Kiasankah Ungkapan Yesus “Mencungkil mata – memenggal tangan”?

by Hendra Mulyana

“Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka.”   (Matius 5:29-30 TB)

Dalam tulisan ini, saya akan mencoba  membahas tentang apakah salah satu ajaran  Tuhan Yesus dalam khotbahNya di bukit ini merupakah sebuah pernyataan hiperbola, ataukah merupakan sebuah kiasan, ataukah merupakan sebuah pernyataan yang benar-benar bersifat harfiah.

Definisi.

Dalam pandangan saya, cara kita membuat kesimpulan sangat tergantung pada bagaimana cara kita mendefinisikan istilah-istilah yang digunakan, karena itu penetapan definisi yang dipakai dalam tulisan ini sangat perlu untuk menghindarkan perdebatan-perdebatan yang tidak perlu karena miskomunikasi. Berbagai definisi dan klasifikasi yang saling berbeda telah diberikan oleh orang-orang yang berbeda.

Misalnya: ada yang menganggap “hiperbola” adalah merupakan salah satu bentuk gaya bahasa retoris (gaya bahasa sendiri dikelompokkan menjadi gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan) , sementara yang lainnya menganggapnya sebagai salah satu bentuk kiasan yang melibatkan penambahan atau perluasan. Ada yang mendefinisikan “kiasan” sama dengan “kias”, sementara orang lain mendefinisikan “kias” sebagai contoh dari apa yang telah ada (terjadi).

Untuk menghindarkan kesimpang-siuran, dalam tulisan ini saya gunakan definisi yang dikenal sebagai berikut:

“Hiperbol” adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan sesuatu hal (jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya)

< http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17733/4/Chapter%20II.pdf. .>

Bahasa “kiasan” adalah setiap deviasi pemikiran atau ekspresi, dari metode ucapan asli dan sederhana atau suatu kiasan yang secara seni berbeda dari penggunaan umum (Quintilian: Instit. Orat. IX, i, 11).

< http://bible.org/seriespage/bahasa-kiasan. >

Penafsiran secara “harfiah” adalah arti yang didasarkan pada penggunaan bahasa secara wajar atau biasa, pengertian kata-kata yang biasa. [LKTI PK-32 Memahami Alkitab hal 59]

Pernyataan Hiperbola-kah?

Apakah istilah ‘mencungkil mata dan memenggal tangan’ merupakan sebuah tindakan yang dilebih-lebihkan? Mungkinkah manusia harus mencungkil mata atau memenggal tangan demi menghindarkan akibat yang lebih parah?

Dalam dunia kedokteran, jika ditemukan adanya kanker pada mata (retinoblastoma, terutama pada anak-anak) yang tidak sempat terdeteksi lebih dini sehingga penanganannya terlambat, maka cara yang dianjurkan biasanya adalah mengganti bola mata yang terkena kanker tersebut dengan bola mata palsu untuk menghindarkan penyebaran kanker ke otak melalui syaraf penglihatan. Demikian juga apabila seorang penderita diabetes mellitus yang tidak mendapat perawatan yang baik mengalami luka di tangan atau kaki yang telah membusuk dengan demikian penanganannya terlambat, maka cara yang dianjurkan biasanya adalah mengamputasi anggota tubuh yang telah membusuk tersebut.

Bahkan untuk bagian-bagian tubuh yang dianggap sebagai bagian-bagian kehormatan pun seperti misalnya payudara pada wanita, jika terserang kanker kerap harus dilakukan operasi bedah pengangkatan entah sebagian (lumpektomi) atau seluruhnya (masektomi).

Jadi di dunia kedokteran modern pun, membuang bagian tubuh demi untuk menyelamatkan bagian yang sisa adalah merupakan tindakan medis yang tidak dilebih-lebihkan. Jika untuk menghindarkan bahaya yang bersifat lahiriah yang fana orang dapat melakukan hal tersebut, terlebih lagi untuk menghindarkan bahaya yang bersifat spiritual yang kekal.

Dalam Hukum Taurat dikenal adanya hukuman mati sebagai tindakan yang jauh lebih drastis daripada sekedar pencungkilan mata atau pemenggalan tangan, dengan demikian mencungkil mata atau memenggal tangan jika dibandingkan dengan hukuman mati tidaklah dilebih-lebihkan.

Bahasa kiasan-kah?

Kata “menyesatkan”  (kadang diartikan “membuat terserandung”) dalam ayat-ayat tersebut memang merupakan sebuah kiasan/metafora, namun apakah “mencungkil mata” dan “memenggal tangan” juga merupakan kiasan?

Jikalau mata atau tangan bisa terlibat atau mempunyai andil dalam perzinahan rasanya tidak dapat disangkal, sehingga “mata” yang dimaksud tentu adalah mata yang sebetulnya dan “tangan” yang dimaksud adalah tangan yang sebetulnya. Ada yang berargumentasi bahwa karena tidak mungkin hanya mata yang kanan atau hanya tangan yang kanan yang bisa terlibat atau mempunyai andil dalam perzinahan; maka “mencungkil mata” dan “memenggal tangan” itu hanyalah kiasan.

Namun mari kita perhatikan hal-hal berikut ini:

Kita mengenal ada kata “melirik” dan “mengerling” yaitu melihat dengan sudut mata sehingga ada satu mata yang terhalang oleh batang hidung dan tidak dapat melihat objek sasaran. Kerlingan atau lirikan maut merupakan sebuah bahasa cinta yang seringkali menjadi awal dari kisah percintaan.

Kita juga mengenal kata “mengintip”, di mana jika dilakukan melalui celah atau lubang yang kecil seperti lubang kunci pintu, mengintip tersebut hanya bisa dilakukan dengan satu mata. Mengintip objek atau adegan yang merangsang dapat menjadi awal dari terjadinya perzinahan.

Tangan kanan dan tangan kiri dapat mempunyai tingkat refleks yang berbeda. Tangan kanan atau tangan kiri bisa lebih dominan dari tangan lainnya pada waktu melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu, itulah sebabnya ada istilah “bertangan kidal”.

