Mencari Makna Dalam Dimensi Ruang dan Waktu

the_thinker-auguste-rodin

Auguste Rodin (1840-1917), seorang seniman Perancis, telah menghasilkan sesuatu karya pahat yang sangat terkenal. Karya tersebut adalah patung “The Thinker” atau “Sang Pemikir.” Patung ini menggambarkan seorang pria  yang duduk di atas tunggul pohon yang telah di potong. Tubuhnya condong ke depan dan kepalanya agak tertunduk. Pandanganya mengarah ke bawah. Siku kanan bertumpu  pada paha kiri dengan telapak tangan bagian luar tertekuk pada ruasnya untuk menyangga dagu. Segenap penampilanya menunjukan bahwa ia sedang berpikir secara mendalam.

Karya Rodin merupakan simbol dari “kemanusiaan” manusia. Ia (manusia) adalah “Homo Sapiens”atau “Manusia berpikir.” Dan seperti dikatakan Jujun S. Suriasumantri, “hampir tak ada masalah yang menyangkut peri kehidupan yang terlepas dari jangkauan pikiran, dari soal yang paling remeh sampai soal yang paling asasi, dari pertanyaan yang menyangkut sarapan pagi sampai persoalan surga dan neraka di akhir nanti.”

Salah satu masalah asasi yang paling sering di gumuli manusia dalam berpikir ialah makna kehidupan. Berjuta-juta manusia telah, sedang dan akan bertolak dalam usaha pencarian makna sementara mereka menjelajah dimensi ruang dan waktu. Agama, filsafat, seni dan sastra merupakan “jejak-jejak” pikiran manusia di atas “pasir” waktu dalam “perjalanan” mencari makna bagi kehidupan. Renungan ini bermaksud memberikan  sekedar sumbangan dalam usaha tersebut. Moga-moga bermanfaat hendaknya.

Baiklah kita mulai dengan menyimak butir-butir renungan Wahyu Gumilar dalam Majalah Dewi berjudul “Catatan Tutup Tuhan.”

Apalagi yang mesti kita kenang dari masa silam
Selain perjalanan yang panjang
Dan penanggalan demi penanggalan yang mesti kita tinggalkan
Kita kian hari kian tua dan lemah
Dengan tubuh dan tulang-tulang yang rapuh
Seperti senja yang muram
Usia telah menyeret kita pada malam.

Bagi sebagian orang, kata-kata penyair Wahyu gumilar mungkin menggambarkan secara puitis renungan mereka tentang kehidupan.

Kehidupan, dalam renungan ini, adalah perjalanan panjang melintasi penanggalan demi penanggalan. Dalam gerak maju lintasan waktu, seseorang menjadi tua dan lemah. Tubuh dan tulang-tulangnya menjadi rapuh dan ia terseret oleh usia meninggalkan senja yang muram. Suatu potret kehidupan yang berwarna suram namun nyata.

Wawasan yang terbatas pada realitas ruang dan waktu

Pandangan kepada kehidupan seperti ini hanya terbatas pada realitas ruang dan waktu. Cakrawala permenungan terkungkung oleh kenyataan kodrati semata-mata. Seperti dikatakan Robert Green Ingersoll (1833-1899)tokoh agnostik Amerika yang terkenal:

“kehidupan – yang terbentang diantara kelahiran dan kematian – adalah seperti berada dalam lembah sempit diantara dua gunung yang puncak-puncaknya menjulang tegak lurus ke langit. kita tidak pernah akan tahu apa yang ada di balik kedua gunung itu.”

Demikian kata lain, pengetahuan manusia hanya terbatas pada dimensi ruang dan waktu. Dan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hal-hal di luar kawasan ruang dan waktu tidak pernah akan terjawab dengan pasti dan memuaskan. Pertanyaan-pertanyaan seperti: Dari mana asal manusia? Untuk apa ia hidup? Kemana ia pergi setelah hidup ini usai? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam ini selalu bersifat spekulatif dan karena itu, tidak meyakinkan atau memberikan kepastian. Demikianlah wawasan orang-orang yang membatasi renungan pada kenyataan ruang dan waktu semata-mata.

