OPEN THEISME & Teologi Masa Kini

Fisher Humphreys menuliskan dalam sebua artikel menarik tentang Open Theism yang menjadi ciri trend teologi masa kini, perlu direnungkan oleh banyak hamba Tuhan yang melayani pada tingkat gereja lokal.

Open Theisme adalah suatu pengertian Kristiani tentang Allah yang berbeda dari theisme kristen klasik pada tentang sifat-sifat Allah. Seorang yang menganut Open Theisme menolak beberapa sifat Allah yang dipegang oleh Theosiem klasik, dan membaharui pengertian beberapa sifat illahi yang dikenal selama ini.

Kebanyakan tokoh Open Theisme adalah orang-orang Injili Amerika yang konservatif dalam pandangan tentang ketidak bersalahan Alkitab, contohnya. Beberapa teolog yang bukan orang Injili Amerika yang memegang pandangan serupa misalnya Jurgen Moltmann dan John Polkunghorne.

Open Theisme mulai dibicarakan secara luas tahun 1994 melalui sebuah publikasi buku berjudul The Openness of God, yang ditulis oleh 5 orang: Richard Rice, John Sanders, Clark Pinnock, William Hasker dan David Basinger.

Sekalipun jumlah teolog yang menyatakan diri sebagai bagian dari Open Theisme masih sedikit, tetapi topik tersebut telah luas didiskusikan di kalangan Injili. Dalam majalah Christianity Today, sebagai contoh, disebutkan bahwa ada 3 diskusi luas dari pengertiasn tentang Allah.

Open Theisme telah menciptakan suatu kontroversi di Baptist General Conference, suatu denominasi yang dimulai di Swedia dan kira-kira ada 850 gereja di Amerika. Salah satu tokohnya adalah George A. Boyd, selama 16 tahun ia sebagai profesor di Bethel College; sedangkan seorang yang berlawanan dengan Open Theisme adalah John Piper.

Open Theisme telah diperedebatkan di kalangan Masyarakat Teologis Injili/Evangelical Theological Society (ETS). Tahun 2001, ETS mengadakan voting &0% dan 18% untuk mengkonfirmasikan pandangan Theisme klasik melawan Open Theisme.

Tahun 2003, Pinnock dan Sanders diperiksa oleh sembilan anggota komite ETS dan pada rapat tahunan ETS secara bulat mempertahankan Pinnock tetapi tidak bisa mempertahankan Sanders. Tahun 2004, Sanders diberhentikan dari posisi mengajarnya di Huttington College.

Tahun 1999 Southern Baptist Convention mengadopsi suatu reolusi melawan Open Theisme. Tahun 2000 pada artikel iman Baptis Faith and Message ditambahkan kalimat tentang Allah yang melawan Open Theisme.

Jika di dalam Theisme klasik, salah satu sifat Allah adalah kekal. Karena bagi Allah masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang adalah sama saja, yaitu kekinian. Tentu saja, Allah menyadari bahwa manusia mengalami waktu secara berurutan, tetapi Allah tidak.  Sebagaimana seorang novelis berada di atas waktu ketika ia menuliskan novelnya, demikian juga dengan Allah, mengatasi waktu bumi ini. Bagi beberapa penganut Theisme klasik bahwa kekekalan Allah-lah yang membuat mungkin bagi Allah untuk mengetahui masa depan tanpa perlu menentukan masa depan.

Pengikut pandangan Open Theisme beralasan bahwa Alkitab tidak mengajarkan bahwa Allah adalah kekal; mereka juga berpandangan bahwa Allah sangat terlibat dalam waktu dan sejarah. Paling tidak seorang yang dulunya percaya tentang kekekalan Allahtelah mengakuinya dalam buku “Mere Christianity”, CS Lewis berkata, “Ide tentang kekekalan Allah telah cukup menolong saya. Jika hal ini tidak menolong anda, tinggalkan saja … Hal ini tidak ada dalam Alkitab dan dalam pengakuan iman manapun.” Jadi kelihatannya bagi saya ia benar, dan ini adalah implikasi dari pengetahuan illahi.

