Kemerdekaan Sebuah Gereja Lokal

Berbagai gagasan tentang ‘kemerdekaan’ sebuah gereja lokal, jika mau dilepaskan dari tradisi ‘church governance’ yang membagi jenis pemerintahan gereja kepada Episkopalian, Presbyterian-Sinodal, Congregational, akan melebarkan tafsiran tentang motif dan arah yang diinginkan.

Kemerdekaan yang saya maksud adalah sifat otonomik dan terciptanya independensi sebuah gereja terlepas dari interferensi hirarki ataupun kekuasaan individual. Gereja yang dikatakan mandiri boleh jadi dibayangkan sebagai sebuah gereja yang begitu mandiri dalam sifat lokalnya, sifat kepemilikannya dan sifat kepemimpinannya.

Dasar Alkitabiah memang cukup kuat untuk kemandirian sebuah gereja lokal jika dilihat dari Efesus 1:22, 4:15, Kol. 1:18, Titus 1:5, maupun dari indikasi adanya ‘presbuteros’ atau ‘elders”/tua-tua (yang penyebutannya biasanya dalam bentuk jamak) dan istilah ‘deacons’/diaken. Yesus tidak memberikan petunjuk yang amat jelas mengenai bagaimana gereja akan dipimpin karena pada masa itu Ia masih ada di dalam dunia. Bentuk ‘proto-gereja’ hanya disebut dalam pernyataanNya kepada Simon Petrus dalam Matius 16. PernyataanNya berupa sebuah gambaran tentang otoritas dan kepemilikan sesungguhnya dari ‘suat kelompok orang yang dipanggil keluar’ atau yang kita sebut sebagai ‘ekklesia’ atau kini gereja-Nya (bukan fisik gedung melainkan umatNya).

Ia memberikan ciri-ciri pandangan tentang kebenaran dan ajaran, disiplin bagi sebuah perkumpulan, apa yang bakal terjadi dalam perkumpulan pengikutNya, dsb. tetapi sebagian terbesar ucapanNya berasal dari suatu gambaran tentang ‘kelompok pengikutnya’ yang adalah satu.

Tetapi sampai saat kematian-Nya Ia tidak spesifik tentang bagaimana jika perkumpulannya mengalami parameterisasi, distinksi, dan masuk ke wadah budaya lain. Ia tidak berbicara tentang apa yang harus dilakukan jika perkumpulannya menjadi banyak dan terkelompok. Kecuali saat ia ditanya muridNya tentang adanya orang yang melakukan mujizat dan mengusir setan tetapi bukan dari kelompok para murid, apa yang harus dilakukan? Haruskah melarang? Yesus berkata bahwa jika mereka tidak melawan para murid, itu berarti mereka di pihak yang sama.

Benarkah Yesus menggiring para pengikutnya untuk memiliki semangat independensi atau otonomi seperti yang banyak diaspirasikan orang dewasa ini? Jika memang iya, apa maksud doa Yesus dalam Injil Yohanes 17 “agar kita semua menjadi satu?’.

Pada masa para Rasul-lah atau lebih tepat pada masa Paulus gereja makin mendapat bentuknya dan persinggungan dengan budaya di luar Yahudi membuat gereja makin harus menggumuli bagaimana ciri kepemimpinan dan hubungan antara kumpulan orang percaya di Yerusalem dan di tempat-tempat lain. Misi telah memaksa formulasi apologi terhadap berbagai ajaran yang muncul,  kepemimpinan pasca para rasul serta kewenangan gereja Yerusalem yang menurun seiring dengan kehancuran Yerusalem dan tersebarnya kekristenan keluar dari Yerusalem, terbentuk dan terstruktur. Jadi memang konteks bagaimana pemerintahan gereja terbentuk adalah konteks misi dan apologi.

Rasul Paulus memberikan berbagai panduan agar gereja-gereja yang dikunjungi atau dirintisnya akan memiliki kesamaan tertentu.

