The Last Momentous Day (++)

a-17img00377-20091203-1505

Dengan menurunkan nada bicaranya, HBL Mantiri menceritakan hari terakhir bersama istri yang sangat dikasihinya, suara sedikit serak, ia berusaha mengendalikan perasaannya saat kisah ini diceritakan. Saat itu kami sedang di mobil balik dari Mamasa setelah menghadiri Sidang Raya PGI ke XV yang perjalanannya memakan waktu lebih dari 11 jam.

“Ongke tidak pernah menuntut apa-apa dari saya, apa yang saya berikan kepadanya selalu ia simpan dengan baik, tidak pernah mengeluh, dengan setia ia mengatur bantuan untuk orang-orang yang memerlukan dengan bantuan …. ia wanita yang luar biasa!”.

Air matanya sedikit mengambang ketika ia berkata bahwa satu-satunya kesimpulan dari sikap istri yang dikasihinya yang tidak pernah menuntut adalah bahwa ia secara moral dan kepribadian memilih kesetiaan sebagai balasan kasih dan cintanya kepada istrinya.В  Selama 8 tahun mereka berpacaran sebelum Mantiri benar-benar memutuskan melalui doa sungguh-sunguh hasil didikan ayah ibunya – apakah Ongke adalah jodohnya atau bukan. Dan sekali kepastian didapatkan diawalnya, maka tidak ada sedikitpun keraguan setelahnya.

“Bayangkan … walaupun saya sudah berpacaran dengannya, tetapi untuk soal jodoh, saya harus tetap berdoa dengan sungguh-sungguh untuk memastikan apakah ini jodoh saya. Itu foto saya waktu pacaran.”

Sambil menunjuk ke arah foto di mana ia bercelana pendek, masih SMA. Semua foto-foto bersama mereka masih menempel di dinding. Mulai dari saat berpacaran, pernikahan, tugas, berobat, dan saat mereka berjalan-jalan ke luar negeri.

Sekalipun mereka harus berpindah-pindah tugas di berbagai daerah di Indonesia, Ongke selalu menikmati perjalanan hidupnya. Dengan keceriaan sekalipun sebagai seorang keturunan Tionghoa, putri pdt. Lie Giok Keh – gembala pertama GSJA Suryakencana Bogor – Ongke memimpin berbagai kegiatan istri-istri tentara. Barangkali bagi orang seperti Ongke, satu-satunya yang ia sesali adalah bahwa ia tidak dapat menemani suami yang adalah seorang tentara sejati berpangkat Letnan Jendral – lebih lama. Ia juga harus menerima kenyataan bahwa fisiknya tidak sekuat yang diinginkannya sehingga putra mereka harus berjuang utuk menjadi dewasa tanpa ibunya. Penyakit dan dugaan serangan stroke hebat merenggut nyawanya pada tgl. 23 Januari 2009.

“Hari itu … saya blank! Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan! Seperti ada yang hilang dari jiwa saya. Sebagai tentara saya siap menghadapi segala tantangan, tetapi hari itu … saya sungguh tidak tahu apa yang harus saya lakukan!

Ongke yang telah menemaninya dalam perjalanan hidup bersama putra mereka. Sejak tahun 1987 Ongke mulai menunjukkan gejala penyakit tersebut. Ongke didiagnosa oleh dokter dalam dan luar negeri mengidap penyakit akibat kelebihan carian di bagian otaknya yang membuatnya kehilangan keseimbangan dan berakibat menurunnya daya ingat. Apa yang menyerang saraf di otak telah mengakibatkan berkali-kali ia kolaps dan ‘kosong’ dan sekali lagi daya ingatnya drastis menurun. Ia berjuang dengan segala cara agar tetap bisa bertahan. Ia menggunakan lembaran-lembaran kertas sebagai catatan supaya saat ia sedang lupa, ia kembali melihat catatan untuk mengingat. Seringkali Mantiri secara sengaja membuka foto-foto masa pacaran mereka, atau foto-foto perjalanan ke luar negeri dan mengulangi cerita untuk membangkitkan ingatannya.

