengkuatirkan kelanjutan dari perintisan itu.

Ternyata, kami mendapat khabar yang melegakan kami dari PI. Ebit Hambuako.  Pemilik dari rumah yang dikontrak selama ini untuk ibadah, baru saja memberitahukan kepada PI. Ebit bahwa ia mempersilakan rumahnya untuk dipakai sebagai tempat ibadah tanpa harus membayar sewa kontraknya. Waw suatu terobosan sedang terjadi dalam pekerjaan Tuhan. Kami mendoakan istri dari PI Ebit yang sedang menantikkan saat-saat untuk melahirkan.

Saya mengatakan kepada PI. Ebit bahwa persitiwa ini yang akan membuat dia dan jemaat yang dipimpinnya bertumbuh dalam iman.  Jangan bergantung kepada organisasi, bergantung dan berharaplah kepada Tuhan. Haleluyah !!

 

Catatan :

Ada lebih dari 20 tempat di SULBAR yang sangat terbuka untuk perintisan gereja baru.  Beberapa sudah ada yang bersedia untuk menghibahkan tanahnya untuk gereja.  Hanya kendalanya adalah kurangnya tenaga perintis yang akan melayani daerah-daerah ini.  Kami menyarankan untuk segera dibuka sekolah misi di Mamuju untuk mencetak tenaga-tenaga perintis yang melayani di daerah-daerah ini.

Artikel oleh: May 5, 2015   Kategori : Umum  Sebarkan 

Tulis Komentar Anda