Bermunculannya bapa-bapa gereja dari berbagai tempat menimbulkan polarisasi pada pengikut Kristus tentang siapa yang harus diikuti, siapa yang paling berwewenang. Masa itu bukan masa yang mudah bagi orang-orang percaya. Paling tidak mereka mencoba untuk merasa berada di bawah otoritas ajaran para Rasul, Injil, maupun tulisan rasul Paulus. Bagi mereka jika dapat memiliki salinan tulisan Rasul atau rasul Paulus, atau kutipan Injil-Injil sudah merupakan sukacita. Keinginan untuk memiliki jejak-jejak keterikatan satu dengan yang lainnya sangat tinggi. Bahkan masing-masing mengklaim bahwa gerejanyalah yang paling mengikuti kebenaran Yesus Kristus, sehingga akhirnya para pemimpin dipaksa untuk bertemu dalam berbagai kesempatan untuk menguji apakah ajaran yang dipegang oleh kekristenan di suatu tempat masih benar.

Perkembangan ini tidak beda dari saat di mana orang-orang Israel ditinggal oleh Musa karena ia naik ke gunung Sinai untuk bertemu dengan Allah. Saat kekosongan kepemimpinan itulah keraguan menyeruak dalam hati umat Israel di kaki gunung, tidak yakin apakah Musa masih hidup atau tidak, lalu mereka mengangkat harus untuk menjalankan apa yang mereka pikir seharusnya dilakukan. Begitulah ketika Yesus naik ke surga, kekosongan kehadiran Yesus secara fisik, ataupun para rasul, membuka kesempatan bagi mereka yang memiliki berbagai kepentingan untuk menjalankan rencana mereka. Sebagian besarnya telah didorong oleh berbagai kepentingan yang bukan kepentingan rohani.

Tidak terbayang dalam pikiran murid-murid dari para murid-murid bahwa mereka suat kali akan punya kebutuhan untuk benar-benar merdeka dan terlepas dari berbagai pengaruh di luar kecuali saat di mana kehidupan gereja telah makin meluas, tetapi masih berwarna penderitaan setiap kali penyebaran Injil dilakukan. Penderitaan menyatukan mereka, tetapi kemakmuran memunculkan selera lain dalam diri orang percaya.

Sejarah gereja diisi dengan berbagai catatan tentang perpecahan, pembuangan, isolasi, bahkan pembunuhan akibat kepentingan lain selain kepentingan rohani yang menguasai para pemimpin dalam gereja. Kekuasaan dan kepemilikan  akhirnya menjadi penentu dari banyak agenda kekristenan sepanjang masa. Termasuk segala perjuangan yang dikatakan orang ‘perbedaan visi, perbedaan doktrin, perbedaan cara kepemimpinan, perbedaan cara penyelesaian, dsb.’ – yang menjadi alasan pecahnya sebuah gereja atau denominasi, memiliki akar sederhana yang kata Yesus dalam Injil Matius  6:32, “Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu.”

Kristenisasi pemerintahan Romawi pada masa Konstantinus belum tentu  murni alasan agama. Begitu kekristenan menjadi agama negara, hilanglah kemampuan ‘perjuangan iman’-nya lalu kini beralih menjadi kelompok orang yang menikmati berbagai fasilitas yang dulunya tidak dimiliki. Tetapi itupun tidak bertahan lama, karena pergumulan untuk memisahkan gereja dari pemerintahan negara telah masuk ke babak baru dalam sejarah kekristenan menjelang memasuki abad-abad pertengahan. Kekristenan mulai terbiasa untuk tidak membedakan antara politisasi agama dengan tujuan misi Kristen.

Apa yang mulanya dipicu oleh keinginan luhur untuk kembali kepada kebenaran sesungguhnya di dalam Alkitab, seperti yang terjadi pada masa reformasi Martin Luther kini sudah memiliki ‘drive’ yang berbeda. Kita menjadi benar-benar ingin merdeka dari segala otoritas di atas kita. semua anak-anak muda ingin bebas, tetapi ketika mereka memiliki anak-anak, mereka mengeluhkan keinginan bebas anak-anak mereka. sejarah terulang kembali.