Dengan memperhatikan contoh-contoh di atas, menurut saya, adalah mungkin untuk hanya mata kanan atau hanya tangan kanan yang dominan menyebabkan seseorang terserandung dalam dosa perzinahan.

Penafsiran secara harfiah.

Jika “cungkillah”  dan “penggallah” itu memang mempunyai arti harfiah, apakah berarti jika seseorang berzinah dengan mata atau tangannya maka ia harus menerapkan pencungkilan atau pemenggalan tersebut? Hal inilah yang membuat banyak orang lebih cenderung memilih untuk menyimpulkan bahwa “mencungkil mata” dan “memenggal tangan” itu tidak mempunyai arti harfiah. Menurut saya sebetulnya masalah itu bukan karena arti harfiahnya, tetapi karena cara penafsiran yang terlalu sederhana dengan mengabaikan eksegesis dan konteks.

Jika kita meneliti kata dalam bahasa Yunani yang diterjemahkan “menyesatkan” dalam ayat-ayat tersebut, kita akan mendapatkan sedikit bantuan untuk menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan lebih baik.

Kata yang digunakan adalah “skandalizei” yang merupakan bentuk kala kini dari  bentuk dasarnya “skandalizo” . Arti kata ini dalam Bahasa Yunani lebih menunjuk kepada sesuatu yang sedang dilakukan. Jadi lebih mendekati Present Continous dari pada Simple Present. Yaitu suatu pekerjaan/perbuatan yang sedang dilakukan atau yang dilakukan berulang-ulang dalam waktu sekarang [Greek Lexicon #5774 – CD Sabda]. Jadi syarat pertama yang harus diperhatikan adalah bahwa “penyesatan” itu terus berlangsung berulang-ulang.

Dari segi konteks dekat, dalam menafsirkan “cungkillah” dan “penggallah” tersebut tidak boleh mengabaikan frasa yang mengikutinya yaitu “karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka.” Dengan memperhatikan frasa ini, maka kita dapat memahami bahwa tindakan mencungkil atau memenggal tersebut adalah keputusan yang merupakan hasil dari sebuah pertimbangan.

Dalam pertimbangan tersebut, anggota atau bagian tubuh yang dimaksud adalah penentu yang menyebabkan seseorang masuk ke dalam neraka. Dengan perkataan lain, tindakan mencungkil atau memenggal itu hanya perlu dilakukan jika itulah yang bisa menghindarkan orang yang bersangkutan masuk ke dalam neraka. Jika  mencungkil atau memenggal anggota atau bagian tubuh yang menyesatkan ke dalam perzinahan, tapi masih ada anggota atau bagian lain yang menyebabkan orang tersebut masuk neraka, tentu saja tindakan mencungkil atau memenggal itu tidak menyelamatkan dirinya dari hukuman neraka.

Jika kita memperhatikan lebih luas dalam konteks kitab Matius yaitu pengajaran Tuhan Yesus dalam Matius 15:19 “Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat” – ternyatalah bahwa hati dan pikiran mempunyai andil dalam perbuatan dosa.

Jadi, kesimpulan yang bisa saya berikan adalah bahwa kata “cungkillah” dan “penggallah” dalam ayat-ayat tersebut memang mempunyai arti harfiah dan merupakan contoh dari tindakan bersyarat yang paling ekstrim yang harus diambil apabila itu dapat menghindarkan seseorang dari hukuman neraka.

Namun untuk menerapkannya, tentunya orang tersebut harus memastikan bahwa anggota atau bagian tubuh yang akan dibuang tersebut secara terus menerus berulang-ulang menyesatkan atau membuat terserandung dalam perzinahan, dan pula bagian tubuh itu adalah satu-satunya yang dapat menyebabkan dirinya dicampakkan ke dalam neraka.

Ajaran Tuhan Yesus ini mengingatkan kita bahwa perbuatan dosa yang ber-upahkan hukuman neraka itu sangat serius sehingga kita harus betul-betul membenci dosa dan menghargai anugerah penebusan yang Tuhan Yesus bayar dengan darahNya yang sangat mahal.

Demikian pembahasan saya, Tuhan memberkati!

Hendra Mulyana

Artikel oleh: August 5, 2010   Kategori : Artikel  Sebarkan 

27 Komentar

  1. Andika - August 5, 2010

    Syalom.. ini “Hendra Mulyana” yang saya kenal bukan yah…

    (yang sering datang ketempat ciLina/koTemy

  2. Hendra Mulyana - August 5, 2010

    To Andika: ini sih teman seniornya ci Lina wkt di kampung halaman. Salam kenal aja… GBU!

  3. Joice - August 6, 2010

    Pikirkan beberapa hal ini. Pertama, tulisan ini menggunakan contoh kedokteran untuk menjelaskan teks Matius. Tindakan anakronistik seperti ini secara metodologis adalah sesuatu yang tidak bisa diterima. Injil Matius tidak boleh dilihat dari kacamata kedokteran modern. Matius menuliskan Injil ini bukan dalam konteks kedokteran abad ke-21, tapi abad pertama di dunia Greco-Roman. Kedua, kelihatannya penulis artikel ini belum mengerti apa itu eksigesis secara seutuhnya dan bedanya dengan studi kata. Studi kata tidak bisa dipakai untuk menentukan genre dari sebuah karya sastra. Kita harus melihat teks tersebut secara seutuhnya. Tradisi rabinik sendiri, dimana beberapa pakar berpikir bahwa kemungkinan Yesus berasal dari golongan ini, tidak berpikir bahwa teks-teks kitab suci harus dipahami secara hurufiah atau literal. Ketiga, jika tulisan-tulisan seperti ini dimuat dalam website GSJA, dikuatirkan bahwa GSJA akan dianggap seperti organisasi fundamentalisme yang menjadi ujung tombak pemahaman-pemahaman yang tidak sehat.