Sifat Allah kedua yang dipegang secara klasik adalah bahwa Allah tidak mungkin mengalami penderitaan (Impassibility). Sebagaimana 39 Artikel dari Gereja England menyatakannya, bahwa Allah adalah “Tanpa tubuh, bagian dan hasrat”. Penganut Open Theisme berpendapat bahwa Alkitab tidak menyatakan bahwa Allah tidak memiliki hasrat dan bahkan Alkitab sering menggambarkan Allah mengalami emosi termasuk penderitaan. Saya rasa para penganut Open Theisme benar dalam hal ini. Paling tidak 3 teolog Baptis kontemporer setuju secara persuasif bahwa Allah mengalami penderitaan; tokoh seperti Paul Fiddes dari Regent Park Colleges di OXford, Warren McwWilliams dari Oklahoma Baptist University, dan Frank Tupper dari Divinity School di Wake Forest University. Juga ilmuwan Perjanjian Lama Baptis  bernama Samuel Balentine di Union Theological Seminary. Nancey Murhpy, seorang filsuf ilmu pengetahuan di Fuller Theological Seminary juga memegal pandangan serupa. Tidak ada satupun dari antara mereka yang menjadi bagian dari gerakan Open Theisme.

Sifat illahi ketiga yang dipegang oleh Theisme klasik adalah immutability, yang berarti bahwa Allah tidak dapat berubah. Penganut Open Theisme berargumentasi bahwa Alkitab mengajarkan bahwa Allah adalah setiam bukannya tidak berubah. Bahkan, menurut mereka, Alkitab mengajarkan bahwa Allah berubah dalam pengertian bahwa A;;ah bereaksi terhadap respon manusia yang menanggapi inisiatif Allah.

Penganut Open Theisme berkata bahwa ketiga sifat Allah nampak dalam tradisi Kristen bukan karena Alkitab memang mengajarkan demikian tetapi karena para teolog pada jaman patristik mengambilnya filosofi Yunani masuk ke dalam kekristenan. Theisme klasik menurut mereka, adalah ciptaan hibrid yang merupakan gabungan elemen-elemen Alkitab dan elemen dari filsafat. Pinnock menuliskan, “Doktrin klasik tentang Allah memiliki asal mula ganda, yaitu dari dalam Alkitab dan dari dalam pemikiran Yunani … ini perlu di kristenkan (Most Moved Mover). Pengikut Open Theisme tidak mengklaim bahwa mengadopsi ide filosofis selalu salah, tetapi mereka berkata bahwa ketiga sifat Allah tersebut adalah tidak berdasar kepada Alkitab.

Pengikut Open Theisme berkata benar bahwa Plato dan Aristoteles mengajarkan tentang Allah itu immutable. Plato berargumentasi bahwa Allah tidak dapat berbuah karena perubahan dapat mengarah ke “lebih baik” atau “lebih buruk”. Jika Allah berubah menjadi lebih baik, maka berarti Allah tidak sempurna, dan jika Allah menjadi lebih buruk, Allah juga tidak sempurna. Dan salah satu gelar yang diberikan Aristoteles kepada Allah adalah “The Unmoved Mover”, Dia yang sementara tidak tergerakkan, menggerakkan semesta dengan menjadi obyek dari hasratnya sendiri. Clark Pinnock memberikan signal tentang penolakkannya atas pengertian tentang Allah seperti ini dengan memberikan judul buku terbarunya “Most Moved Mover”.

Open Theisme juga menuntut suatu revisi, meskipun bukan penolakkan, atas dua sifat Allah lainnya. Salah satunya adalah kedaulatan. Pengikut Open Theisme menegaskan bahwa ALlah berdaulat, tetapi mereka menolak bahwa kedaulatan berarti Allah mengendalikan segala sesuatu yang terjadi. Mereka menolak determinisme teologis yang selama ini dikaitkan dengan Agustinus dalam gereja Katolik, dan Calvinisme dalam gereja Protestan. Mereka menegaskanbahwa Allah yang berdaulat telah menetapkan untuk menciptakan semesta dari manusia yang merdeka yang dengan mana Alah menginginkan untuk masuk dalam hubungan kasih yang hanya bisa dilakukan jika manusianya merdeka, atau bebas.