Jika anda berada di dalam sebuah organisasi gereja, anda telah membuat pilihan untuk berada di bawah otoritas. Anda sadar bahwa anda tidak dapat hidup sendiri. Anda sadar bahwa kebersamaan adalah cara terbaik untuk hidup dan bertahan. Anda mengikuti aturan yang ada, anda setuju bahwa apa yang berlaku kepada anda akan berlaku juga untuk semua orang yang ada dalam organisasi tersebut. Tetapi kemudian datanglah kemakmuran, yang mengubah konsep anda tentang apa artinya ‘hidup dan bertahan’. Anda mulai merasa bahwa tanpa organisasi anda dapat ‘hidup dan bertahan’. Anda mulai menginginkan kemerdekaan dari otoritas, dan dengan memakai segala macam cara anda dapat meyakinkan orang bahwa kemerdekaan dari otoritas adalah ‘kebenaran’. Dalam sebuah organisasi gereja, biasanya kemerdekaan yang dimaksudkan oleh banyak para hamba Tuhan adalah kemerdekaan dari ikatan peraturan bersama yang ada. Segala peraturan itu digugat atas nama ‘kemajuan’ dan ‘pikiran modern’. Tetapi tokh dalam usaha untuk hidup bersama misalnya dalam sebuah bangsa, peraturan akan mengikat orang-orang secara bersama.

Nah sekarang, setelah anda tidak lagi berada di bawah otoritas, sekelompok orang mengikuti anda, masalahnya adalah belum ada peraturan dan visi yang mengikat anda dengan mereka. Akhirnya anda secara sadar mulai menciptakan aturan yang harus diikuti oleh orang-orang yang mengikuti anda. Akhirnya, apa yang anda hindari anda ciptakan lagi. Kalau begitu apa sebenarnya yang menjadi ‘drive’ atau motivasi ‘kebebasan’ dari otoritas yang kita sering dengungkan? Mungkin bukan kebebasan atau kemerdekaan itu sendiri? Tetapi stimuli lain yang orang tidak ketahui, yang hanya diketahui oleh Tuhan, kita dan kegelapan.

Sampai kepada saat ini, dalam kondisi kekristenan pasca Pentakostalisme klasik 1901, kekristenan telah melahirkan begitu banyak aliran. Di Indonesia saja dengan denominasi terutama di kalangan Pentakosta karismatik yang berjumlah lebih dari 323 buah, tentu sudah menggambarkan betapa sulitnya untuk membiasakan diri berada di bawah otoritas. Dibawah otoritas lain berarti anda hars menahan diri, harus melapor, harus tunduk, harus menuruti aturan, harus bertanggung jawab dan mempertanggung jawabkan, dsb. Intinya adalah bahwa kita dibatasi!

Jadi, jika anda perhatikan mereka yang sering menyerukan ‘otonomi’ atau kemerdekaan gereja lokal dari otoritas di atasnya, perhatikan apa yang diperjuangkannya. Acapkali anda akhirnya menyadari bahwa kepentingan lain di luar dari alasan rohani, menjadi alasannya.

Gereja Sidang Jemaat Allah di Indonesia memiliki pola pemerintahan gereja yang unik, dimana unsur presbyterian-sinodalnya kelihatan pada gereja-gereja Pratama dan Madya. Sedangkan unsur Kongregasionalnya kelihatan pada gereja Pembina yang memiliki otoritas untuk mengelola diri sepenuhnya.

Gereja-gereja yang ada di perkotaan, sekalipun berstatus Madya, seringkali mengoperasikan cara pengurusan diri model semi gereja Pembina. Namun demikian, baik gereja Pratama, Madya maupun Pembina memiliki satu ikatan yang sama yang disebut dengan Tata Gereja dan Peraturan Pelaksanaan. Dimanapun di dunia, Peraturan selalu lebih lambat dari perkembangan masyarakat. Jadi, jika menyangkut pembaharuan aturan adalah permintaan yang sah. Tetapi menggugat peraturan untuk meniadakannya adalah sama dengan meruntuhkan sebuah organisasi.

Yesus memutlakkan hukum ‘hati’ tetapi tidak sedikitpun Ia bermaksud membuang Torat. Ia hanya lebih suka jika Torat bukan dihafalkan tetapi dilakukan dengan dorongan cinta kepada Tuhan, mengasihi Tuhan dengan segenap hati, pikiran, dan jiwa. Ia memberikan hukum Kerajaan Allah sebab bagaimanapun diperlukan sesuatu untuk membuat pengikut-pengikutNya merasa dimiliki dan memiliki.

