Orang Yang Berbahagia

Bacaan Alkitab: Amsal 19

“Kekayaan menambah banyak sahabat, tetapi orang miskin ditinggalkan sahabatnya”
(Amsal 19 : 4)


Lydia, di negara yang saat ini bernama Turki. Kota itu membanggakan rajanya yang terkaya di dunia, yakni Croesus. Solon, filsuf besar itu?yang sangat menjaga jarak terhadap semua barang dunia ini?memutuskan untuk mengunjungi raja yang tampaknya menemukan kebahagiaannya di dalam kekayaan. Ketika ia sampai disana, Croesus memperlihatkan kepadanya lemari-lemari besinya, tempat menyimpan harta kekayaannya. “Bagaimana pendapatmu tentang semua itu?” Tanya sang raja dengan bangga. Tetapi Solon tetap diam, maka raja itu meneruskan, “Siapa yang menurut kamu adalah orang yang paling bahagia di dunia ini?”. Filsuf itu berpikir sejenak, kemudian menyebut dua nama Yunani yang tak jelas, yang tidak pernah didengar sebelumnya oleh Croesus. Raja merasa marah karena telah ditipu, maka ia dengan keras meminta penjelasan. Solon menjawab, “Sobat, tak ada seorang pun bisa dianggap sungguh-sungguh bahagia, yang hatinya kawin dengan barang-barang duniawi. Barang-barang itu akan lenyap dan pemiliknya akan menjadi duda atau janda. Dukacita hanya ada pada duda/janda ini. Atau otang itu sendiri meninggal dan tidak bisa membawa satu pun emas bersamanya. Sekali lagi, yang ada hanyalah dukacita”.

Tidaklah berdosa jika kita menjadi orang yang kaya. Bahkan Allah sendiri senang untuk memberkati orang percaya dengan kekayaan. Tetapi yang salah adalah mereka yang merasa kekayaan itu adalah semata karena jerih lelahnya, sehingga ia berbangga dan berpuas diri. Pada akhirnya mereka mabuk karena kekayaan, dan menganggap kekayaan itu adalah segala-galanya sekaligus kebahagaiaan yang sejati. Itulah yang dibenci oleh Allah. Kekayaan dapat membawa kepada sikap yang serong, persahabatan yang palsu, pesta pora, ketidakjujuran dan penyembahan kepada mamon.

Banyak diantara kita yang mempunyai persediaan makanan dan rumah yang nyaman. Bahkan banyak yang mempunyai tabungan atau deposito sehingga kita merasa bahwa kita mempunyai cukup harta benda sampai kita mati. Dengan demikian, sandaran masa depan kita bukan lagi kepada Tuhan tapi pada kekuatan sendiri. Ini adalah pendapat yang salah dan keliru, karena ada kesukaran dan persoalan dalam hidup yang tidak dapat dibereskan oleh uang atau kekayaan berapa pun banyaknya, bahkan kekayaan pun bukanlah jaminan untuk kehidupan yang tenang serta berbahagia.


Kekayaan bukanlah jaminan kebahagiaan yang sejati, sebab bukanlah segala-galanya.

Artikel oleh: October 26, 2011   Kategori : Biblical Devotion from Proverbs (Renungan Alkitabiah dari Kitab Amsal)  Sebarkan 

Tulis Komentar Anda