Sekalipun demikian, kemanapun Mantiri bertugas, pikirannya tidak pernah lepas dari istrinya. Setiap hari sebelum Ongke mulai terkena penyakit tersebut, kebiasaan Mantiri untuk menghubungi istrinya sudah rutin manakala ia pergi dan terpisah dari istarinya sementara waktu karena tugas. ia pasti menghubungi istrinya minimal 3 kali sehari: di pagi hari setelah bangun pagi, dimanapun ia berada, termasuk tempat dimana perbedaan waktu sangat jauh – ia selalu mencocokkan waktu dan menanti saat terbaik menghubungi Ongke. Waktu kedua adalah saat makan malam, lalu saat ketiga adalah sebelum tidur karena mereka pasti akan berdoa bersama di telepon. Cintanya kepada Ongke adalah cinta seluruhnya seperti komitmen awalnya ketika mereka berpacaran.

Dengan segala jalan ia selalu mengontrol keadaan istrinya – dan was-was jangan sampai tiba-tiba ia kena ‘serangan’.

“Pernah suatu kali ketika ia berjalan membawa piring, tiba-tiba piring itu terlepas dari tangannya! … Saya sangat kasihan dengan keadaan Ongke. Saya tahu ia merasa begitu down karena keadaannya! Saya tahu perjuangannya sangat berat sekalipun ia tidak mengucapkannya. Jadi saya selalu berusaha ada di dekatnya.”

Ia kembali menurunkan nada bicaranya untuk mengendalikan emosi ia melanjutkan …

“Saya menghiburnya sebisa saya … karena saya tahu persis waktu ia begitu semangat menjalani perkuliaah di UI untuk menjadi notaris, ia begitu gembira, sangat bersemangat, saya benar-benar melihat ia begitu ingin menyelesaikan bidang notaris. Ia tampil memberikan presentasi dengan begitu bagus – tetapi kemudian penyakit merenggut cita-citanya … ia tidak mengeluh memang. Tetapi sebagai suami saya tahu ia begitu down – ia terpukul. Dan saya berusaha menghibur dan menguatkannya. Memberi perhatian itu jalan terbaik baginya dan bagi saya. Bahkan ada saat di mana kepangkatan sayapun saya relakan untuk ditunda penugasannya karena Ongke sakit. Tetapi keadaannya memang begitu, saya ingin dia gembira lagi …”

Tugas memang sering membuatnya harus membuat pilihan-pilihan, tetapi pikiran dan pengawasannya terhadap kesehatan istrinya tetap tinggi. Manakala mereka bisa bersama di rumah – maka Berdoa bersama di waktu pagi, membaca firman Allah bersama, melakukan kegiatan bersama, makan bersama adalah waktu-waktu yang paling indah menurut Mantiri.

“Kamis, 22 Januari 2009, hari itu menjadi hari yang sangat indah dalam hidup saya. Pagi kami berdoa bersama seperti biasa, membaca Alkitab bersama, ngobrol sana-sini, merencanakan kegiatan hari itu … saya ada kegiatan sedikit ke Jakarta tetapi balik siangnya untuk makan sama-sama. Rasanya hari itu saya tidak mau melepas sesaatpun. Tidak ada perasaan curiga apa-apa dan kekuatiran apa-apa bahwa sesuatu bakal terjadi. Tuhan begitu baik, menyediakan satu hari lagi yang penuh dengan kenangan. Saya bertanya kepada Ongke apakah ia mau pergi ke salon karena Ongke biasa mengatur dirinya supaya pada hari Minggu ia sudah lebih siap ke gereja. Ia menjawab bahwa ia memang mau ke salon – semua sudah dicatat di lembar kertas yang disiapkannya selalu di tasnya.

Segalanya berjalan baik, sampai malam hari, pukul 9 malam kami selesai doa malam beristirahat. Itulah hari Kamis yang sangat indah yang direncanakan Tuhan bagi kami. Tak ada sesuatu yang mencurigakan pada diri Ongke. Tetapi dini hari saya dibangunkan oleh suara ‘ngorok’ yang aneh dari istri saya di luar kebiasaan. Aneh rasanya dini hari itu melihat keadaan istri saya yang tiba-tiba seperti orang mau koma. Beberapa saat kemudian Ongke kelihatan tenang, tidak bersuara. Saya curiga dengan keadaannya, saya pegang nadinya, dan memeriksa bagian perutnya – tidak ada gerakan dan denyut nadi. Saya tahu ini keadaan yang berbahaya. Saya segera melarikannya kerumah sakit. tetapi dokter mengatakan bahwa Ongke sudah meninggal.”