Gereja Sidang Jemaat Allah di Indonesia membebaskan anda untuk mengembangkan pelayanan, ia sangat toleran kepada cara anda mengembangkan gereja anda, ia bahkan bersedia mengakomodasi berbagai ide anda untuk berkembang, karena ia percaya dengan kemerdekaan Roh Kudus dalam menuntun orang. Ia percaya dengan masa depan yang masih akan berlanjut, GSJA di Indonesia percaya bahwa setelah anda akan ada orang lain yang melanjutkan pelayanan anda. GSJA di Indonesia memberikan keleluasaan kepada anda untuk membuka rekening atas nama GSJA karena percaya bahwa anda hanya dipercayakan saja keuangan gereja tetapi itu bukan milik anda. Organisasi ini sangat toleran dengan pengembangan gereja lokalnya. Selama ini kita menikmati semua fasilitas kemudahan yang disediakan organisasi termasuk legitimasi kependetaan anda ketika anda berbicara tentang uang di hadapan jemaat yang kita layani. Legitimasi tersebut membuat anda percaya diri dan mendapat dukungan bahwa memang yang anda kumpulkan ditopang oleh suatu otoritas di luar diri anda, selain integritas anda. Organisasi ini mempertahankan kepemilikan gereja lokal sepanjang bukan nama seseorang yang dapat menimbulkan masalah kepemilikan di hari depan. Organisasi ini percaya dengan keberlanjutan, percaya dengan kesinambungan, dan bahwa kita akan selesai dengan tugas kita tetapi pelayanan akan berjalan terus ke depan menuju masa depan yang dikehendaki Tuhan.

Apa yang tidak bisa kita lakukan di GSJA? Hampir semua aspirasi kita yang kita inginkan dapat diakomodasi. Sepanjang kejujuran menjadi garis yang kita ikuti dari awal sampai akhir, maka tidak akan pernah ada kesulitan menghadap usaha kita mengembangkan gereja kita.

Perjuangan untuk ‘kebebasan’ atau ‘kemerdekaan’ dalam sebuah organisasi mesti benar-benar disadari untuk apa atau tujuan yang kita perjangankan. Kiranya Tuhan memberkati!