Ketidakpastian, Ketegangan Dan Kegelisahan

Ketidak-pastian, pada gilirannya menimbulkan kegelisahan. Ini sebabnya oleh kesadaran manusia yang melampaui dimensi ruang dan waktu. Manusia memang berada dalam ruang dan waktu, tetapi dambaan dan imajinasinya mendorong dia untuk menjelajahi dimensi kekekalan.

Mengatasi hingar bingar keberadaan, serulin keabadian mendayu lembut dalam jiwanya dan memanggil-manggil dirinya. Tetapi, karena ia berwawasan bahwa yang pasti hanyalah pengetahuan yang terbatas pada dimensi ruang dan waktu, maka terjadilah ketegangan dalam dirinya. Dan ketegangan inilah meresahkan manusia. Secara implisit, getaran kegelisahan ini terasa dalam baris-baris sajak penyair Wahyu Gumilar yang saya cuplik pada awal renungan ini.

Cara Pandang Alkitabiah Sebagai Pembebas Dari Kegelisahan

Bagaimana manusia bisa terbebas dari keresahan ini? Jawaban terhadap pertanyaan ini menyangkut bagaimana seharusnya kita memandang kehidupan. Ada berbagai macam cara pandang terhadap kehidupan. Masing-masing cara pandang atau falsafah hidup berbeda-beda, sehingga hasil pandangannya pun berbeda pula. Renungan ini tidak bermaksud mengetengahkan hasil pandangan berbagai cara pandang kepada kehidupan. Ia hanya akan menyoroti secara singkat cara pandang Kitab Suci Kristiani.

Cara pandang Alkitabiah terhadap kehidupan pertama-tama melihat manusia sebagai diciptakan Allah. Sang pencipta ditampilkan dalam kitab Kejadian sebagai menciptakan manusia menurut gambar-Nya sendiri dan membentuk menusia dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup kedalam lubang hidungnya, demikianlah manusia menjadi mahkluk yang hidup.

Oleh karena, manusia dibentuk dari debu tanah, maka ia adalah bagian dari alam dan satu dengan alam. Ada semacam kontinuitas, keterkaitan atau kesatuan antara manusia dengan alam. Dengan demikian, kita dapat berkata bahwa manusia adalah “anak” alam.

Akan tetapi, manusia tidak hanya dibentuk dari debu tanah. Ia diciptakan menurut gambar (citra) Allah. Citra Allah pada manusiamembedakannya secara radikal dari alam – dari ciptaan lainnya. Ada suatu diskontinuitas, keterputusan atau keterpisahan antara manusiadengan alam. Dengan begitu, manusia adalah “anak” Allah.

Demikianlah Alkitab memandang manusia secara terpadu dan utuh: ia, sekaligus, adalah “anak” alam dan “anak” Allah karena penciptaan. Ia adalah bagian dari alam, tetapi kesadarannya tidak membatasinya padaalam itu saja: ia mendambakan keabadian. Ia tahu betul kefanaan dan keterbatasan hidupnya, tetapi aspirasinya mengarahkan dia kepada Yang Kekal dan Mutlak – kepada sang Khalik.

Karena manusia adalah “anak” alam – bagian dari alam dan satu dengan alam – maka untuk kelangsungan hidupnya secara ragawi, ia membutuhkan hal-hal materiil. Akan tetapi, bila semua kebutuhan ini sudah terpenuhi, ia pun belum merasa puas. Ia masih mencari-cari sesuatu. Sesuatu yang terasa ada., namun tidak terlihat.

Bagi mereka yang pandangannya hanya terbatas kepada lingkup ruang dan waktu, pencarian ini, terungkap dalam bentuk keterlibatan yang lebih dalam dan lebih intens kepada hal-hal jasmaniah. Keterlibatan yang lebih dalam dan intens ini pun akan menemui jalan buntu. Sebab ia tetap tidak akan merasa terpuaskan. Ia tetap gelisah, dan resah.