  4. Hendra Mulyana - August 11, 2010

    Adalah merupakan berkat istimewa jika kita diberikan kesempatan untuk menyelidiki Kitab Suci di bawah bimbingan Roh Kudus, karena itu akan menolong kita dalam pembaharuan budi untuk dapat mengerti kehendak Allah dengan lebih baik dengan dampak yang dapat dilihat seperti pada orang-orang Kristen di Berea.

    Saya sangat bersyukur untuk dorongan positif yang diberikan, sehingga saya merasa perlu menambahkan beberapa penjelasan berikut. Kebanyakan ahli Alkitab berpendapat bahwa kitab Injil Markus ditulis dengan pendekatan yang lebih diarahkan kepada orang-orang Romawi, sedangkan kitab Injil Lukas kepada orang-orang Yunani (bukan Yahudi). Namun tidak demikian dengan kitab Injil Matius, kitab ini ditulis dengan pendekatan yang lebih diarahkan kepada orang-orang Yahudi; karena itu saya lebih memfokuskan tambahan penjelasan ini berdasarkan apa yang diajarkan para Rabbi Yahudi dalam kitab Talmud daripada perspektif Greco-Roman. Tentunya sebagai kitab yang menjabarkan ajaran-ajaran Kitab Suci, Talmud lebih menggunakan bahasa harfiah.

    Dalam kitab Talmud, dikenal adanya perintah memotong tangan untuk beberapa sebab, misalnya:
    The Jews enjoined cutting off of the hand, on several accounts; if in a morning, before a man had washed his hands, he put his hand to his eye, nose, mouth, ear, &c. ?????, it was to be “cut off”
    [Talmud Babilonia Massechet Sabbat. folio 108. 2. Massechet Callah/Ma‘aser Sheni, folio 17.1.]
    “Says R. Tarphon, if the hand is moved to the privy parts, ???? ???, “let his hand be cut off to his navel”.”
    [Talmud Babilonia Massechet Nidda, folio 13.2.]
    Catatan: Rabbi Tarphon hidup sekitar 70-135AD.
    Hukuman dengan memotong tangan telah dikenal di Mesopotamia (ke tempat mana orang-orang Yahudi pernah dibuang) sejak jaman Hammurabi sekitar 17 abad sebelumnya .

    Bagaimana keterlibatan mata dan tangan dalam dosa perzinahan, dapat terlihat pada bagian Talmud ini:
    “whoever looks upon women, at the end comes into the hands of transgression.”
    [Talmud Babilonia Massechet Nedarim, folio 20.1]
    “says R. Eliezer what is the meaning of that Scripture, “your hands are full of blood”, Isa 1:15? It is replied, ??? ??????? ???, “these are they, that commit adultery with the hand”. It is a tradition of the house of R. Ishmael, that the sense of that command, “thou shalt not commit adultery”, is, there shall be none that commits adultery in thee, whether “with the hand”, or “with the foot”.”
    [Talmud Babilonia Massechet Nidda, fol. 13.2. Vid. Maimon. Issure Bia, c. 21. sect. 18.]
    Catatan: Rabbi Eliezer ben Hyrcanus hidup sekitar 80-118AD dan Rabbi Ishmael ben Elisha sekitar 90-135AD.

    Dalam kitab Talmud pun diajarkan tentang cara menangani bagian tubuh yang kondisinya membahayakan dengan cara memotong, seperti misalnya perut yang terkena duri berikut ini:
    “what if a thorn should be in his belly, must he not take it away? It is replied, no: it is further asked, must not his belly be ripped up then? It is answered, it is better that his belly be ripped up, ??? ???? ??? ???, “than that he should go down to the pit of corruption.””
    [Talmud Babilonia Massechet Nidda, fol. 13.2.]
    Di jaman Romawi kuno, memang telah dikenal amputasi dan bedah dengan menggunakan gergaji bedah untuk memotong tulang namun jauh sebelumnya di jaman Hammurabi itu pun telah dikenal.

    Kita memang perlu membedakan mana bagian dari Alkitab yang menggunakan bahasa kiasan dan mana yang menggunakan bahasa harfiah, bagian yang memang menggunakan bahasa harfiah kita tidak perlu kita anggap sebagai kiasan. Memperlakukan bagian yang harfiah sebagai kiasan akan mengurangi arti penting dari pesan yang Allah sedang komunikasikan melalui Kitab Suci.

  5. Joice - August 12, 2010

    Saudara Hendra,

    kutipan yang anda berikan di atas tidak harus berarti bahwa mereka menerapkannya secara literal. Yesus-pun demikian, ya Yesus menggunakan bahasa yang “keras,” tapi tidak berarti bahwa Yesus memaksudkannya secara literal. Anda rupanya sedang bingung mengenai sebuah pernyataan dan makna dibalik pernyataan tersebut. Memang bahasa2 memperbesar (exaggerating) seperti itu bukanlah unik dalam Perjanjian Baru, tapi para rabi Yahudi tidak menerapkannya secara literal. Anda juga perlu ingat bahwa Babylonian Talmud itu ditulis pada abad ke-5 AD, jauh sesudah Yesus hidup.

    Satu lagi, apakah anda pernah melihat dalam keseluruhan Perjanjian Baru teks ini diterapkan secara literal oleh gereja mula2?

    Pikirkanlah ini, mencungkil mata secara literal itu tidak akan membuat seseorang berhenti berbuat dosa, karena akar dosa itu jauh lebih dalam dari mata yang melihat. Itu jelas bukan solusi terhadap dosa yang ada dalam pemikiran Yesus. Tidak heran di tempat lain dalam narasi Injil-Injil Yesus tidak pernah secara literal menyuruh orang untuk mencungkil mata atau memotong tangan orang berdosa. Gaya bahasa overstatement (menurut Robert Stain) seperti ini dipakai untuk memberikan penekanan dan menarik perhatian, tapi TIDAK BOLEH DIPAHAMI secara literal. Point utamanya disitu bukan untuk menyuruh orang secara literal mencungkil mata atau memotong tangan, tapi pertobatann.

