Seorang Gembala Sidang (25)

a-11

Gembala Sidang dan Kepeduliannya kepada orang lain

Pernahkah anda membayangkan anda berjalan melewati sebuah lorong rumah sakit dimana orang-orang yang anda kenal sedang terbaring sakit, mereka menanti kedatangan anda untuk menengok mereka dan mendoakan mereka. Mereka tidak meminta banyak dari seorang Gembala Sidang, hanya sedikit perhatian di tengah ‘kesibukan’nya untuk memperlihatkan kasih yang dimiliki oleh seorang Gembala Sidang. Sebab pengalaman ditumpangi tangan, dipegang tangannya sementara berdoa, ditemani beberapa saat oleh Gembala Sidang di rumah sakit atau di rumah ketika sedang tergeletak sakit, adalah berkat yang sangat besar untuk mereka. Semua itu adalah keinginan yang wajar dan tidak berlebihan.

Betapa pentingnya seorang Gembala Sidang untuk tetap memiliki hati seorang Gembala yang ‘care’ atau peduli dengan orang yang dilayaninya. Tetapi bukankah sebagai para Gembala kita sering mendapati diri kita telah menjadi sejenis orang yang digolongkan ‘kurang peduli’ atau malah ‘tidak peduli’ dengan orang lain.В  Tetapi pengalaman-pengalaman diri sendiri, pengalaman ditinggalkan begitu saja ketika orang sudah dilayani dengan baik, pengalaman lain yang mengecewakan dalam diri anda dan saya telah membuat kita ‘keracunan’ sehingga mulai mengadakan pilihan-pilihan yang kemudian berdampak besar dalam penilaian orang kepada kita.

Pilihan untuk ‘menjaga diri sendiri’ dari kekecewaan yang lebih besar membuat kita sebagai Gembala Sidang kadang-kadang atau malah sering bersikap ‘kali ini saya tidak mau tertipu.’ Anda mulai tidak percaya bahwa menengok atau kebiasaan mengunjungi jemaat yang sakit akan ada gunanya bagi diri anda. Anda mulai berpikir bahwa sepanjang anda sudah menyinggungnya di kotbah atau dalam doa di sebuah pertemuan umum, maka anda akan dianggap orang ‘peduli’ dengan orang lain. Anda “pay less get more” dengan melakukan tindakan tersebut.

Anda mengadakan seleksi perkunjungan yang lumayan ‘mengecewakan’yang menakutkan banyak jemaat anda yaitu dengan hanya mengunjungi mereka yang benar-benar perlu mengingat waktu anda yang sangat berharga. Yang saya maksud adalah seleksi itu berdasarkan ‘penting tidaknya’ orang tersebut bagi anda. Maksud saya lagi, seberapa penting orang tersebut bagi gereja anda, terutama dalam pengertian ekonomi. Inilah yang menakutkan orang. Jemaat kita mulai menutup kabar tentang famili atau keluarga mereka yang sakit karena kuatir bahwa anda akan menerapkan pilihan tersebut kepada mereka, yaitu ‘mengabaikan’ mereka. Bukan artinya kita mengabaikan benar-benar orang lain terutama mereka yang kesusahan. Jemaat kita tidak yakin bahwa ‘berita buruk atau berita tentang penderitaan’ sanggup menarik perhatian kita.

Saya mengerti bahwa alasan ‘waktu’ selalu menjadi alasan efektif yang banyak kita pakai untuk tidak mengunjungi orang. Tetapi label ‘tidak peduli’ benar-benar menyangkali asas dari istilah ‘gembala’ yang kita sandang.

Pengalaman pribadi kita turut membentuk kita juga dalam pandangan kita terhadap penderitaan. Ini seumpama pengalaman kita yang sudah begitu banyak ‘menguburkan orang’ membuat kita sering menangnai peristiwa pemakaman dengan ‘sangat profesional’, di mana kita kehilangan sentuhan pribadi atas sebuah peristiwa kedukaan. Kita tidak lagi merasakan kepedihan, kesedihan dan rasa kehilangan anggota keluarga karena kita berpikir bahwa kita mengalaminya, orang lain dalam ruangan itu juga mengalaminya, hidup harus tegar, semua pengalaman ini pencobaan biasa saja, dsb.

Kelihatannya sikap kita sangat Alkitabiah, tetapi jika ditanya apakah sikap kita manusiawi? Mungkin saja tidak manusiawi! Pengalaman diri kita kehilangan orang yang sangat kita sayangi bisa berdampak besar, apakah menambah pengertian kita tentang ‘rasa kehilangan’ atau malah membuat kita mengalami ‘penumpulan nurani’ sehingga menjadi kebal dan ‘kurang berperasaan’ lagi. Membuat kita menjadi seorang yang sangat egois untuk menuntut orang lain mengatasi pergumulanya sendiri dan ‘memaksa’ orang untuk tangguh pada saat yang kurang tepat, yaitu ketika mereka sedang mengalaminya.