Artikel oleh: August 20, 2010   Kategori : Artikel  Sebarkan 

2 Komentar

  1. Suwandoko - August 30, 2010

    Istilah “kemerdekaan” Gereja lokal nampaknya berbeda dengan “kewenangan mengurus diri sendiri atau otonomi.” Kata kemerdekaan agak misleading, itu menggambarkan seolah-olah gereja lokal tidak bertanggung jawab kepada siapa-siapa, bebas bertindak semaunya. Selama kita di dunia, tatanan seperti itu tidak ada. Memang cukup banyak gereja “independent” yang bersifat lokal, tapi toh mereka (baca: pimpinannya) punya tanggung jawab kepada Tuhan atau kepada jemaat setempat. Kewenangan mengatur diri sendiri (self-governing) diatur dalam Tata Gereja dan Peraturan Pelaksanaan kita. Jadi, sah-sah saja.
    Kalau bicara soal otonomi gereja lokal, untuk kalangan GSJA, perlu dikembalikan kepada sifat wadah organisasi ini, yaitu persekutuan. Sifat ini tercantum dalam TG-PP nya. Sebagai suatu persekutuan, TG-PP-nya juga harus mencerminkan sifat persekutuan itu. Pemusatan kekuasaan kepada organisasi nampaknya tidak cocok dengan sifat persekutuan itu. Apalagi, sudah bukan jamannya untuk saat ini. Jaman Orde Baru, disebut juga jaman demokrasi. Tetapi, semuanya dikontrol dan dikuasai oleh pusat-pusat kekuasaan. Jadi, perlu disepakati bersama tatanan organisasi kita agar tidak membelenggu, tetapi juga tidak liar. Ini memerlukan perubahan – transformasi. Perubahan adalah suatu keniscayaan. Everything changes except change itself.
    Tuhan Yesus mengatakan akan mendirikan Gereja-Nya. Tentunya, Dia tidak bermaksud mendirikan organisasi gereja. Ini dua lembaga berbeda. DGI generasi lalu berusaha mempersatukan semua gereja di Indonesia dalam wadah DGI – Dewan Gereja Indonesia. Semua gereja di luar DGI, dimarginalkan. Tetapi, syukurlah akhirnya disadari kekeliruan itu, sehingga di Ambon dilahirkan 5 prinsip saling menerima, dsb. Dan untuk memastikan perubahan karakter organisasi ini, digantilah namanya menjadi PGI – Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Pernahkah kita mempelajari sifat ukhuwah islamiyah – persaudaraan islam ? Bagaimana hubungan organisasi-organisasi islam dengan masjid-masjid yang bertaburan dimana-mana ? Bagaimana struktur organisasi masjid lokal ? Sepertinya mereka hanya diikat oleh satu kesatuan ajaran saja. Gereja sebagai organisasi selalu akan kena virus intrik-intrik politisasi, dan jika terkooptasi dengan kekuasaan sekuler (pemerintah), sejarah membuktikan bahwa gereja itu akan hancur. Ini perlu kita cegah bersama. Organisasi yang bersifat persekutuan, seharusnya memiliki peraturan dengan kekuasaan organisasi yang minimal saja. Di pihak lain, anggota organisasi itu harus mengerti betul sifat organisasi itu dan terus mengembangkan kematangan berorganisasi.
    Namun, disadari bahwa melepaskan kekuasaan yang terlanjur dipegang tidak gampang. Keinginan berkuasa selalu ada dalam hati setiap orang, karena memang dari awalnya Tuhan katakan di Kejadian 1:26-28 “supaya mereka berkuasa…” Bagaimana memakai kekuasaan, itulah yang lebih sering dipertanyakan. Pertanyaan penting: dari 2000 lebih gereja-gereja GSJA di Indonesia dan mungkin seribu lebih sudah memenuhi persyaratan, tetapi mengapa yang menjadi Gereja Pembina dapat dihitung tidak lebih dari jari-jari di tangan kita ? Why ??? Mungkin peraturannya tidak disukai dan perlu direvisi. Pandangan saya pribadi, jika GSJA ingin berkiprah dalam kancah perluasan Kerajaan Allah ke depan, sudah waktunya untuk membuat perubahan-perubahan significant agar tujuan itu tercapai. Jangan memakaikan pakaian untuk anak umur 5 tahun, kalau tubuhnya sudah menjadi remaja. Kalau pakaian itu masih pas, pasti ada sesuatu yang salah dengan pertumbuhan anak itu. Air anggur yang baru disimpan di kirbat yang baru pula, kata Tuhan. Shalom

  2. Tabaleku - August 31, 2010

    Setelah membaca ulasan mengenai “Kemerdekaan sebuah Gereja Lokal”, saya sebagai anggota dan PI GSJA di Indonesia, dengan hati yang jujur dan bangga mempunyai pemimpin-pemimpin muda yang brilian dalam menganilisa berbagai persoalan yang terjadi di dalam GSJA di Indonesia, khususnya bagi pengembangan masa depan GSJA di Indonesia. Secara jujur saya dapat menyimpulkan bahwa ada 2 kecenderungan yang sedang berkembang dalam gereja lokal, khususnya GSJA. 1).Tetap mempertahankan apa yang telah ditetapkan dalam TG-PP dan 2).Coba keluar dari TG_PP. Hal kedua ini menyababkan berbagai implikasi praktis didalam pelayanan di gereja yang dipimpinnya, sebagai contoh khususnya dalam aset-aset gereja dan penerus pemimpin gereja lokal.
    Hal ini akan memberi dampak negetif kepada generasi penerus dari gereja ini, sebagai contoh yang disebut oleh Ps.Suwandoko bahwa “mungkin seribu lebih sudah memenuhi persyaratan tetapi mengapa menjadi gereja Pembina dapat dihitung tidak lebih dari jari-jari kita?” Pasti ada motivisi yang lain dibalik itu?. Oleh karena itu, marilah kita lakukan apa yang dikatakan dalam Injil Lukas sebagai berikut, “Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang tugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata:Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna;kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan, Luk.17:10. Harapan kita adalah kerajaan Allah makin maju melalui GSJA di Indonesia, dan nama Yesus Tuhan kita, diagungkan untuk selama-lamanya. Marilah kita bersatu seperti doa Tuhan Yesus, agar kita bersatu dalam Pikiran, Hati, dan Tindakan untuk kerajaan-Nya, bukan kerajaanKU.
    Tuhan memberkati.

Tulis Komentar Anda