Mengapa? Karena manusia bukan sekedar “anak” alam. Ia juga adalah “anak” Allah. Ia ditakdirkan untuk memburu kekekalan. Untuk mencari hal-hal yang abadi. Ia segambar dengan Allah. Sebab itu, hanya Allah yang dapat memuaskan dirinya dan menenangkan hatinya yang Gelisah. Seorang bapa gereja terkenal – Agustinus dari Hippo – yang hidup antara tahun 354-430 M melukiskan hal ini dengan indah sekali. Ia berkata bahwa Allah telah menciptakan kita untuk diri-Nya sendiri, dan hati kita tidak akan merasa tentram sampai kita menemukan ketenangan di dalam Dia.

Demikian juga, karena menusia diciptakan menurut gambar Allah dan bukan sekedar dibentuk dari debu tanah, maka, ia tidak dapat hidup dengan roti saja tetapi dari tiap-tiap firman yang keluar dari mulut Allah.

makna dan tujuan hidupnya hnaya dapat ditemukan dalam Allah Sang Pencipta.

Jadi, bagaiman seharusnya kita memandang kehidupan ini sementara kita menjelajahi dimensi ruang dan waktu?

Kita harus memandang kehidupan ini sebagaimana Alkitab memandangnya: kehidupan berasal dari Allah, untuk Allah dan menuju kepada Allah. Diluar Allah kehidupan menjadi tidak berarti. Tanpa Allah, kehidupan menjadi sepi, hampa dan terasa hambar. Untuk sesaat kita dapat

mengusir kesepian, kehampaan dan rasa hambar dari kehidupan ini dengan kesibukan. Atau, kita berusaha menenggelamkannya dalam kebisingan dan keremangan tempat-tempat hiburan. Atau mencoba melupakannya dalam keasyikan berkarya. Hanya untuk sesaat. Namun, kesepian, kehampaan dan kegelisahana akan kembali mengusik hidup kita.

Hanya Allah yang dapat memberikan kepuasan yang sejati kepada kita. Di dalam Allah kita menemukan kedamaian, identitas makna dan tujuan hidup. Disertai Allah kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti kita seumur hidup dan kita akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa.

Berjumpa Dengan Allah Dalam Yesus Kristus

Iman Kristiani berkata bahwa melalui Yesus Kristus, kita dapat berjumpa dengan dan menyapa Allah yang rakhmani ini sebagai “Bapa.” Sebab Dia – Yesus Kristus – adalah jalan dan kebenaran dan kehidupan. Tidak seorangpun sampai kepada Bapa kecuali melalui Dia. Dengan kata lain , kita dapat menemukan realita Allah dalam kehidupan kita sekarang ini melalui Yesus Kristus.

Jutaan orang di seluruh dunia dapat bersaksi bahwa oleh iman kepada Yesus Kristus mereka telah mendapat:
damai bagi hati yang gelisah,
ketenangan bagi jiwa yang resah,
sukacita dan penghiburan bagi hati yang remuk,
pengharapan ganti putus asa,
pengampunan bagi dosa,
pembebasan dari kuasa dosa
dan penyembuhan bagi jiwa dan raga.

Di dalam Yesus Kristus, mereka menemukan identitas, makna dan tujuan kehidupan. Bagaimana dengan anda?

Artikel oleh: August 5, 2009  Tags:   Kategori : Artikel  Sebarkan 

3 Komentar

  1. Budi Setiawan - August 7, 2009

    Para PI GSJA harus baca tulisan ini, jika tidak mengerti isinya, tidak lulus S-1. Ini jenis tulisan pemikir, sehat untuk direnungkan dan dicerna, karena sangat mendasar dan filosofis. Semoga memberkati banyak orang. Tulisan ini sangat bagus!

  2. Samuel Handrinata - August 22, 2009

    Tulisan ini sangat dalam pemikirannya dan tentunya akan membuka diri kita untuk memahami hidup ini dan Allah tentunya. Pasti Anda diberkati kalau membaca ini.

  3. Jimmy RA Legi - August 24, 2009

    Nietzsche pernah mengatakan: “Dia yang memiliki ‘mengapa’ untuk hidup, akan bisa bertahan dalam hampir semua ‘bagaimana’.” Tulisan ini telah memberi jawaban pada ‘mengapa,’ itu, sehingga setiap kita yang membacanya dapat bertahan dalam semua ‘bagaimana.’

Tulis Komentar Anda