Alternatif biasanya kepada Calvinisme adalah Ameinianisme. Seperti Arminianisme, mereka yang percaya Open Theisme menegaskan Theisme kehendak bebas. Dengan kebebasan, baik Arminianisme dan Open Theisme mengartikannya kemerdekaan libertian, kebebasan yang tidak dikendalikan oleh Allah, dibanding dengan kebebasan compatibilis, kebebasan yang secara misterius cocok dengan apa ang telah Allah putuskan tentang pilihan yang diambil manusia. Sebagai Pinnock menuliskan, “Sejarah tidak diskenariokan dan kebebasan bukan khayalan.”

Namun demikian, Open Theisme percaya bahwa Arminianisme klasik tidak sepenuhnya konsisten, jadi mereka berjalan lebih jauh dalam hal sifat  illahi kelima, yang disebut ‘maha tahu.’ Pengikut Open Theisme menegaskan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang harus diketahui, itu adalah pandangan klasik. Tetapi kemudian mereka menambahkan suatu ide lain, yaitu bahwa, bahwa segala sesuatu yang belum ada tidak dapat ketahui, sekalipun oleh Allah. Lebih tepatnya, keputusan bebas masa depan manusia masih belum ada, jadi Allah juga tidak mengetahuinya. Allah mengetahuinya ketika itu dibuat, dan akan mengertinya lebih baik daripada pembuatnya, dan sampai itu dibuat atau dijadikan, Allah hanya mengetahui kemungkinan, bukan mengetahui yang sebenarnya bakal terjadi.

Gregory Boyd mendaftarkan contoh dalam Kel. 32:14, Yoel 2:13-14, Kej. 6:5-6, 1 Sam. 15:11,35, Yes. 5:3-7, Bilangan 14:11dsb. sebagai dukungan kepada posisi Open Theisme dalam hal pengertian baru terhadap ‘kemahatahuan Allah’.

Rabbi Harold Kushner dalam bukunya “When Bad Things Happen to Good People” lebih mendalilkan teologi proses. Ia menuliskan bahwa allah yang terbatas tidaklah mahakuasa dan maha tahu tetapi kekurangan kekuatan dan pengetahuan yang diperlukan untuk menghindarkan kejahatan yang terjadi di dunia kita. Sang allah ini tidak menciptakan dunia dari ‘ketiadaan’ tetapi paling tidak telah turut membentuk seperti yang kita lihat sekarang.

Pengikut Open Theisme menolak pandangan teologi proses tersebut. Bagi mereka Allah tetaplah Allah yang tidak terbatas, maha tahu dan maha kuasa sekalipun mereka percaya bahwa ciptaan mencakup pembatasan diri Allah dan tindakan pengorbanan diri. Allah berubah ketika ia menjadi pencipta bumi ini.

Artikel oleh: April 23, 2010  Tags:   Kategori : Artikel  Sebarkan 

3 Komentar

  1. Ekaputra Tupamahu - April 26, 2010

    Great article pak Budi. Tapi penolakan terhadap impassibility of God dan immutability of God memiliki dampak teologis dan filosofis yang sangat besar. Hal ini tidak disadari oleh banyak orang. Saya sangat menyarankan buku yang ditulis oleh Thomas G. Weinandy, dosen teologi di Oxford University, “Does God Suffer?” (dicetak oleh University of Notre Dame Press tahun 2000).

    http://www.amazon.com/Does-God-Suffer-Thomas-Weinandy/dp/0268008906

    Ini adalah sebuah buku yang cukup baik untuk memberikan penjelasan filosofis, biblika, historis, dan teologis kepada doktrin klasik kekristenan tersebut (i.e. impassibility of God). Saya pikir pemahaman bahwa Allah bisa berubah, bisa menderita, dll., adalah tuntuan para pemikir modern yang perlu dipikirkan lagi matang-matang secara serius implikasinya.