    Cara pemahaman yang anda tawarkan disini akan membawa kepada radikalisme yang irrasional. Jika hamba-hamba TUHAN Gereja Sidang Jemaat Allah menggunakan pemahaman anda sebagai solusi terhadap dosa, maka organisasi ini akan dianggap sebagai organisasi fundamentalisme garis keras yang tidak menggunakan logikanya dalam memahami kitab suci.

  6. Hendra Mulyana - August 12, 2010

    Alangkah baiknya jika pembaca artikel ini membaca dengan saksama dan teliti, sehingga apa yang kurang jelas mungkin dapat terjawab melalui kesaksamaan membaca tersebut, misalnya:
    (1) Artikel ini tidak sedang menyuruh orang Kristen mencungkil mata jika ia berdosa dengan matanya, tetapi untuk melihat bahwa kata “mencungkil mata” itu sendiri memang mempunyai arti harfiah namun tidak dapat diterapkan hanya dengan membaca “mencungkil mata” itu saja karena ada syarat-syarat yang harus diperhatikan. Perhatikan juga kesimpulan yang diberikan pada akhir artikel.
    (2) Perhatikan juga catatan tahun-tahun yang diberikan mengenai para Rabbi yang terkait dengan Talmud Babilonia tersebut.
    (3) Perhatikan juga komentar saya bahwa ada bagian yang menggunakan bahasa harfiah dan ada bagian yang menggunakan bahasa kiasan, jadi bukan “keseluruhan” Perjanjian Baru menggunakan bahasa harfiah.
    Menyelidiki Kitab Suci dengan sikap hati yang lembut akan juga berpengaruh kepada karakter kita.
    Tuhan memberkati!

  7. heriwidagdo - August 22, 2010

    tks saya sangat diberkati artikel ini … saya dah baca dengan seksama … dan bukan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya … GBU

  8. retty - August 28, 2010

    Tuhan Yesus mengatakan: Matius 15:19 “Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat” – kenapa bukan hati yg dicungkil ya? kok hrs tangan atau mata? bukankah sebelum seseorang melakukan dosa (dosa apapun itu) dimulai dari pikiran? kenapa ngga kepala saja yg di penggal? aneh penafsirannya…….

  9. Hendra Mulyana - August 30, 2010

    Mengcungkil mata atau memenggal tangan memang bukanlah jalan keluar yang efektif untuk terlepas dari hukuman neraka, sama seperti melakukan Hukum Taurat juga bukan jalan keselamatan yang efektif; itulah sebabnya Tuhan Yesus datang untuk mengorbankan diri-Nya guna menebus kita dari dosa dan hukuman neraka. Dalam artikel ini tindakan itu dianggap sebagai tindakan bersyarat jika itu memang dapat menghindarkan seseorang dari hukuman neraka. Kesimpulan dalam artikel ini mengingatkan betapa berharganya penebusan yang Tuhan Yesus lakukan karena itu bukan hanya menyangkut pengampunan dosa saja tetapi juga proses pengudusan terhadap tubuh, jiwa dan roh.

    Kisah-kisah yang ditulis dalam Kitab Suci sebagian dimaksudkan untuk memberi pelajaran kepada kita agar tidak jatuh dalam kesalahan yang serupa. Kita perlu mewaspadai strategi licik dari si ular yang telah berhasil menjerumuskan manusia pertama Adam dan Hawa ke dalam dosa sehingga berefek turun-temurun kepada seluruh manusia. Si ular melakukan pendekatan kepada manusia dengan memberikan ide bahwa larangan untuk tidak memakan pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu hanyalah pernyataan yang dilebih-lebihkan, karena efeknya tidak akan seperti yang Allah katakan tetapi sebaliknya akan memberi manfaat dan nilai tambah kepada manusia. Masakan Allah melarang manusia melakukan sesuatu yang akan mengangkat harkat dan martabat manusia? Rasanya itu tidak dapat diterima secara logika manusia, demikian kurang lebih argumen yang diberikan si ular. Jika menggunakan istilah yang berhubungan dengan pembahasan ini adalah: ‘jangan memahami perintah Allah itu secara harfiah’, padahal larangan untuk ‘tidak memakan buah itu’ memang mempunyai arti harfiah. Namun kini kita tahu bahwa semua tipuan yang kedengarannya manis itu telah membawa manusia jatuh ke dalam dosa.

    Nah, jika kita telah mulai membiasakan diri untuk memahami apa yang memang harfiah sebagai kiasan atau pernyataan yang tidak harfiah, lama kelamaan kita akan memperluas penerapannya. Misalnya dengan alasan, karena ayat ini tidak bersifat harfiah maka ayat-ayat diseputarnya pun tidak bersifat harfiah; bahkan kemudian mencapai klimaksnya dengan berpendapat ‘keseluruhan Alkitab tidak boleh difahami secara harfiah’ bukannya ‘Alkitab tidak boleh seluruhnya difahami secara harfiah’. Pada waktu kita telah memilih bersikap demikian, maka ‘ketetapan-ketetapan’ Tuhan tidak lagi mengikat kita karena dengan mudah kita bisa menyatakan itu sebagai kiasan dan menafsirkannya menurut kehendak kita sendiri demi kesenangan dan kepentingan kita. Kita akan dibawa semakin jauh dari kehendak Tuhan dan berfikir bahwa kita taat tetapi sebetulnya tidak taat di mata Tuhan, sehingga apa yang dikisahkan dalam Matius 7:21-23 bisa menjadi akibatnya.

    Jadi berhati-hatilah dengan tipu muslihat si ular yang dapat menyamar sebagai malaikat terang. Bagian Alkitab yang menggunakan bahasa harfiah seharusnya ditafsirkan dengan menggunakan dasar (berangkat dari) arti harfiahnya, meskipun cara menafsirkannya bisa berbeda-beda. Tuhan memberkati!

  10. Salomo - September 27, 2010

    Sebetulnya apa sih bahaya dari anggapan bahwa “cungkillah” dan “penggallah” itu merupakan bahasa kiasan sehingga itu menjadi perdebatan? Trim’s.