“Walaupun saya pernah membayangkan saat seperti itu dapat terjadi any time, tetapi saya rasa kekagetan saya menerima kenyataan tersebut membuat saya blank. Saya hanya mampu menghubungi adiknya dan kakak saya, seingat saya hanya dua orang itu saat itu yang mampu saya beritahukan. … sebab saya masih terkejut.”

Ia berhenti sebentar dari ceritanya, menarik nafas dalam lalu berkata,

“Saya kagum sekali dengannya! ia tidak pernah mengeluh sehingga jika kamu ketemu dengan Ongke, kamu tidak akan percaya bahwa ia sedang berjuang melawan sakitnya.”

“Selama Ongke sakit, saya tidak pernah memberitahukan kepadanya bahwa saya telah ‘mengusahakan’ sebuah tempat di mana ia dapat beristirahat terakhir dengan tenang. Saya tidak mau ia berpikir bahwa saya tidak menyayanginya padahal apa yang saya lakukan adalah karena saya sangat sayang kepadanya. Jadi itu hanya menjadi sebuah rahasia dalam diri saya saja, tidak enak tetapi saya dalam rasa sayang harus berani memikirkan ‘seandainya’.”

Mantiri mengulangi kembali kisah ‘pidato’ terakhirnya pada hari dimana istrinya akan dimakamkan, bahwa ia seakan mengucapkan ‘janji nikah’nya kembali untuk tidak melukai hati istri yang disayanginya. Ia akan menghabiskan sisa waktu hidupnya dengan pengabdian baik kepada Tuhan maupun kepada negara.

“Hari Kamis itu adalah hari yang penuh dengan berkat bagi saya, sehari yang direncanakan Tuhan untuk benar-benar menikmati kebersamaan sebelum Tuhan memanggilnya kembali ke pangkuan-Nya. Tuhan Yesus baik!”

c-12

Bersama putra mereka.

c-13

Saat masih dalam pengobatan di Guangzhou.

……………………………

“Bud, kamu duduk di sini!” kata Mantiri ketika saya mengunjunginya di tempat kediamannya di Bogor. Di meja bundar untuk makan siang sederhana Mantiri meminta saya duduk di samping kirinya. Mata saya melihat ada 4 piring rapih untuk makan dengan menu di tengahnya. “Di kanan saya sini, Ongke selalu duduk. Tidak pernah pindah. Di situ anak kami!”, sambil menunjuk di posisi di depannya, “Nah tempat kamu duduk itu biasa untuk tamu. Beginilah susunannya waktu kami makan dengan tamu. Saya tidak mengubah apapun sejak Ongke pergi, termasuk kamar kami.”

Selama sejam kami ngobrol tentang segala hal, mulai dari foto-foto di dinding yang dijelaskannya itu dimana dan kapan, sampai kepada tugasnya sebagai Dubes RI di Singapura. Saya ingin bergeser dari meja makan itu untuk ngobrol di ruang tamunya, tetapi ia begitu bersemangat bercerita …. seolah-olah ‘istrinya’ masih ada di samping kanannya. Sehingga ia terpaku kuat di bangku makan itu. Jika anda suatu kali mengunjunginya di rumah kediamannya di Villa Duta Bogor, anda akan mengerti alasan mengapa ia sangat bersemangat bercerita di meja makan.

Ia memang orang ‘bersih’ yang membersihkan begitu banyak kekotoran akibat praktek korupsi di berbagai tempat di mana ia bertugas. “Itu yang menyebabkan saya di mana saja bisa berbicara dengan bebas …. karena saya dapat diperiksa, boleh diuji, bahwa saya tidak pernah berbuat seperti yang kebanyakan mereka lakukan! Orang lain bisa saja lebih kaya dari saya, tetapi apa yang penting dalam hidup? Kejujuran dan kebenaran itu yang saya pegang.”