Nah penggambaran saya soal berjalan dilorong rumah sakit – adalah penggambaran yang sedikit ‘tragis’ karena ternyata berkali-kali kita ‘melewati lorong rumah sakit’ di mana begitu banyak orang menantikan kita tetapi kita terus saja berjalan menuju sebuah ruangan pesta di mana orang menyambut anda dengan kegembiraan serta sangat berterima kasih karena anda mau hadir dalam pesta tersebut.

Hadir di pesta juga sebuah kepedulian. Tetapi ketika ‘perjalanan menuju ke pesta’ adalah melewati lorong rumah sakit di mana sekian banyak orang menunggu anda menengok mereka, dan anda ternyata memilih untuk ‘menggembirakan hati anda’ dengan memilih menuju ke ruang pesta – menjadi kecelakaan pelayanan yang sangat besar. Hadir di pesta adalah lebih menyenangkan, lebih positif, lebih semarak dan akan menghibur anda. Itulah saat yang menyenangkan yang membuat anda seperti menyedot kembali kekuatan dari sesama anda secara mental. Anda mulai menyukai suasana pesta dari pada suasana perkunjungan orang sakit..

Tetapi, kesukaan kita untuk lebih sering muncul di pesta atau perayaan dengan mengorbankan sejumlah orang yang menanti doa anda adalah mesiu yang akan meledakkan nurani anda suatu saat. Entah apa yang menjadi maksud Tuhan, ketika Ia menyatakan bahwa anda memperoleh banyak hikmat jika ada di tengah-tengah orang yang sedang berduka, bukan di tengah-tengah pesta. Yang mungkin bisa saya pastikan adalah bahwa Allah mengingatkan kita – orang yang bekerja sebagai seorang Gembala Sidang agar memakai patokan sederhana tersebut, bahwa hidup kita telah ditetapkan untuk mengayomi umatNya dan memelihara mereka.

Saya duga anda protes terhadap alur pikir yang bertentangan dengan pembelaan diri anda. Begitulah perasaan saya juga. Tetapi saya harus mengatakannya bahwa ‘paksaan Tuhan’ yang membangunkan kita dini hari untuk menyadarkan kita bahwa barangkali kita sudah menjadi orang yang ‘kurang peduli’ atau ‘tidak pedulian’ kata orang demikian – menjadi wake-up call bahwa kita sedang berada di persimpangan jalan yang butuh kepekaan untuk memilih.

Sebagai seorang Gembala Sidang kita mengawasi ‘pilihan-pilihan’ yang akan kita buat jangan sampai menjerumuskan kita pada prinsip-prinsip yang keliru, egoistik dan cenderung untuk memaksa orang mengerti kita. Memang benar, bahwa pada akhirnya hanya kita yang peduli tentang keadaan kita sendiri, tetapi sentuhlah sedikit salib yang tergambar di Alkitab anda, atau tergantung di dada anda sebagai kalung. Rasakanlah bahwa simbol salib itu tidak ‘menyelamatkan’ anda dari suatu kebenaran tentang pengorbanan, kasih dan pengampunan. Semoga hati kita tetap sebagai seorang gembala yang mengasihi domba-dombanya. Anda tidak perlu menyenangkan semua orang, tetapi anda harus menguji apakah prinsip-prinsip yang mendasari pelayanan anda adalah demi kebaikan anda sendiri atau demi orang lain. Tuhan memberkati!

Artikel oleh: December 12, 2009  Tags:   Kategori : Artikel Gembala Sidang  Sebarkan 

2 Komentar

  1. Theofilus GSJA Tumbang Samba Katingan Kalteng - January 5, 2010

    trima kasih pak budi,saya sangat di berkati dgn artikel seorang gembala sidang yg bapak tulis,kalau boleh saya memberi usulan kalo bisa dibuat bukunya agar teman-teman yang tdk punya email/website dapat memperoleh berkat yang sama terlebih lagi buat teman2 hamba Tuhan di pedalaman buku tsb pasti membawa berkat bagi mereka.Gbu

  2. brendy - May 2, 2010

    PTL’..Gembala tidak akan pernah meninggalkan Dombanya apapun situasinya..terima kasih Pak’ atas uraian sederhana dari artikel ini. Domba akan menanti Gembalanya, kerendahan hati, kesetiaan, ketaatan adalah gambaran yang saya dapat diatas..semoga Gembala2 yang ada memilikinya…

Tulis Komentar Anda