  11. Salomo - September 27, 2010

    Sebetulnya apa sih bahaya dari anggapan bahwa “cungkillah” dan “penggallah” itu merupakan bahasa harfiah sehingga itu menjadi perdebatan? Trim’s.

  12. Hendra Mulyana - September 29, 2010

    Ada beberapa tingkatan arti/makna dari perkataan Tuhan Yesus dalam Mat 5:29-30 tersebut yang kita perlu bedakan:
    1. Arti pada waktu Yesus mengucapkannya kepada para pendengar khotbah-Nya di bukit.
    2. Arti pada waktu Matius menuliskan atau menuliskan kembali khotbah Tuhan Yesus untuk para pembaca kitab Injil Matius di masa penulisannya.
    3. Arti yang diberikan oleh konteks Alkitab yang lebih luas daripada perikop di mana ayat-ayat itu ada.
    4. Arti yang dimaksudkan untuk seseorang yang membaca ayat-ayat tersebut yang diberikan oleh Roh Kudus pada waktu ia membacanya.

    Pada waktu saya menyatakan bahwa perkataan Tuhan Yesus tersebut mempunyai arti harfiah, maka itu berkaitan dengan arti ke-satu dan ke-dua. Arti yang ke-tiga diperoleh melalui proses penafsiran lebih lanjut, sedangkan arti ke-empat sifatnya untuk diterima oleh pribadi yang bersangkutan saja. Pemahaman yang diperoleh dari keempat tingkatan arti tersebut akan menuntun kepada penerapan praktis ajaran Tuhan Yesus kepada masing-masing pribadi pembacanya selaras dengan jaman dan budaya di mana ia berada.

    Pandangan bahwa ucapan Tuhan Yesus itu merupakan pernyataan metafora kemungkinan pertama kalinya diperkenalkan oleh John Chrysostom, salah seorang Bapa Gereja dari Konstantinopel (sekarang Istambul di negara Turki daratan Eropa) yang hidup sekitar tahun 347-407AD. Dalam kebanyakan khotbahnya, John Chrysostom menafsirkan ajaran Alkitab secara praktis untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Chrysostom membahas pengajaran Tuhan Yesus ini dalam salah satu khotbahnya (Homily 17 atas kitab Injil Matius) yang menggunakan ayat dasar Mat 5:27-28. Namun saya lebih condong kepada pandangan dari Titus Flavius Clemens salah seorang Bapa Gereja yang hidup sekitar tahun 150-215AD dan mengepalai Sekolah Alkitab di Aleksandria karena beberapa alasan yang akan saya jelaskan dalam komentar berikutnya selain karena Clemens Alexandrinus hidup di masa yang lebih dekat dengan para Rasul. Meskipun demikian, saya setuju dengan prinsip yang dikemukakan oleh Chrysostom sbb.:
    ‘I mean, if choice were given, and thou must either, keeping thine eye, be cast into a pit and perish, or plucking it out, preserve the rest of thy body; wouldest thou not of course accept the latter? It is plain to everyone. For this were not to act as one hating the eye, but as one loving the rest of the body.’ (terjemahan oleh Rev. Sir George Prevost, Baronet, M.A.).

    Clemens Alexandrinus dalam tulisannya yang berjudul “Who is the rich man that shall be saved?” (diterjemahkan oleh Rev. Wiliam Wilson, M.A.) antara lain mengatakan:
    ’24. You may even go against wealth. Say, “Certainly Christ does not debar me from property. The Lord does not envy.” But do you see yourself overcome and overthrown by it? Leave it, throw it away, hate, renounce, flee. “Even if thy right eye offend thee,” quickly “cut it out.” Better is the kingdom of God to a man with one eye, than the fire to one who is unmutilated. Whether hand, or foot, or soul, hate it. For if it is destroyed here for Christ’s sake, it will be restored to life yonder.’

    Meskipun saya berpendapat bahwa pernyataan Tuhan Yesus “cungkillah” dan “penggallah” itu merupakan bahasa harfiah, sementara yang lain menganggap itu kiasan atau bahkan gaya bahasa hiperbola; kelihatannya hasil penafsiran yang bersifat aplikatif sama-sama tidak mengarah kepada pencungkilan mata ataupun pemenggalan tangan, hanya saja kedalaman maknanya berbeda.

  13. Hendra Mulyana - September 30, 2010

    Hal-hal lain yang menjadi pertimbangan saya untuk menganggap perkataan Tuhan Yesus “cungkillah” dan “penggallah” merupakan bahasa harfiah adalah sbb.:

    (1) Perikop Mat 5:17-48 adalah mengenai Sikap dan Pandangan Tuhan Yesus terhadap Hukum Taurat yang Ia sampaikan kepada orang-orang Yahudi dari Galilea, Dekapolis dan Yudea; dengan demikian pengajaran Tuhan Yesus berkaitan erat dengan Hukum Taurat yang dikenal dan diikuti oleh orang-orang Yahudi di abad ke-1 tersebut. Chrysostom kelihatannya menyampaikan khotbahnya dengan penafsiran aplikatif sehingga lebih berkaitan dengan cara hidup orang-orang Kristen Yunani di abad ke-4.

    (2) Orang-orang Yahudi di abad ke-1 mengenal adanya hukuman mati dan masih diterapkan seperti misalnya apa yang mereka lakukan terhadap Tuhan Yesus dan beberapa yang dilakukan di bawah persetujuan Saulus termasuk terhadap Stefanus. Mereka juga mengenal pemenggalan tangan seperti yang diajarkan para rabi Yahudi di abad ke-1 dan ke-2 yang dicatat dalam kitab Talmud Babilonia seperti yang telah saya singgung dalam komentar sebelumnya.

    (3) Tuhan Yesus sendiri dalam ayat 17-18 mengatakan bahwa Ia tidak hendak meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi sebelum semuanya terjadi; bahkan Ia memberikan penekanan makna yang lebih tegas dari aturan moral dalam hukum Taurat. Chrysostom sendiri dalam khotbahnya (Homily 16 atas kitab Injil Matius) yang mengambil ayat dasar Mat 5:17 mengemukakan a.l.:
    ‘Wherefore then can He have said this? Not at random, nor vainly: but inasmuch as He was proceeding to ordain commandments greater than those of old,…….
    …… the things which He was about to introduce were a sort of addition, not however lessening, but enhancing virtue; ……’
    Ia sedang berbicara tentang kehidupan keagamaan yang lebih baik dari hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (ayat 20).