  2. yusuf nifu - April 27, 2010

    syalom dalam KRISTUS,mengenai sifat2 ALLAH, saya berpendapat demikian: ada beberapa ketentuan yang perlu kita perhatikan di dalam ALKITAB dari perjanjian lamah dan perjanjian baru, disitu jelas sekali bahwa ALLAH itu ESA/KEKAL SELAMA LAMANYA, kenapa kita harus percaya pada pemikir-pemikir sekarang ini diamana di saman tehnologi ini banyak sekali orang yang mengaku pintar tapi perlu kita ketahui bahwa walaupun manusia itu pintar tetapi tidak sama dengan kekuasaan ALLAH atas dunia ini, jadi saya hanya percaya kepada ALLAH BAPAK,YANG MENJADIKAN LANGIT DAN BUMI BESERTA ISINYA, DAN KEPADA ALLAH ANAK YANG TELAH MEMBEBASKAN SAYA DARI BELENGGU DOSA, DAN KEPADA ALLAH ROHULKUDUS YANG SELALU MENGHIBUR SAYA DI KALA SAYA DALAM KEBIMBANGAN.

  3. Pdt. Tahir Wijaya - January 30, 2012

    terima kasih untuk artikelnya pak budi, beberapa komentar dari saya adalah:
    1. Jurgen Moltman tidak dikategorikan dalam pemahaman open-theism, dia lebih dikenal dalam teologi pengharapan. memang ada titik temunya dengan Moltmann dalam soal passibility and mutability of God.
    2. Open-theism, berbeda dengan process theology, open theism tetap memegang Allah itu berdaulat tetapi secara sukarela Allah membatasi pengetahuannya untuk memberikan ruang kebebasan bagi manusia untuk menyatakan kasih yang sejati, karena kasih yang sejati itu berarti bisa memilih untuk mengasihi ataupun tidak mengasishi. karena itu masa depan itu ditentukan oleh keputusan dan tindakan dari makhluk ciptaan yang mempunyai freewill, manusia dan malaikat/iblis. Allah hanya mengetahui masa lalu dan masa kini, tetapi Allah sendiri tidak mengetahui mengenai masa depan, karena masa depan itu sendiri sifatnya belum terjadi. karena itu Allah hanya mengetahui dan merespon kemungkinan-kemungkinnan yang akan terjadi di masa depan, berdasarkan masa lalu dan masa kini. bahan Gregogy Boyd mengembangkan teori partly open and partly settled, di mana dalam beberapa hal yang menyangkut keselamatan dan gereja, Allah sudah menetapkan, tetapi secara umum masa depan terbuka dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan.
    bagi pemahaman saya, setiap teologi baru, sebenarnya adalah reaksi dan tanggapan terhadap kekurangan ataupun kemandulan dari teologi yang lama. di sini Open-theism mencoba melihat dari sisi alkitab sendiri, begitu banyak ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah bisa menyesal, mengubah keputusan, dipengaruhi oleh doa, bahkan tidak sepenuhnya mengetahui kepastian masa depan. Tetapi sayangnya, setiap teologi juga membawa kecendrungan menjadi “ekstrem” sehingga membuat konsepnya menjadi seimbang juga.
    Dalam hal ini, saya kira Alkitab jelas menyatakan juga bahwa Allah itu transenden sekaligus imanen, di luar waktu tetapi juga di dalam waktu, kekal adanya tetapi juga berinteraksi dengan sejarah manusia, Allah maha berdaulat tetapi juga digambarkan secara sukarela membatasi diriNya. dalam hal ini kita dapat melihat dengan jelas, kepenuhan Allah dalam Kristus, di mana Firman yang kekal telah menjadi manusia dan sama dengan kita ( Yoh 1)
    di sini pemahaman yang komprehensip sangat penting untuk tidak terjatuh dalam polarisasi yang tidak perlu, dan memang banyak kebenaran Alkitab yang bersifat paradoks dan harus kita pegang dua-duanya, tapi meniadakan satu dengan lain.
    Open theism sendiri dalam dirinya bisa bersifat self-destructive, tetapi mengambil pelajaran yang berharga dari open-theism saya kira adalah satu tindakan yang bijaksana.

    salam

    pdt tahir
    TTC Singapore

Tulis Komentar Anda