Cinta Kasih Tidak Pernah Hilang

Dalam bukunya yang berjudul, “Love is A Verb”, Gary Chapman menceritakan tentang kisah Sarah B. Hawkins, sebuah kisah nyata yang memberi nilai abadi, yang menceritakan bahwa waktu kita mengijinkan cinta kasih bersembunyi, terhalang, atau terkubur, kita mungkin tidak bisa dengan mudah membawanya kembali ke permukaan. Sebaliknya jika kita membuka selubung cinta kasih yang tersembunyi, rasanya bagaikan menemukan harta karun.

“Aku menghabiskan sebagian besar hidupku sebagai orang dewasa dengan coba menetapkan jarak dari keempat saudara perempuanku. Masing-masing menyenangkan dan cantik, tetapi marupakan pengingat yang menyakitkan akan waktu dan tempat yang ingin kulupakan. Dalam upayaku menghapus masa kecilku, aku menghapus mereka juga, seolah-olah mereka tidak pernah ada.”

Aku termuda dari lima anak perempuan yang dimiliki ibuku dalam waktu tujuh tahun. Ibu adalah seorang yang terkenal cantik pada tahun 1950-an, terpikat seorang lelaki tampan yang sembilan tahun lebih tua. Ia menikahi ayah ketika ia baru setahun lulus dari sekolah menengah atas. Ia pernah mengatakan kepadaku bahwa ia tidak memiliki impian yang lebih besar dari menjadi istri dan ibu. Rumah masa kecilnya dipenuhi oleh cinta dari lima saudara lelakinya yang ramai, orang tua, dan banyak bibi, paman, dan sepupu yang secara rutin mampir. Ia meninggalkan satu-satunya rumah yang dikenalnya untuk memasuki rumah yang tidak dapat dibayangkannya.

Ayahku seorang aslkoholik yang kasar yang melakukan dan mengatakan hal-hal yang aku tahu jahat bahkan jika aku tidak sepenuhnya memahamiya. Ia seorang asing dalam hidup kami – pergi berminggu-minggu dan kemudian muncul di tengah malam untuk membangunkan kami semua dengan kekerasan.

Aku tidak pernah mendengar kisah masa kecil ayahku dan tidak pernah melihatnya sebagai seorang pribadi. Ia adalah siluet gelap yang mengendap-endap di jalan masuk hidup kami dan memerangkap kami dalam kegelapan.

Kami bertumbuh dengan mengingkari bahwa ia memiliki pengaruh atas kami. Tetapi ia memilikinya. Setiap kali kami berlari setengah tidur dari ranjang kami dengan piyama kami dan melihatnya memukuli ibu kami, kami terpengaruh – walaupun aku mengingkarinya.

Kebanyakan waktu aku bermain sendirian atau melekatkan diri pada teman-teman di lingkungan sekitar yang tampaknya memiliki keluarga yang normal. Setiap kali temanku harus masuk untuk makan malam bersama keluarganya, aku akan menunggu di luar lama setelah gelap dan dingin, memandangi jendela temanku dan merasakan sesuatu yang tidak dapat kujelaskan.

Pada akhirnya saudara-saudara perempuanku pergi kuliah, menikah, atau hanya menyingkir dari kesedihan yang permanen. Ibuku menghabiskan hari-harinya bekerja dan terjebak dalam kecepatan yang penuh kekuatiran dan kegugupan. Ia harus menanggung maslah keuangan yang ditinggalkan ayahku selama ia menghilang lama. Jika ia kembali, aku menghabiskan malam-malam yang gelisah karena kuatir ibu akan meninggalkannya dan lupa membawa aku.

Selama masa kecilku kami pindah sembilan kali, dan dengan setiap kepindahan itu rumah dan situasinya tambah parah. Aku menyingkir sesering aku bisa. Ketika akhirnya tiba giliranku meninggalkan rumah, aku pergi selamanya, tanpa rencana untuk kembali.