    (4) “Cungkillah” dan “penggallah” yang dimaksud Tuhan Yesus bukanlah merupakan tindakan hukuman atas anggota tubuh karena dosa yang dilakukannya, tetapi merupakan tindakan pencegahan dari dosa “berzinah di dalam hati” yang dapat ditimbulkan seperti yang Tuhan Yesus kemukakan dalam ayat 28. Jadi mata atau tangan dalam ayat-ayat ini dianggap sebagai penyebab timbulnya atau terbangkitkannya keinginan berdosa di dalam hati, bukan sebagai alat dalam melakukan dosa perzinahan. Dalam khotbahnya (homily 17 Matius) Chrysostom melihat itu sebagai hukuman atau menyalahkan terhadap anggota tubuh yang menjadi sandungan seperti berikut ini, sehingga mempengaruhi kesimpulan yang ia buat:
    ‘for nowhere doth He say that our flesh is to be blamed for things, but everywhere it is the evil mind that is accused.’
    Mencungkil hati atau memenggal kepala tentu saja lebih tidak memungkinkan dibandingkan dengan mencungkil mata atau memenggal tangan.

    (5) Pengajaran Tuhan Yesus tentang hukum Taurat dalam Matius 5:17-48 adalah dalam konteks Perjanjian Lama, karena hukum Kasih Kristen dalam Perjanjian Baru hanya diajarkan kepada murid-muridNya untuk kemudian diteruskan kepada segala bangsa. Injil Keselamatan tentang pertobatan dan pengampunan dosa dalam nama Yesus baru diberitakan setelah Amanat Agung diberikan, jadi untuk para pendengar khotbah di bukit belum dapat dikaitkan dengan anugerah keselamatan sebagaimana cara menafsirkan yang dilakukan Chrysostom dan kita di abad ini.

    (6) Meskipun dalam hidup-Nya di dunia Tuhan Yesus menunjukkan bahwa Ia berkuasa mengampuni dosa, Perjanjian Baru belumlah dimeteraikan oleh darah-Nya sampai Ia mati disalibkan. Karena Tuhan Yesus tidak mau meniadakan satu titikpun dari hukum Taurat, termasuk tidak mau meniadakan hukuman mati bagi pezinah yang ditetapkan dalam hukum Taurat, sedangkan Ia datang bukan untuk menghakimi dunia tetapi menyelamatkannya; maka Tuhan Yesus menggunakan pembatasan dengan syarat terhadap pelaksanaan hukuman jasmani ini selama pertobatan dan pengampunan dosa dalam nama-Nya belum diberitakan. Contoh Yoh 8:7 menunjukkan bahwa Tuhan Yesus tidak bermaksud meniadakan aturan hukuman mati dalam hukum Taurat bagi wanita yang berzinah itu, tetapi membatasi pelaksanaannya dengan persyaratan “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Prinsip pembatasan dengan syarat sepeti ini pun diterapkan dalam tindakan mencungkil mata dan memenggal tangan seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya, meskipun “cungkillah” dan “penggallah” sendiri memang bersifat harfiah bagi para pendengar khotbah-Nya di bukit di masa itu.

  14. Hendra Mulyana - October 4, 2010

    To Salomo: bahaya menganggap “cungkillah” dan “penggallah” itu sebagai bahasa kiasan telah dijelaskan dalam komentar no 9 tgl 30 Agustus 2010 y.l. Akan tetapi dari kedua komentar Sdr, saya menyimpulkan bahwa yang akan Sdr tanyakan sebetulnya adalah “bahaya jika itu dianggap sebagai bahasa harfiah”.
    Sebetulnya, jika ditafsirkan dengan benar (baik penafsiran dari sudut pandang Hukum Taurat Yahudi maupun dari sudut pandang Kristen yang mengenal keselamatan di dalam Tuhan Yesus sebagai anugerah) menganggap itu sebagai bahasa kiasan tidak berbahaya karena tidak akan membuat orang tersebut memutuskan untuk mencungkil mata atau memenggal tangan tetapi membuatnya sadar bahwa ia tidak dapat menyelamatkan diri dengan usahanya sendiri. Itu akan membuat mereka menyadari bahwa Juruselamat sangat diperlukan.

    Namun kelihatannya yang menjadi masalah di masa kini adalah: ada orang-orang Kristen yang suka memojokkan orang-orang dari agama lain yang masih menerapkan hukuman penggal sehingga mereka yang dipojokkan berbalik untuk menunjuk khotbah di bukit ini sebagai hal yang serupa. Untuk mengatasi serangan balik ini, orang-orang Kristen yang telah menyerang lebih dahulu itu mengemukakan alasan: itu bukan bahasa harfiah tapi kiasan. Sekarang jika saya mengemukakan bahwa itu adalah bahasa harfiah, akan menjadi masalah bagi mereka. Sebetulnya motivasi yang menyebabkan adanya orang-orang Kristen yang memojokkan agama lain itu adalah alasan humanisme, yaitu hukuman penggal itu kejam atau tidak manusiawi. Jika kita melihat bagaimana dulu William Carey memperjuangkan dihapuskannya persembahan manusia hidup-hidup di sungai Gangga, atau perjuangan dari Don Richardson untuk menghapuskan upacara Tarop (anak perdamaian) di kalangan suku Dani di Papua/Irian; pendekatan mereka bukanlah sekedar humanisme, tetapi berita keselamatan di dalam Tuhan Yesus yang telah menjadi korban pendamaian bagi manusia. Jadi yang diperlukan bukanlah memojokkan mereka, tetapi memberitakan kabar baik bahwa untuk pengampunan dosa dan keselamatan, Allah telah menyediakan jalan melalui pengorbanan AnakNya, Yesus Krisus.