Saya tahu itu warisan didikan ayah-ibunya sehingga Mantiri bisa begitu. Hatinya kini hanya punya satu tujuan, melayani Tuhan, memberikan sumbangsih terbesar hidupnya bagi perubahan dalam diri orang. Ia tidak menuntut orang mengikuti jejaknya, ia hanya cukup tampil dengan dirinya apa adanya. Dan Tuhan memakai tampilan apa adanya sebagai potert yang bisa dikuti jejaknya oleh orang-orang yang diam-diam menrauh respek dan mengaguminya.

Di bagian belakang rumahnya terdapat sebuah pendopo yang dibangunnya untuk berbagai kegiatan yang dimanfaatkan juga oleh gerejanya – GSJA Betlehem, atau teman-teman dan para tetangga, “Saya RW di sini Bud ha ha ha …”. Sambil jalan menuju pendopo ia berkata lagi, “Ongke masih bisa menikmati pendopo ini …”.

Di pinggir pendopo tersebut, terdapat tulisan 9 buah roh sebagaimana tertulis dalam Galatia 5:22-23.

c-14

c-15

Haleluya!

updated – 4 Des o09

Artikel oleh: December 3, 2009  Tags:   Kategori : Artikel  Sebarkan 

5 Komentar

  1. Ita - November 26, 2009

    Terimakasih untuk kisah kasih yg amat menyentuh ini. Hari ini saya merenungkan, hal2 apa yg akan saya rindukan ketika saya harus kehilangan my soul mate..
    Wah..banyak sekali. Rasanya gak mungkin bisa hidup tanpa dia..
    Thankyou for sharing pak Mantiri, membuat kita lebih treasure, lbh memnghargai relationship kita sbg suami isti. To my husband, Thomas Agung, I love you more and more..

  2. Ferry Tabaleku - November 26, 2009

    Saya sangat terkejut mendengar berita pass awaynya ibu Mantiri, sedangkan peristiwa itu sudah terjadi bulan Januari lalu, dan baru dimuat pada bulan ini, seharus hal seperti ini tidak perlu terjadi. Perlu diketahui bahwa keluarga HBL Mantiri adalah sebagai salah satu keluarga besar GSJA di Indonesia maka seyogya info ini sudah di sebarluas pada waktu itu, mungkin karena saya stay di luar negeri jadi tidak mendapat info, tetapi info yang lain saya baca dalam website GSJA. Walau pun terlambat saya ucapkan turut merasa kehilangan istri tercinta dari Pa Mantiri, doa saya kiranya Tuhan senantiasa akan menguatkan dan menghiburkan Pa. dari Ferry Tabaleku se keluarga

  3. Arnold Paais - 27 Nopember 2009 - November 27, 2009

    Saya sangat tersentuh/terharu dengan kesaksian pak Mantiri. 20 tahun lalu saya kehilangan belahan jiwa seperti yang dialami pak Mantiri. Suka-duka hidup dan saat-saat terakhir bersama belahan jiwa / orang yang kita cintai yang telah mendampingi kita puluhan tahun akan terus menjadi kenangan indah yang akan terus memberi motifasi untuk menatap hari esok.
    Saya bersama keluarga mendoakan agar TUHAN YESUS memberkati dan memberi kesehatan/kekuatan kepada pak Mantiri dalam melanjutkan pengabdian kepada TUHAN dan Negara/bangsa.
    Puji TUHAN.

  4. Mauritz Stephen - November 30, 2009

    Kesaksian hidup yang nyata dari Bpk. Mantiri, membuat saya semakin diingatkan untuk selalu menyadari bahwa hidup ini adalah anugerah Allah yang luar biasa, dan pasangan hidupku merupakan “permata” yang sangat berharga.
    Tuhan Yesus memberkati Pak Mantiri. Haleluya

  5. Rieska - December 7, 2009

    Pak Budi, terima kasih telah menyusun dan menyajikan kisah ini. God bless you.

    “Itu yang menyebabkan saya di mana saja bisa berbicara dengan bebas …. karena saya dapat diperiksa, boleh diuji, bahwa saya tidak pernah berbuat seperti yang kebanyakan mereka lakukan! Orang lain bisa saja lebih kaya dari saya, tetapi apa yang penting dalam hidup? Kejujuran dan kebenaran itu yang saya pegang.”

Tulis Komentar Anda