Setelah kuliah aku menelepon ke rumah untuk memeriksa ibuku, tetapi aku tidak berhubungan dengan kakak-kakaku. Aku tidak memiliki persamaan dengan mereka. Aku mengungsi kepada teman-teman yang tidak mengingatkanku pada keluargaku. Dan ketika hari raya tiba dan teman-temanku pergi untuk berkumpul dengan keluarga mereka sendiri, aku tetap tinggal, seperti yang kulakukan saat masih kanak-kanak, menantikan mereka kembali.

Tahun-tahun berlalu dan situasi ibuku makin parah. Aku tinggal duaribu mil jauhnya ketika kakak-kakaku bersatu menolong ibuku memulai hidup yang baru. Mereka membebaskannya dari ayahku. kakaku yang tertua membelikannya rumah yang baru, dan yang lainnya menolongnya memeliharanya dengan memotong rumputnya dan membawakannya segala sesuatu mulai dari garam untuk pelembut air sampai belanjaan.

Akhirnya, ia lebih bahagia daripada yang kulihat. Aku mengunjunginya dan meneleponnya. Aku sering bertanya kepadanya apa yang dapat kulakukan baginya, dan setiap kali ia tersenyum dan bertanya, “Dapatkah kamu tinggal satu malam lagi?”

Bertahun-tahun kemudian, ketika kami mendapat kabar bahwa ia mengidap kanker, aku bertanya kepadanya, “Ibu, apa yang dapat kulakukan bagimu?”. Ia tersenyum dan dengan tenang berkata, “Kamu bisa mencintai kakak-kakakmu. Dan dapatkah kamu tinggal semalam lagi?”

Saat aku melihat ibu meninggal, aku merasa takut yang sama yang kurasakan ketika aku masih kanak-kanak – tetapi kali ini aku tidak sendirian. Aku memiliki empat kakak yang masing-masing memiliki suatu bagian darinya dalam diri mereka. Kami begitu berbeda, namun begitu serupa. Kami bertahan melewati masa kecil yang sama dan menemukan cara kami masing-masing untuk keluar darinya kepada hidup yang lebih sehat. Yang paling penting, kami semua mencintainya.

Selama ia sakit, aku melihat betapa dalamnya ibuku mencintai mereka masing-masing. Aku mulai melihat setiap kakakku melalui matanya alih-alih mataku sendiri. Ia berkata kepadaku betapa aman perasaannya dengan yang ini dan betapa bahagianya dekat yang lainnya. Yang ini membuatnya tertawa dan ia melihat dirinya sendiri pada yang lainnya.

Pada hari-hari dan minggu-minggu setelah kematiannya, aku merasakan kehilangan yang besar. Tetapi terselip dalam dukacita itu rasa terima kasih kepada kakak-kakaku yang masing-masing, selama bertahun-tahun, memberinya sesuatu yang sangat meningkatkan hidupnya: yang satu membawanya sesuai dengan janji-janji dokter, yang satu menjawab telepon-telepon pada jam-jam yang tidak biasa; yang satu menjaga agar ia tidak kekurangan apapun; yang lain memberinya cucu pertama untuk dicintainya. Aku mencintai mereka untuk apa yang mereka berikan kepadanya. Kakak-kakakku memberinya kesempatan kedua.

Sekarang kami adalah perepuan-perempuan paruh baya yangmelakukan kesenangan yang seharusnya kami lakukan sebagai anak-anak tetapi tidak bisa pada saat itu. Aku diberkati. Aku memiliki seorang suami yang mengagumkan dan anak lelaki yang manis. Aku memiliki empat kakak perempuan yang kucintai. Aku tidak lagi duduk di luar hidup orang lain dan merasa kesepian. Aku memiliki sebuah keluarga. Aku bahkan merasakan kehadiran ibuku ketika kami bersama-sama. Melalui itu semua aku telah belajar hal ini: Cinta kasih yang nyata adalah sesuatu yang tidak pernah hilang, hanya saja kadangkala tersembunyi. Cinta kasih hanya membutuhkan sesuatu atau seseorang untuk menolongmu menemukannya – seperti kakak-kakaku.”

Artikel oleh: March 27, 2010  Tags:   Kategori : Artikel  Sebarkan 

Tulis Komentar Anda