    Cara orang mengatasi masalah berbeda-beda, misalnya ada yang menjauhkan api, pemantik api dan listrik dari rumahnya untuk menghindarkan kebakaran; namun lebih banyak yang sekarang tetap menggunakan api dan listrik tapi dengan cara yang baik dan benar serta dengan kehati-hatian. Kita tidak perlu takut untuk mengakui itu adalah bahasa harfiah, karena keselamatan kita diperoleh melalui anugerah yang di dalamnya termasuk hidup sebagai manusia baru yang dipimpin oleh Roh Kudus, bukan karena perbuatan kita melakukan hukum Taurat. Ajaran Tuhan Yesus tersebut adalah dalam rangka menjelaskan nilai moral yang dituntut dalam Hukum Taurat, sedangkan kita sebagai anak-anak Allah dapat hidup dalam cara hidup yang lebih baik karena memberi diri dipimpin oleh Roh Kudus (Yoh 1:12-13, Yoh 3:5-8, Rom 8:1-14).

    Tuhan memberkati!

  15. Salomo - October 5, 2010

    Terimakasih untuk penjelasannya. Tapi mungkin ada salah tulis, seharusnya “Sebetulnya, jika ditafsirkan dengan benar … menganggap itu sebagai bahasa HARFIAH tidak berbahaya karena …”, jadi bukan KIASAN tapi HARFIAH. GBU.

  16. Noman - October 6, 2010

    “sama seperti melakukan Hukum Taurat juga bukan jalan keselamatan yang efektif” > apakah maksudnya? bukankah Hukum Taurat diberikan oleh Tuhan? Terimakasih

  17. Hendra Mulyana - October 7, 2010

    To Salomo: Terimakasih, berarti anda sudah membaca komentar saya dengan saksama. Memang benar ada kesalahan tulis, seharusnya seperti koreksi yang anda berikan. God bless you!

  18. Hendra Mulyana - October 8, 2010

    To Noman: Saya akan coba jelaskan sbb…

    (1) Dalam Hukum Taurat ada janji seperti Imamat 18:5b mengatakan “Orang yang melakukannya, akan hidup karenanya” dan ditegaskan oleh Tuhan Yesus dalam Mat 19:16-17, Luk 10:25-28 juga dikutip oleh Rasul Paulus dalam Rom 10:5. Namun karena manusia tidak dapat melakukannya dengan ketaatan yang sempurna, maka tidak ada orang yang berhasil selamat oleh karena melakukan Hukum Taurat (kecuali Yesus Kristus, Anak Allah yang menjadi manusia). Dalam Maz 14:2-3 dan Maz 53:3-4 dikatakan bahwa semua orang telah menyimpang/menyeleweng/bejat dan seorangpun tidak ada yang berbuat baik, ini juga dikutip oleh Rasul Paulus dalam Rom 3:10-12 dan disimpulkan dalam ayat 23.

    (2) Mungkin ada orang-orang yang dinilai (oleh dirinya sendiri ataupun oleh orang-orang lain) sebagai seorang yang baik, saleh dan tulus hati seperti Kornelius, atau seorang yang taat dalam melakukan Hukum Taurat seperti Saulus dan seorang muda yang kaya yang datang kepada Tuhan Yesus; akan tetapi di mata Allah mereka belum memenuhi kriteria kesalehan yang dituntut untuk dapat hidup kekal sehingga mereka masih harus diperkenalkan untuk datang kepada Tuhan Yesus dan mengikuti-Nya (Yoh 5:39-40, Kis 10:30-48, Fil 3:4-9, Mat 19:20-23).

    (3) Dalam Hukum Taurat ada korban penghapus dosa atau korban penebus salah, namun itu hanya berlaku untuk dosa atau kesalahan yang disebabkan oleh kelemahan, keteledoran/kelalaian dan ketidak tahuan; jadi tidak ada korban penghapus dosa atau penebus salah untuk dosa/kesalahan yang dibuat dengan sengaja. Lain halnya dengan darah Yesus yang dapat menyucikan kita dari segala dosa (I Yoh 1:7)

    Itulah sebabnya Rasul Paulus menuliskan “Sebab tidak seorangpun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat, … Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus.” (Rom 3:20a, 23-24 TB) maksudnya: meskipun jika melakukan Hukum Taurat orang dapat hidup karenanya, tetapi karena manusia tidak dapat melakukannya dengan ketaatan yang sempurna maka secara efektif manusia tidak dapat dibenarkan karena melakukan hukum Taurat, manusia bagaimanapun baiknya membutuhkan anugerah keselamatan di dalam Tuhan Yesus Kristus Sang Juruselamat.

    Jadi untuk apa Allah memberikan Hukum Taurat? Dalam kaitan dengan pertanyaan ini adalah untuk memperkenalkan kepada manusia standar ukuran kebenaran yang Allah tetapkan bagi manusia yang hanya dapat dipenuhi oleh Yesus Kristus karena Yesus Kristus tidak pernah berbuat dosa. Oleh Yesus Kristus jugalah janji dalam Imamat 18:5 itu tergenapi, yaitu karena kebenaran-Nya Ia bangkit dari antara orang mati dan hidup selama-lamanya. “Sebab apa yang tidak mungkin dilakukan hukum Taurat karena tak berdaya oleh daging, telah dilakukan oleh Allah. Dengan jalan mengutus Anak-Nya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa, Ia telah menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging, supaya tuntutan hukum Taurat digenapi di dalam kita, yang tidak hidup menurut daging, tetapi menurut Roh.” (Roma 8:3-4 TB)

    Demikian penjelasan saya, Tuhan memberkati!

  19. Noman - October 11, 2010

    Terimakasih, jawabannya cukup jelas. Tapi saya masih perlu penjelasan tentang “hanya saja kedalaman maknanya berbeda” apa sih maksudnya?

  20. Noman - October 18, 2010

    Comment saya minggu yang lalu tidak dimuat> berarti tidak ada perbedaan kedalaman makna dong ya?

  21. Hendra Mulyana - October 29, 2010

    To Noman: “hanya saja kedalaman… maknanya berbeda” itu maksudnya adalah

    Jika itu dianggap sebagai bahasa kiasan mungkin hanya akan memberi makna harus menjauhi dosa;

    Namun jika itu dianggap sebagai bahasa harfiah akan memberi makna sebagai berikut:

    (1) Perzinahan itu betul-betul dibenci Tuhan, sehingga jika harus kehilangan mata kanan atau tangan kanan pun untuk menghindarinya masih lebih baik daripada jatuh ke dalamnya.

    (2) Neraka itu betul-betul ada, sehingga jika harus kehilangan mata kanan atau tangan kanan pun untuk menghindarinya masih lebih baik daripada masuk ke dalamnya.

    (3) Upah dosa adalah maut yaitu kematian kekal di dalam siksaan neraka itu sungguh-sungguh demikian, sehingga jika harus kehilangan mata kanan atau tangan kanan pun untuk menghindarinya masih lebih baik daripada masuk ke dalam neraka.

    (4) Manusia tidak dapat selamat dari hukuman neraka jika mau mengandalkan usaha/perbuatannya sendiri dalam melakukan Hukum Taurat, karena jika sungguh-sungguh ingin selamat karena melakukan Hukum Taurat maka satu per satu bagian tubuh yang menyesatkan harus dibuang. Manusia membutuhkan anugerah penebusan yang dari Tuhan. Nabi Yesaya mengatakan “segala kesalehan kami seperti kain kotor” (Yes 64:6), bahkan Ayub yang disebut Allah sebagai seorang yang saleh-jujur-menjauhi kejahatan pun menaruh pengharapan akan Penebusnya yang hidup (Ayub 19:25).

    (5) Yang kekal jauh lebih berharga dari yang fana/sementara (II Kor 4:17-18).

    (6) Pernikahan mempunyai makna yang luhur dan harus dihargai karena itu merupakan gambaran dari hubungan Kristus dengan Jemaat (sebagai kumpulan orang percaya bukan sebagai individu orang percaya) dengan menyerahkan diri-Nya bagi jemaat untuk menguduskannya – (Ef 5:32).

    Demikian penjelasan saya. Tuhan memberkati!

    “Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya.” (Amsal 27:17 TB) Silahkan jika ada yang mau memberi komentar-komentar yang bersifat kritik, saya terbuka untuk itu. Saya juga menghargai prinsip yang diajarkan oleh agama lain: “Jangan membantah/berdebat kecuali dengan bantahan yang terlebih baik (cara yang paling baik).”

    Doa saya adalah agar pada waktu orang-orang yang belum diselamatkan membaca tulisan-tulisan ini, Roh Kudus menginsafkannya akan dosa, kebenaran dan penghakiman (Yoh 16:8) dan menuntunnya untuk menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya secara pribadi (I Kor 12:3).

  22. Udin Timothy Sinaga - December 4, 2010

    Tentu merupakan sebuah kiasan dong, kalau tidak kan berbahaya, bisa-bisa banyak Hamba Tuhan kehilangan mata, juga tangan. Ha..ha..ha..

  23. Hendra Mulyana - December 6, 2010

    Untuk Pdt. Udin T.S.:
    Terimakasih, saya menghargai kebebasan berpendapat semua orang.
    Kelihatannya bapak menyadari banyak “Hamba Tuhan” yang masih belum bertobat sungguh-sungguh, hehe…
    Tuhan memberkati pelayanan bapak dalam membawa jiwa-jiwa kepada pertobatan dan menggembalakan mereka agar bertumbuh sebagai manusia baru dalam Tubuh Kristus!

  24. Johnny Wuisan - January 17, 2011

    @Udin Timothy Sinaga: wah, jadi kiasan atau bukannya itu ditentukan dari dampaknya ya?
    Tapi kalau saya lihat di pembahasan sepertinya tidak mengarah ke bahaya itu (bingung jadinya ?!)

  25. Adi Wirawan - January 19, 2011

    “Ha ha ha” itu sepertinya bisa diterjemahkan “Just kidding”.
    Kalau tidak memahami bhw dalam pembahasan tidak mengarah ke bahaya itu, tidak mungkin bpk Pdt Udin bisa menjadi Sekda Sumut I. Betul khan pak Pdt Udin?

  26. Hendra Mulyana - January 19, 2011

    Jika ketakutan akan bahaya yang kita pikir bisa terjadi mempengaruhi cara kita menerima ayat-ayat Alkitab, bisa dihasilkan penafsiran seperti Saksi Yehuwa yang menafsirkan bahwa orang yang mati dalam dosa (di luar Kristus) tidak akan masuk neraka sebagai tempat siksaan kekal tetapi lembah Ben Hinom.

  27. Handoko - March 31, 2012

    Kita harus memahami inti dari kehendak Allah yang tertuang dalam Kitab Suci. Karena Tuhan menginginkan semua manusia dapat hidup kekal bersamNya. Untuk itu kita harus serius menanggapi seruan Tuhan.
    Mengenai “mencungkil” dan “memotong” yang sedang dibicarakan disini, itu haruslah benar-benar dilakukan, apabila itu merupakan satu-satunya jalan yang harus ditempuh agar kita terhindar dari neraka. Dan setelah kita melakukannya, tidak ada jaminan bahwa kita tidak akan melakukannya lagi diwaktu yang akan datang, atau bagian tubuh mana lagi yang harus dipotong atau dibuang. Tuhan ingin memberi tahu bahwa untuk dapat hidup kekal bersamaNya, haruslah benar-benar dalam kondisi rahmat (kudus). Dan rahmat (yang mengkuduskan kita) itu tentulah kita dapatkan dari Tuhan.
    Jadi masih ada cara lain untuk tidak “mencungkil” atau “memotong” agar kita menjadi kudus seperti yang Tuhan kehendaki yaitu dengan memerima rahmatNya yang selalu disediakan untuk kita melalui misteri-misteriNya yaitu Sakramen-SakramenNya.

Tulis Komentar Anda